Kamis, 13 Maret 2014

Nothing Gonna Change My Love



Author: Sherly Holmes
Penyunting : Erin_Adler
Genre: Comedy Garing, Family, Friendship, Romance
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
___
Di sebuah sekolah,
Semua siswa selalu berjalan bersama teman-temannya, tapi Susan. Ia selalu berjalan sendiri.
Paul yang baru keluar bersama teman-temannya melihat Susan.
“kalian tau gak kenapa cewek itu selalu sendiri?”
“maksud kamu si Susan?” Ringo menatap Paul.
“ya ampun Paul, berapa lama kamu sekolah disini?” George aneh pada Paul.
“udah hampir 3 tahun” Paul polos.
“maksud kita, masa udah lama sekolah disini kamu gak tau juga. Dia dijauhin temen-temen soalnya bapaknya preman” John menjelaskan dengan sabar dan tenang.
“preman?” Paul kaget.
“ya ampun, kamu bener-bener ngak tau ya?” George semakin heran.
“Paul Paul, bener-bener kamu ya” John menggeleng.
Mereka terkadang heran dengan sikap Paul yang terlalu cuek dengan sekitarnya sehingga terkadang tidak tau apa-apa.
Tapi Ringo tiba-tiba tersenyum, “nah, jangan-jangan ada yang lagi jatuh cinta”
“ah? Kamu ngomong apa sih? Aku kan cuma nanya”
“iya, tapi gak biasanya seorang Paul peduli sekitarnya”
“Ringo…” Paul agak BT.
“udahlah, kamu gak usah bohong deh ama kita. Kamu suka dia kan?” John terseyum.
“cieh Paul” George tertawa.
“eh, enggak”
“coba diinget-inget, beberapa hari terakhir ini kamu emang keliatan suka merhatiin dia dari jauh. Ayo ngaku?!”
“enggak John, beneran”
“aduh, temen kita yang satu ini emang agak rese ya. Coba aku inget-inget” George membuka catatannya, “selama ini kalau Paul pacaran, selalu ceweknya duluan yang nembak. Itu karena kamu gak memperhatikan cewek-cewek cantik yang ada di sekitarmu, tapi sekarang syukurlah kamu udah siap untuk pacaran dengan cewek yang bener-bener kamu suka”
“ya ampun, kamu gak seriuskan dengan catatan itu?” Paul menatap George.
George tersenyum, “tentu enggak, ini cuma buku pelajaran biasa kok”
“ya ampun George, kita juga hampir kaget. Takutnya kamu beneran nulis yang aneh tentang kita di buku itu”
“ya enggaklah John, buat apa aku ngelakuin itu. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan”
Mereka pun pulang.

***

Di sebuah rumah,
Susan masuk.
Robert yang sedang bersantai di sofa melihatnya, “kamu baru pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?”
“biasa saja” jawaban Susan dingin.
Robert berdiri dan mendekati Susan yang mau masuk kamar.
“ayah aku lelah”
“kenapa kau selalu begitu pada ayah?”
Susan menatap Robert, “lebih baik ayah tanya pada diri ayah sendiri, sudah ya ayah. Aku mau tidur siang” Susan masuk ke kamar dan menutup pintunya.
Robert diam dan kembali duduk di sofa, ia berteriak. “apa di sekolah ada yang macam-macam padamu? Bilang pada ayah, biar ayah yang urus dia”
“aku kan sudah bilang tidak ada, ayah” Susan menjawabnya dari kamar.

***

Malam itu,
Di rumah Paul.
Paul melamun, ia ingat pada Susan. Apa bener semua anak gak mau deket ama dia karena takut sama ayahnya yang preman itu?
“tuan, tuan Paul” seorang pembantu mengetuk kamar Paul.
“iya bi?”
“saatnya makan malam tuan”
Paul membuka pintu kamarnya, “apa ayah juga ikut?”
“tidak tuan, tuan besar sedang…”
“ke tempat itu lagi?” Paul agak kesal, “ya udahlah bi, aku juga udah biasa kok sendirian”
“sabar ya tuan”

***

Di sebuah tempat,
Sedang diadakan pertarungan illegal, disana banyak orang yang berjudi dengan taruhan para petarung dan Robert adalah salah satu dari para peserta.
“ayo hajar dia, bunuh dia”
“ayo, jangan kecewakan aku. Aku bertaruh banyak untukmu. Jangan sampai aku rugi”
“ayo ayo” semua penonton ramai berteriak pada Robert.

***

Di atas,
Seorang bos pemilik tempat itu hanya duduk dan tersenyum melihat pertarungan.
“maaf tuan, ada telpon dari tuan muda” seorang anak buahnya memberikan telpon.
“bilang saja padanya aku sibuk”
“tapi…, ba..baik tuan” ia kembali menjawab telpon, “maaf tuan, tuan besar sedang sibuk”
“aku tau itu hanya alasan, loudspeaker telpon ini sekarang”
“baik tuan” ia menekan tombol di telpon itu.
Suara Paul keluar, “ayah, apa kau mendengarku? Aku sudah bosan dengan semua alasanmu, aku benci pertarungan illegal itu ayah. Aku tidak suka ayah menindas orang miskin demi kepentingan ayah, apa ayah tidak merasa iba melihat mereka terluka bahkan meninggal?”
Kurang ajar anak itu, James merebut telponnya. “dengan Paul, jika mereka merasa dirugikan mereka tidak akan mau mengikuti pertarungan ini. Kau fikir ayah tidak memberi mereka uang? Sudah, jangan ganggu ayah lagi” ia mematikan telponya dengan kesal.

***

Saat dini hari,
Susan mendengar ketukan pintu, itu pasti ayah.
“Suzie, buka pintunya. SuzieQ” Robert teriak.
Susan membuka pintu dan melihat Robert penuh luka, air mata Susan menetes. Tapi ia kembali tegar dan menghapusnya, “aku sudah menyiapkan obatnya disitu, ayah obati sendiri saja. Aku masih ngantuk” Susan pergi ke kamar dan menutup pintunya.
Robert mendekat ke pintu kamar Susan, “jangan cemas nak, ini cuma luka kecil”
“aku sudah biasa melihat ayah begitu” Susan tidur sambil menangis.

***

Besoknya,
Susan berjalan ke sekolah, saat sedang melamun.
“hey, bareng yu?” Paul tersenyum.
“e.. gak usah, sekolahnya kan udah deket”
“ok deh” Paul pergi dengan mobilnya.
Susan kembali menunduk dan berjalan.

***

Di sekolah,
Istirahat pun tiba, di kantin dekat taman Paul berkumpul dengan teman-temannya. Ia kembali melihat ke arah Susan yang duduk sendirian.
“kenapa lagi? Kalau kamu suka, deketin dia dong” Ringo menatap Paul.
“apaan sih?” Paul tersenyum.
“jangan bilang kamu takut karena ayahnya preman” John menatap Paul sambil tersenyum.
“apa? Yang benar saja, masa aku takut. Kan bagus kalau dia gak ada yang deketin, itu tandanya aku gak punya saingan” o..ow… ya ampun aku kelepasan, Paul langsung terdiam.
“tuh kan, akhirnya ngaku juga dia” George tertawa.
Mereka tertawa dan Paul hanya diam.
“udah sana, deketin dong” Ringo mendorong-dorong  Paul.
Akhirnya dengan paksaan teman-temannya, Paul mendekati Susan.
“hey, boleh ikut duduk?”
Susan melihat Paul dengan aneh, “kamu yakin?”
“e.. kalau gak boleh juga gak apa-apa kok”
“duduk aja disitu”
“makasih ya” Paul tersenyum, “oh iya, kita belum kenalan kan? Namaku Paul”
“kita kan sekelas”
“oh, iya maaf”
Susan tersenyum, “kamu terlalu cuek sih”
Paul tersenyum malu, teman-temannya yang melihat itu ikut tersenyum.
“kayanya sukses tuh si Paul” John senang.
Tapi Susan tiba-tiba diam, lalu ia kembali bersikap dingin kepada Paul. “aku harus pergi”
“Susan tapi…”
“maaf Paul” Susan pergi begitu saja.
Paul terdiam dan teman-temannya mendekat.
“ada apa? Kamu salah bicara ya?”
“aku juga gak tau George, tiba-tiba dia kaya gitu”
“bener-bener misterius tuh cewek” Ringo mengeleng-geleng kepala.
“kamu itu ngomong apa sih?” John menatap Ringo.
Ringo pun tersenyum.
“terus gimana sekarang?” George menatap Paul.
“aku gak akan nyerah, nanti pas pulang sekolah. Aku akan deketin dia lagi”
“wah, kelihatannya sang pangeran bener-bener serius tuh. Yakin gak takut sama bapaknya” Ringo tersenyum pada Paul.
“kita liat aza, aku pasti bakal dapetin dia”

***

Saat sekolah selesai,
Seperti biasa Susan berjalan sendiri.
“hey Susan”
“Paul?”
“pulang bareng yu?”
“aku gak bisa, maaf”
“Susan tungu dulu dong” Paul memegang tangan Susan.
“lepasin” Susan melepas tangan Paul, “kamu itu kenapa sih?”
“kamu yang kenapa, setiap aku deketin terus aja menghindar”
“kamu gak tau apa-apa”
“aku tau, itu semua karena ayahmu kan?”
Susan menampar Paul dan meninggalkannya.
Paul terus menatap Susan, “aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, aku hanya…” ia bingung menyatakannya, “aku hanya menyukaimu”
Langkah Susan terhenti dan ia menunduk, “jangan pernah dekati aku lagi” air matanya menetes dan ia pergi.
“aku tidak akan pernah menjauhimu, aku akan buktikan kalau aku benar-benar suka padamu Susan” Paul teriak.

***

Di rumah Susan,
“hey nak, ayah bawakan sesuatu untukmu” Robert memberi Susan baju.
“apa ini hasil dari ayah memalak para pedagang?”
Robert menatap Susan, “memangnya kenapa?”
“aku tidak suka ayah seperti itu”
“hey Suzie, kamu itu kenapa? Bertahun-tahun ayah seperti ini, kau tidak pernah bicara begitu. Sudahlah, kalau kau tidak suka buang saja” Robert melempar baju itu ke lantai.
“permisi” seseorang mengetuk pintu.
Susan kaget, itu kan suara Paul?
Robert menatap Susan, “biar ayah yang buka pintu”
Ya Tuhan, bagaimana ini? Susan agak panik.
“permisi” Paul mengetuk pintu.
Saat Robert membuka pintu, “mau apa?”
Paul kaget, “eh… sa..saya mau bertemu Susan, pak”
“bertemu Susan? Dia tidak ada, oh iya. Asal kamu tau, disini tidak menerima tamu. Karena biasanya kalau ada yang masuk kesini, dia tidak pernah kembali lagi”
“ya ampun, kenapa pak?”
“mati, bodoh!”
“ah? Ya..ya sudah pak, saya permisi” Paul langsung pergi.
Susan mengintip dari jendela.
Robert tersenyum dan menutup pintunya, ia melihat Susan yang langsung diam.
Susan menunduk.
“siapa laki-laki itu?”
“dia bukan siapa-siapa”
“jangan bohong”
“dia teman sekelasku”
“oh, apa benar hanya teman? Bertahun-tahun kamu sekolah,  baru dia yang berani datang kesini”
“sungguh ayah” Susan menatap Robert.
“awas jika dia berani macam-macam” Robert mengambil pistolnya.
Susan langsung masuk ke kamar.
Robert menaruh lagi senjatanya itu.

***

Di rumah Paul,
“ya ampun, bener-bener. Itu orang apa monster sih? Pantes aja gak ada yang mau ke rumah Susan, tapi aku gak boleh nyerah. Aha!” Paul mendapat ide, “aku akan minta bantuan teman-teman”

***

Besoknya,
“permisi” Paul mengetuk pintu rumah Susan, “permisi”
John, George dan Ringo pun ikut menemaninya.
“permisi”
Pintu pun kembali dibuka oleh Robert, mereka semua kaget.
Robert menatap mereka satu per satu, lalu ia menatap Paul. Punya nyali juga dia, Robert tersenyum sinis.
“m..maaf pak, Susan nya ada?”
“aku sudah bilang tidak ada yang namanya Susan disini”
“ah, k..kalau begitu ka..kami permisi”
Saat mereka melangkah pergi,
“mau kemana? Apa begitu sikap seorang tamu?”
Mereka terdiam, bagaimana ini?
George pun menyerah, “maaf Paul, aku lupa belum ngerjain PR. Aku bantu do’a aja ya, dah” ia lari.
“yah si George, masa gitu aja udah nyerah”
Saat mereka sedang mengeluh,
“ngomong apa kalian?”
“e..enggak pak” Paul agak takut.
Mereka pun masuk dengan pasrah.
“duduk sana”
“i..iya pak”
Mereka duduk diam.
“eh, kalian kenapa? Relax aja, kebetulan hari ini aku mangkalnya siang”
Paul, John dan Ringo saling tatap.
“eh, kalian itu kenapa?”
“enggak pak, enggak”
“bagus-bagus” Robert menyalakan api untuk rokoknya, “kalian tau tidak, kalau aku juara menembak sejak kecil?”
Mereka menggeleng.
“akan ku tunjukan senjataku, tunggu disini ya” Robert masuk ke sebuah ruangan.
Ringo yang pucat menatap Paul, “maaf, aku rasa aku tidak bisa membantu lebih jauh lagi”
Paul mengangguk dan Ringo langsung lari.
Saat Robert kembali, ”hey, mana satu orang lagi?”
“eh.. dia bilang ada keperluan pak” John mencari alasan.
“oh, baiklah” Robert duduk dan mengelap senjatanya dengan kain, “kalian lihatkan? Senjata ini begitu mengkilap” Robert menunjukan sebuah senapan.
“eh… iya pak” Paul tersenyum bingung.
John kaget melihat senjata Robert yang begitu besar, ya ampun… bisa mati aku.
Robert menatap mereka, “aku sudah lama tidak menembak”
“ah” John tiba-tiba memegang perutnya, “maaf pak, aku mendadak mules” John menatap Paul dan berbisik, “maafkan aku, aku tidak mau mati muda” ia kembali menatap Robert dan tersenyum, “permisi pak” ia pun langsung berlari.
Robert menatap Paul, “apa yang kau inginkan?”
“a..aku hanya” sebenarnya Paul sangat takut, tapi ia mencoba bertahan untuk bertemu Susan. “aku hanya ingin bertemu dengan anak bapak”
Robert memiringkan kepalanya dan tatapannya semakin tajam, “aku sudah bilang disini tidak ada …”
Paul langsung memotong pembicaraan, “ku mohon pak, aku tidak akan menyakitinya”
“kau?!” Robert kesal dan langsung memegang kerah baju Paul yang sedang duduk, “beraninya kau memotong pembicaraanku” Robert memakinya di depan wajahnya.
Paul takut setengah mati.
“ayah hentikan” Susan keluar dari kamar.
Robert menatap Susan, “kenapa kau keluar?”
Susan diam, Paul melihat ke arah Susan dan Robert.
“ayo masuk kamar, ayah bilang masuk kamar”
“aku tidak akan masuk ke kamar sebelum ayah melepaskan dia”
Robert menahan emosinya dan melepaskan Paul.
Paul masih menatap Susan.
“pergilah, aku kan sudah bilang jangan datang kesini” Susan marah dan masuk ke kamarnya.
“aku minta maaf telah mengganggu bapak, permisi”
“pergilah sebelum aku berubah fikiran”
Paul pun meninggalkan rumah Susan.

***

Saat Paul sampai ke rumahnya, ia kaget melihat bendera kuning. Paul langsung berlari ke dalam, disana John, George, Ringo dan para pembantu menangis.
“apa yang terjadi?” Paul menatap mereka.
Saat mereka melihat Paul, “Paul? Kau masih hidup?” kaget.
“syukurlah tuan”
“hey, ada apa?” Paul binggung.
“John bilang kamu mati ditembak bapaknya Susan”
Paul menatap John.
“maaf, hehe”
“sudahlah” Paul duduk diantara mereka.
“hey kenapa? Kamu kok BT? Gak berhasil ketemu Susan ya?” George menatap Paul.
“ketemu”
“wah, baguslah” Ringo senang mendengar itu.
“syukur kalau kamu gak di apa-apain” John sedikit khawatir.
“iya, bapaknya itu menyeramkan melebihi monster dan film-film horor” Ringo mengingat Robert.
“aku hampir dihajar tau” Paul kesal.
Mereka diam.
“kami minta maaf karena meninggalkanmu disana” John memegang pundak Paul.

***

Di rumah Susan,
“ayah mau kemana? Mau pergi ke tempat itu lagi?” Susan menatap Robert.
“ayah harus melakukannya, ayah perlu uang untuk kehidupan kita”
“tapi ayah bisa mencari pekerjaan lainkan?”
“ayah bukan orang terpelajar Suzie, kehidupan ayah jauh dari itu. Ayah hanya bisa menjadi petarung, preman atau pembunuh bayaran”
“aku tidak mau punya ayah seperti itu” air mata Susan menetes.
“kau boleh berkata seperti itu, tapi ayah tidak pernah menyesal memilikimu” Robert pergi.
Susan menangis.

***

Di gedung pertarungan,
Robert terus memikirkan Susan.
“hey Robert, ada apa?”
“tidak”
“kau butuh uang? Tenanglah, kau pasti menang malam ini. O iya aku lupa, tadi bos mencarimu”
Robert pun pergi ke sebuah ruangan, “tuan McCartney”
“hey, masuklah”
“ada apa tuan mencariku?”
James menatap Robert, “apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini? Apa luka lamamu kumat lagi?”
“tidak, aku… aku ingin berhenti”
“apa? Berhenti? Kau itu bintang disini, selalu menang dan menguntungkanku. Apa kau rugi? Aku kan selalu membayarmu jika menang”
“aku tau, tapi anakku…”
“apa? Dia masih tidak setuju kau bekerja disini?”
“eh, bukan begitu tuan. Aku berencana mencari pekerjaan lain, karena sekarang kebutuhan kami semakin banyak”
“maksudmu uang bayaran dariku sangat sedikit?”
“tidak tuan, bukan begitu”
“sudahlah, aku akan mengeluarkanmu. Tapi ada syaratnya”
“apa itu tuan?”
“kau harus mengalah malam ini”
Penonton sudah berkumpul dan seperti biasa mereka bertaruh untuk kemenangan Robert.
“baiklah para hadirin, malam ini adalah pertarungan istimewa. Karena Robert akan melawan 5 orang sekaligus”
“yeah” penonton bersorak.
Harga tiket judi malam itu pun menjadi mahal.
James tersenyum dari atas, “perintahkan mereka untuk menghabisinya, aku akan untung besar malam ini”
“baik bos”
Tapi salah satu dari anak buahnya menelpon Paul, “hallo tuan, tuan malam ini akan jatuh korban”
Seorang anak buah melihatnya, “hey, kau sedang apa?”
“eh, tidak. Istriku tadi menelpon” orang itu langsung menutup teleponnya.
“apa dia menyuruhmu cepat pulang? Haha” orang itu pergi.
Brak…
Robert jatuh.
Para penonton berteriak, “bangun bodoh, hajar mereka”


***

Di rumah Paul,
“tuan mau kemana? Ini sudah malam tuan”
“aku harus pergi bi, aku tidak mau ayah membunuh orang lagi”
“tuan disana berbahaya”
Paul masuk ke mobil dan pergi.

***

Saat Paul sampai, ia terkejut melihat Robert keluar dari tempat itu.
“itu kan ayah Susan?”
Robert jatuh.
“dia terluka” Paul berlari ke arah Robert, ”pak bangun pak” Paul pun membawanya ke mobil.

***

Di jalan,
Paul terus melihat Robert, apa yang dimaksud anak buah ayah adalah ayah Susan? Jadi selama ini selain menjadi preman ayah Susan bekerja di tempat ayah.
Mereka sampai ke rumah Susan.
“Susan buka pintunya, Susan” Paul sangat panik, “Susan”
Susan mendengar suara Paul yang begitu hawatir, ia pun membuka pintu dan kaget melihat Robert. “ayah?”
“bantu aku”
“iya” Susan memapah Robert ke dalam.
Mereka membaringkan Robert di kamar.
Susan membersihkan luka Robert, “apa yang terjadi pada ayah?”
“a..aku tidak tau Susan, aku melihat ayahmu pingsan di jalan dan langsung membawanya kesini”
“terima kasih Paul, aku tidak tau harus berkata apa lagi. Padahal ayah begitu kasar padamu, tapi kau sangat baik. Kau mau menolongnya”
“sudahlah Susan, kita kan teman”
Susan tersenyum dan mengobati luka Robert.
Paul melihat sebuah foto, “hey, ayahmu juara tinju ya? Dia ayah yang keren”
“begitulah, tapi itu adalah kemenangan pertama dan terakhir ayah. Ayah mendapat luka dalam yang cukup parah dan tidak bisa bermain tinju lagi”
“tapi kenapa dia bertarung di tempat judi?”
“dari mana kau tau ayahku bertarung?”
“eh… aku, aku melihatnya keluar dari tempat itu” Paul diam, aku hampir kelepasan.
“ya, ayah memang bekerja disana. Dia tidak pernah tau kalau aku selalu menghawatirkannya disini”
“ayahmu pasti tau”
Susan menatap Paul, “kamu gak usah so tau”
“aku gak so tau Susan, ayahmu pasti memikirkan banyak hal untuk pekerjaan ini. Dan aku tau yang paling dia fikirkan adalah kau, tapi dia terpaksa melakukan ini karena keadaan”
“Paul aku mulai tidak suka dengan pembicaraan ini”
“aku juga tidak suka bicara seperti ini, tapi aku ingin kau melihat ayahmu dari sisi lain”
“lebih baik kau pulang”
“pernahkah kau berfikir ada ayah yang sama sekali tidak perduli pada anaknya?”
Susan diam melihat ekspresi Paul.
“sudahlah, aku minta maaf telah berkata lancang. Jika ada apa-apa telpon aku, semoga ayahmu cepat sembuh” Paul pergi.
Robert batuk dan membuka matanya, “Suzie…”
Susan menangis dan keluar dari kamar Robert.
Robert menahan sakit dari lukanya dan mencoba berdiri, ia bangun dan berjalan menuju kamar Susan.

***

Di depan kamar Susan,
“sayang buka pintunya, ayah baik-baik saja kok” Robert mengetuk.
Susan yang menangis membuka pintu kamarnya, “aku tidak suka ayah seperti ini”
“maafkan ayah ya nak” Robert memeluk Susan, “sekarang ayah sudah keluar dari pekerjaan itu”
“benarkah?”
Robert tersenyum dan mengangguk.
“aku sayang ayah”
“sudah, jangan menangis”

***

Besoknya,
Paul melamun di taman sekolah.
“heh, ngapain kamu ngelamun sendiri disini?” John menepuk pundak Paul.
“aku gak apa-apa kok John”
“hey, kita kan teman. Apa ini soal ayahmu lagi?”
“bukan, ini bukan soal ayah”
“terus soal apa?” tiba-tiba John melihat Susan datang, “eh eh, ada Susan tuh”
“yang bener aja?”
“ah dasar kamu, mangkanya liat ke depan dong” John menggeleng, “ya udah, aku mending pergi dulu kalau gini ceritanya” John meninggalkan Paul.
Susan tersenyum, “hey”
“hey” Paul senang.
“ayah menyuruhku untuk mengundangmu ke rumah”
“yang bener?”
“iya, kamu bisa kan malam ini ke rumahku?”
“ah, tentu saja aku bisa. Kapan pun aku selalu bisa jika datang ke rumahmu”
Susan menatap Paul.
“itu cuma perumpamaan doang kok Susan”
“perumpamaan?”
“i..iya, maksudnya aku sangat senang diundang ayahmu malam ini. Aku pasti datang”
“oh, ok” sambil merasa aneh, Susan pergi meninggalkan Paul.
Setelah itu, teman-teman Paul langsung datang.
“ciyeh ciyeh” John tersenyum.
“apaan sih kalian?” Paul malu.
“apaan sih kalian? Haha” Ringo mengoloknya.
“eh kayanya ada yang perlu kita kerjain nih” George menatap Paul.
Mereka bertiga pun tersenyum.
“eh, kalian mau apa?” Paul kaget.

***

Di rumah Paul,
Mereka mendandani Paul.
“eh, pelan-pelan. Awas ya jangan ngasal, aku kan mau ketemu ayah Susan”
“udah diem aja” Ringo santai.
“aduh John, awas jangan asal potong rabutnya”
“iya, kamu kok cerewet amat”
“eeh George, kamu mau apa?”

***

Malam itu,
Paul sampai ke depan pintu rumah Susan, ia mulai mengumpulkan keberanian dan mengetuk pintu. “permisi”
Di dalam,
Susan yang sedang membantu Robert memasak, mendengar ketukan pintu. “itu pasti Paul, sebentar ya ayah”
“ok” Robert tersenyum.
Susan membuka pintu, Paul tersenyum dan mereka saling tatap.
Robert yang baru keluar dari dapur kaget melihat mereka, “hey Suzie, kenapa kau tidak menyuruhnya masuk?”
“oh, i..iya”
“selamat malam pak”
“malam, ayo ke ruang makan”
“baik”
Mereka pun makan bersama malam itu, Susan senang ayahnya mau menerima Paul. Begitu juga Paul yang sudah mendapatkan peluang untuk bersama Susan.
“oh iya, aku belum tau banyak tentangmu. Bisakah kau bercerita sedikit tentang keluargamu?”
“eh, ke..keluargaku?” Paul bingung.
“Paul itu anak dari salah satu pengusaha besar di kota ini, ayah tau kan MPL Comm.?”
“MPL?” raut wajah Robert berubah, “maksudnya kau ini seorang McCartney?”
“i..iya pak, aku anak tunggal dari James McCartney. Namaku James Paul McCartney”
“kalau begitu keluar dari rumah ini”
“b..baik pak” Paul menunduk dan pergi.
“ayah, apa yang ayah lakukan?” Susan kaget.
“sudahlah, ayah minta kamu jangan pernah bertemu dia lagi”
“ayah…” Susan menatap Robert.
“ayah serius Susan”
“tapi kenapa ayah? Apa salah Paul?”
“karena dia seorang McCartney”
“aku tidak mengerti, lebih baik aku mengejar Paul”
“itu berarti kau tidak menyayangi ayah”
Susan menatap Robert dengan penuh kecewa, “kenapa ayah?”
“apa kau tidak tau? Ayah Paul adalah pemilik tempat ayah bertarung, dia ingin membunuh ayah malam itu”
“maksud ayah, malam saat Paul membawa ayah?”
Robert mendekat dan memegang pundak Susan, “jika kau sayang pada ayah, tolong lakukan permintaan ayah”
Susan diam dan Robert memeluknya.

***

Di jalan,
Paul pulang dengan kecewa, kenapa? Kenapa disaat semuanya mulai terlihat mudah malah menjadi kacau? Aku selalu menjadi korban ayah, “sial” Paul berteriak dengan kesal.

***

Besoknya,
Paul bicara pada teman-temannya saat istirahat.
“jadi kamu nyerah?” John menatap Paul.
“tapi Susan jauhin aku sekarang, aku udah coba deketin dia tadi pagi. Eh, dia malah…” Paul diam memikirkan itu.
“ayolah Paul, bangkit. Katanya kamu cinta banget sama dia” George menatap Paul.
“tentu aja”
“kalau gitu buktiin, buktiin sama dia kalau kamu itu gak mudah menyerah”
“Ringo bener, kita tau Susan juga suka sama kamu. Tapi mungkin keadaan yang memaksanya seperti itu” John memegang pundak Paul.
“ok” Paul pun mulai percaya diri kembali, aku akan buktikan kalau aku gak main-main, aku yakin pak Robert pasti bisa nerima aku.

***

Saat bubar,
“Susan, Susan…” Paul berlari, “tunggu Susan”
“kamu mau apa?” Susan menunduk.
“Susan liat aku dong”
“ayah menyuruhku cepat pulang”
“Susan” Paul memegang tangan Susan, “aku mencintaimu”
“dengar Paul, kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Tolong jangan ganggu aku lagi, ini semua demi kebaikanmu”
“tapi Susan, kau juga mencintaiku kan?”
Susan melepas tangan Paul, “maaf”
“ok” Paul menatap Susan, “aku tau ini karena ayah kita kan? Tapi kau harus tau Susan, aku tidak takut dan aku akan memperjuangkan cinta kita”
“terserah kau, tolong biarkan aku pergi”
Paul mengangguk dan diam.
Susan meninggalkannya.

***

Malam itu,
“kau yakin akan mendatangi rumahnya?”
“tentu saja John, aku akan buktikan pada Susan dan ayahnya itu”
“semoga berhasil kawan”
Paul tersenyum, ia pun pergi ke rumah Susan. Aduh pagernya dikunci lagi, aku harus manjat nih. Aduh, Paul naik.
Setelah berhasil masuk,
Yah, kamar Susan kan di atas. Paul melihat lampu kamar Susan masih menyala, bagus. Ia tersenyum.

***

Di dalam,
“ayah, kenapa masuk ke kamarku?”
“sst… diam, ada penyusup di bawah”
Susan melihat Robert membawa ember berisi air.

***

Di luar,
Paul mulai memanjat, aku akan buktikan kalau aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak takut siapa pun ayahmu.
Tapi tiba-tiba, byur…
Gubrak…
Paul basah kuyup dan jatuh, “aduh” Paul memegang pinggangnya.
Di atas,
Robert menatapnya dengan tajam.
Paul ingin sekali melakukan sesuatu, tapi melihat Susan yang hawatir. Paul pun pergi.

***

Di kamar Susan,
“kau masih berhubungan dengan anak itu?”
“tidak ayah”
“lalu untuk apa dia kemari?”
“Paul memang keras kepala”
“begitukah?”

***

Besoknya,
“kau tidak usah sekolah hari ini”
“tapi ayah” Susan diam, “baiklah, terserah ayah” ia agak kecewa.
“ayah pergi dulu, ayah akan cari pekerjaan”

***

Di sekolah,
Teman-teman Paul ingin tau kabar tentang Susan.
“gimana kemarin?” John mendekat.
“sukses gak?” Ringo tersenyum.
“ah, aku disiram air tadi malem”
“apa?” George kaget.
Mereka merasa simpati, tapi ingin tertawa juga mendengar itu.
“eh tunggu, hari ini kok aku gak liat Susan ya?”
“iya, keterangannya juga gak jelas tadi” John mengingat buku absen.
“emh… mudah-mudahan dia gak kenapa-kenapa” George khawatir.
“aku juga jadi hawatir, mungkin nanti aku akan ke rumahnya”
“wah, sang pangeran cinta ternyata gak kapok” Ringo tepuk tangan.
“hati-hati, entar bukan diguyur lagi. Tapi dimasukin ke sumur” John tertawa.
“ah kalian”

***

Saat bubar,
“Paul, kamu gak bawa motor?”
“tadinya sih biar bisa pulang sambil ngomong sama Susan, tapi dia malah gak ada”
“kalau gitu naik motorku aja yu”
“gak usah George, makasih”
George pergi, tapi saat dia melihat spion. Disana ada Robert yang menghadang Paul. Gawat, aku harus minta bantuan. George langsung pergi.

***

Disana Robert memukul Paul dan Paul terjatuh.
“ah”
Robert memegang kerah baju Paul, “sekali lagi ku peringatkan, jangan pernah ganggu anakku”
“tapi aku mencintainya pak”
“bodoh” Robert mengepalkan tangannya, “kau ingin aku hajar?”
“hentikan” John berteriak.
Robert menoleh, John Ringo dan George ada disana.
“tolong pak, jangan buat keributan disini” George menatap Robert.
“memangnya kenapa? Kalian mau membantu dia? Aku tidak takut, maju kalian semua”
“tolong pak, lepaskan teman kami” Ringo khawatir.
“iya pak, jika sesuatu terjadi pada Paul. Kami akan melaporkan anda” John so berani.
“beraninya kalian” Robert kesal.
“kami mohon pak” George menatap Robert.
Robert meredakan emosinya dan menatap Paul, “kau selamat kali ini” ia melepas Paul dan pergi.
“kamu gak apa-apakan?” Ringo membantu Paul berdiri.
“aku gak apa-apa” Paul melihat Robert yang sudah jauh, “aku harus menanyakan Susan”
“jangan Paul, nanti kamu…” George khawatir.
“aku tidak takut dihajar”
“bukan masalah itu, kamu harus tenang dulu. Dalam menyelesaikan sesuatu tidak boleh dengan emosi dan saat ini keadaannya tidak tepat”
“John benar, lebih baik kau pulang” Ringo memegang pundak Paul.
“baiklah”

***

Saat Robert sampai di rumah,
Ia kaget melihat rumahnya berantakan, apa yang tejadi? Robert langsung masuk, ya ampun.
Hpnya berbunyi, “halo”
“ayah tolong aku”
“SuzieQ, dimana kamu nak?”
Seseorang tertawa disana, “halo Robert, masih kenal dengan suaraku?”
“kau? Apa yang kau lakukan pada anakku?”
“jangan marah begitu, jika kau ingin anakmu selamat. Datanglah ke tempat pertunjukan, tapi ingat. Jangan bawah polisi”
“dengar, jika terjadi sesuatu pada anakku…”
Dak…
Seseorang memukul Robert dari belakang.
Robert pingsan.

***

Di rumah Paul,
“tuan kenapa?”
“aku gak apa-apa bi”
“tuan dipukul orang?”
“tenang bi, gak sakit kok” Paul tersenyum dan memegang pipinya, “apa ayah di rumah?”
“tuan besar…”
“kenapa bi?”
“aduh gimana bilangnya ya tuan” bibi bingung.
“bi, ada apa?”
“sebenarnya…” bibi pun berbisik.

***

Di gedung,
“lepaskan aku”
“diam cantik, kita kan sedang menunggu ayahmu”
“ayah?”
“iya, ayahmu sedang dijemput sekarang”
“jangan lukai ayahku”
“tenanglah sayang, ayahmu akan baik-baik saja. Nah, itu dia”
Beberapa orang membawa Robert yang diikat.
“ayah”
“tenang sayang, ayah akan menyelamatkanmu”
“oh, sangat menyentuh. Haha”
“lepaskan dia James, kau sudah mendapatkan aku”
“haruskah?”
“sialan” Robert kesal, “lepaskan dia, aku bersedia melakukan apa pun. Tapi lepaskan anakku”
“mengharukan, sungguh ayah yang menyayangi anaknya. Berlututlah jika kau benar-benar ingin dia bebas”
“ayah jangan”
Robert berlutut, “aku mohon, lepaskan anakku”
“haha” James tertawa, tapi dia menendang Robert.
“ayah”
James menatap Robert yang terbaring, “kau fikir semudah itu? Ingatkah dulu saat kita ikut kejuaraan tinju, aku sangat kesal saat kau menang. Tapi aku tidak terlalu kecewa karena aku telah melukaimu di bagian ini” ia menginjak ulu hati Robert.
“ah”
“ayah” Susan menangis.
“bagaimana Bob? Lukanya ternyata permanenkan?” ia melepas injakannya, “hajar dia”
“hentikan” Paul masuk dan memegang pistol.
“anak bodoh, apa yang kau lakukan?”
“lepaskan mereka ayah”
“beraninya kau pada ayah”
“aku tidak main-main, aku akan menembakmu jika kau tidak melepaskan mereka”
“Paul” mimik muka James berubah, “jangan begitu nak, aku ini ayahmu dan kau anakku satu-satunya”
Paul terdiam.
“ayah sayang padamu nak, jangan todongkan pistol kepada ayah seperti itu sayang. Ayolah, kita bisa bicara baik-baikan? Ayah janji akan melepaskan mereka”
“benarkah ayah?”
“ayolah, lepaskan pistol itu dan peluk ayah. Ayah tau selama ini kau butuh ayah, iya kan?”
Saat Paul melepas pistolnya,
James mau menembak Paul.
Robert langsung berdiri dan menghalanginya.
Dor…
Robert jatuh terduduk sambil memegang lukanya.
“ayah”
“pak Robert?” Paul kaget dengan apa yang Robert lakukan.
Robert kesal, “apa yang kau lakukan? Dia anakmu James”
“jangan banyak bicara kau Robert” James mendekat dan menodongkan pistolnya ke kepala Robert, “jangan ada yang bergerak”
“tidak” Susan berteriak dan menangis, “jangan bunuh ayahku”
“hentikan ayah” Paul kembali menodongkan pistol ke arah James.
“kau mengancam ayah lagi? Kau ingin ayah tembak seperti dia?”
“aku tidak takut, jika kau membunuhku sejak kecil. Itu lebih baik”
Robert pun mengambil kesempatan, ia menendang kaki James yang sedang lengah. James jatuh dan Robert menendang pistol James ke arah Paul.
James kesal, “hajar mereka”
Tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan, dor…
“diam semuanya, kami polisi”
Semua terdiam, polisi mengamankan mereka. John George dan Ringo pun datang, mereka membantu Paul juga melepaskan Susan dan Robert.
“maaf kami datang terlambat kawan” John tersenyum.
“tidak apa-apa” Paul tersenyum.
“ayah” Susan memeluk Robert.
“Susan, syukurlah kau baik-baik saja” Robert memegang lukanya.
“ayah harus kuat”
Robert muntah darah.
“ayah” Susan memegangi Robert yang lemas, “ayah bangun ayah, ayah”

***

Saat Robert terbangun, ia berada di Rumah Sakit.
“ayah” Susan senang.
“hey sayang, berapa lama ayah tidur? Dokter tidak bercerita hororkan?”
“ayah sudah 3 hari tak sadarkan diri, tapi dokter sudah mengeluarkan pelurunya. Dokter juga sudah memeriksa luka dalam ayah, dokter bilang ayah masih bisa sembuh”
“jadi ayah sudah dioprasi?”
Susan mengangguk.
“uang dari mana Suzie? Jangan-jangan…”
“ayah, aku mohon jangan marahi Paul lagi”
“tentu tidak sayang, dimana dia?”
“Paul ada di luar”
“ayah ingin bicara dengannya”
“aku akan memanggilnya”
Paul masuk.
“hey Paul”
“bapak?”
“tenang, aku tidak akan memukulmu”
Paul tersenyum, “aku senang bapak sudah siuman”
Robert tersenyum.
“bagaimana dengan luka bapak? Maksudku keadaan bapak sekarang?”
“lebih baik, duduklah”
“i..iya” Paul duduk.
“kau tidak menyesal menjebloskan ayahmu sendiri ke penjara?”
“sebenci apapun aku kepadanya, aku sadar dia tetap ayahku” Paul agak sedih, “tapi itu yang terbaikan? Semoga ayah akan menjadi orang yang lebih baik setelah keluar dari sana”
“aku suka padamu”
“apa?” Paul kaget.
“maksudku, kau boleh pacaran dengan anakku”
“benarkah? Terima kasih pak” Paul senang.
“ok, tapi ingat. Jika kau macam-macam dan membuat anakku sedih, kau akan aku hukum”
“siap pak, aku janji akan membahagiakan Susan”
Robert tersenyum, “aku pegang janjimu”
Beberapa bulan kemudian,
Kelulusan tiba, setiap anak tegang dengan itu.
“selamat ya Susan, kau mendapat peringkat ke dua di sekolah ini” Bu guru memberinya piagam.
“terima kasih”
Sebagai orang tua Susan, Robert ikut naik ke panggung.
“baiklah, dan nilai terbaik tahun ini didapatkan oleh Paul McCartney. Kepada Paul tolong segera ke atas panggung”
Paul pun kesana dan tersenyum.
“mana orang tuamu?”
“e…”
“apa wali juga tidak ada?”
“aku wali dari Paul juga” Robert mendekat.
Paul tersenyum melihat Robert.
“selamat ya nak”
“terima kasih bu”
Di kursi, teman-teman Paul tersenyum.
“kayanya Paul sukses besar” John tersenyum.
“iya, ayah Susan sampe mau jadi walinya” George mengambil foto mereka.
“syukurlah jika akhirnya seperti ini” Ringo mengambil sapu tangan dan berpura-pura menangis.
“ih kau ngapain sih? Lebay” George menukulnya.
“aduh, sakit tau”
Mereka tertawa.
“terima kasih banyak ya pak” Paul tersenyum kepada Robert.
Robert mengelus kepala Paul, “sama-sama” ia memeluk Paul dan Susan sambil tersenyum.
The End
___
Thank’s for reading…
Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^

2 komentar: