Author: Sherly
Holmes
Penyunting :
Erin_Adler
Genre: Comedy
Garing, Family, Friendship, Romance
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan
semata.
Di sebuah sekolah,
Semua siswa selalu berjalan bersama
teman-temannya, tapi Susan. Ia selalu berjalan sendiri.
Paul yang baru keluar bersama teman-temannya
melihat Susan.
“kalian tau gak kenapa cewek itu selalu
sendiri?”
“maksud kamu si Susan?” Ringo menatap Paul.
“ya ampun Paul, berapa lama kamu sekolah
disini?” George aneh pada Paul.
“udah hampir 3 tahun” Paul polos.
“maksud kita, masa udah lama sekolah disini
kamu gak tau juga. Dia dijauhin temen-temen soalnya bapaknya preman” John
menjelaskan dengan sabar dan tenang.
“preman?” Paul kaget.
“ya ampun, kamu bener-bener ngak tau ya?”
George semakin heran.
“Paul Paul, bener-bener kamu ya” John
menggeleng.
Mereka terkadang heran dengan sikap Paul yang
terlalu cuek dengan sekitarnya sehingga terkadang tidak tau apa-apa.
Tapi Ringo tiba-tiba tersenyum, “nah,
jangan-jangan ada yang lagi jatuh cinta”
“ah? Kamu ngomong apa sih? Aku kan cuma nanya”
“iya, tapi gak biasanya seorang Paul peduli
sekitarnya”
“Ringo…” Paul agak BT.
“udahlah, kamu gak usah bohong deh ama kita.
Kamu suka dia kan?” John terseyum.
“cieh Paul” George tertawa.
“eh, enggak”
“coba diinget-inget, beberapa hari terakhir
ini kamu emang keliatan suka merhatiin dia dari jauh. Ayo ngaku?!”
“enggak John, beneran”
“aduh, temen kita yang satu ini emang agak
rese ya. Coba aku inget-inget” George membuka catatannya, “selama ini kalau
Paul pacaran, selalu ceweknya duluan yang nembak. Itu karena kamu gak
memperhatikan cewek-cewek cantik yang ada di sekitarmu, tapi sekarang syukurlah
kamu udah siap untuk pacaran dengan cewek yang bener-bener kamu suka”
“ya ampun, kamu gak seriuskan dengan catatan
itu?” Paul menatap George.
George tersenyum, “tentu enggak, ini cuma buku
pelajaran biasa kok”
“ya ampun George, kita juga hampir kaget.
Takutnya kamu beneran nulis yang aneh tentang kita di buku itu”
“ya enggaklah John, buat apa aku ngelakuin
itu. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan”
Mereka pun pulang.
***
Di sebuah rumah,
Susan masuk.
Robert yang sedang bersantai di sofa
melihatnya, “kamu baru pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?”
“biasa saja” jawaban Susan dingin.
Robert berdiri dan mendekati Susan yang mau
masuk kamar.
“ayah aku lelah”
“kenapa kau selalu begitu pada ayah?”
Susan menatap Robert, “lebih baik ayah tanya
pada diri ayah sendiri, sudah ya ayah. Aku mau tidur siang” Susan masuk ke
kamar dan menutup pintunya.
Robert diam dan kembali duduk di sofa, ia berteriak.
“apa di sekolah ada yang macam-macam padamu? Bilang pada ayah, biar ayah yang
urus dia”
“aku kan sudah bilang tidak ada, ayah” Susan
menjawabnya dari kamar.
***
Malam itu,
Di rumah Paul.
Paul melamun, ia ingat pada Susan. Apa bener
semua anak gak mau deket ama dia karena takut sama ayahnya yang preman itu?
“tuan, tuan Paul” seorang pembantu mengetuk
kamar Paul.
“iya bi?”
“saatnya makan malam tuan”
Paul membuka pintu kamarnya, “apa ayah juga
ikut?”
“tidak tuan, tuan besar sedang…”
“ke tempat itu lagi?” Paul agak kesal, “ya
udahlah bi, aku juga udah biasa kok sendirian”
“sabar ya tuan”
***
Di sebuah tempat,
Sedang diadakan pertarungan illegal, disana
banyak orang yang berjudi dengan taruhan para petarung dan Robert adalah salah
satu dari para peserta.
“ayo hajar dia, bunuh dia”
“ayo, jangan kecewakan aku. Aku bertaruh
banyak untukmu. Jangan sampai aku rugi”
“ayo ayo” semua penonton ramai berteriak pada
Robert.
***
Di atas,
Seorang bos pemilik tempat itu hanya duduk dan
tersenyum melihat pertarungan.
“maaf tuan, ada telpon dari tuan muda” seorang
anak buahnya memberikan telpon.
“bilang saja padanya aku sibuk”
“tapi…, ba..baik tuan” ia kembali menjawab
telpon, “maaf tuan, tuan besar sedang sibuk”
“aku tau itu hanya alasan, loudspeaker telpon
ini sekarang”
“baik tuan” ia menekan tombol di telpon itu.
Suara Paul keluar, “ayah, apa kau mendengarku?
Aku sudah bosan dengan semua alasanmu, aku benci pertarungan illegal itu ayah.
Aku tidak suka ayah menindas orang miskin demi kepentingan ayah, apa ayah tidak
merasa iba melihat mereka terluka bahkan meninggal?”
Kurang ajar anak
itu, James merebut
telponnya. “dengan Paul, jika mereka merasa dirugikan mereka tidak akan mau
mengikuti pertarungan ini. Kau fikir ayah tidak memberi mereka uang? Sudah,
jangan ganggu ayah lagi” ia mematikan telponya dengan kesal.
***
Saat dini hari,
Susan mendengar ketukan pintu, itu pasti ayah.
“Suzie, buka pintunya. SuzieQ” Robert teriak.
Susan membuka pintu dan melihat Robert penuh
luka, air mata Susan menetes. Tapi ia kembali tegar dan menghapusnya, “aku
sudah menyiapkan obatnya disitu, ayah obati sendiri saja. Aku masih ngantuk” Susan
pergi ke kamar dan menutup pintunya.
Robert mendekat ke pintu kamar Susan, “jangan
cemas nak, ini cuma luka kecil”
“aku sudah biasa melihat ayah begitu” Susan
tidur sambil menangis.
***
Besoknya,
Susan berjalan ke sekolah, saat sedang
melamun.
“hey, bareng yu?” Paul tersenyum.
“e.. gak usah, sekolahnya kan udah deket”
“ok deh” Paul pergi dengan mobilnya.
Susan kembali menunduk dan berjalan.
***
Di sekolah,
Istirahat pun tiba, di kantin dekat taman Paul
berkumpul dengan teman-temannya. Ia kembali melihat ke arah Susan yang duduk
sendirian.
“kenapa lagi? Kalau kamu suka, deketin dia
dong” Ringo menatap Paul.
“apaan sih?” Paul tersenyum.
“jangan bilang kamu takut karena ayahnya
preman” John menatap Paul sambil tersenyum.
“apa? Yang benar saja, masa aku takut. Kan
bagus kalau dia gak ada yang deketin, itu tandanya aku gak punya saingan” o..ow… ya ampun aku kelepasan, Paul
langsung terdiam.
“tuh kan, akhirnya ngaku juga dia” George
tertawa.
Mereka tertawa dan Paul hanya diam.
“udah sana, deketin dong” Ringo
mendorong-dorong Paul.
Akhirnya dengan paksaan teman-temannya, Paul
mendekati Susan.
“hey, boleh ikut duduk?”
Susan melihat Paul dengan aneh, “kamu yakin?”
“e.. kalau gak boleh juga gak apa-apa kok”
“duduk aja disitu”
“makasih ya” Paul tersenyum, “oh iya, kita
belum kenalan kan? Namaku Paul”
“kita kan sekelas”
“oh, iya maaf”
Susan tersenyum, “kamu terlalu cuek sih”
Paul tersenyum malu, teman-temannya yang
melihat itu ikut tersenyum.
“kayanya sukses tuh si Paul” John senang.
Tapi Susan tiba-tiba diam, lalu ia kembali
bersikap dingin kepada Paul. “aku harus pergi”
“Susan tapi…”
“maaf Paul” Susan pergi begitu saja.
Paul terdiam dan teman-temannya mendekat.
“ada apa? Kamu salah bicara ya?”
“aku juga gak tau George, tiba-tiba dia kaya
gitu”
“bener-bener misterius tuh cewek” Ringo
mengeleng-geleng kepala.
“kamu itu ngomong apa sih?” John menatap
Ringo.
Ringo pun tersenyum.
“terus gimana sekarang?” George menatap Paul.
“aku gak akan nyerah, nanti pas pulang
sekolah. Aku akan deketin dia lagi”
“wah, kelihatannya sang pangeran bener-bener
serius tuh. Yakin gak takut sama bapaknya” Ringo tersenyum pada Paul.
“kita liat aza, aku pasti bakal dapetin dia”
***
Saat sekolah selesai,
Seperti biasa Susan berjalan
sendiri.
“hey Susan”
“Paul?”
“pulang bareng yu?”
“aku gak bisa, maaf”
“Susan tungu dulu dong” Paul
memegang tangan Susan.
“lepasin” Susan melepas
tangan Paul, “kamu itu kenapa sih?”
“kamu yang kenapa, setiap aku
deketin terus aja menghindar”
“kamu gak tau apa-apa”
“aku tau, itu semua karena
ayahmu kan?”
Susan menampar Paul dan
meninggalkannya.
Paul terus menatap Susan,
“aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, aku hanya…” ia bingung
menyatakannya, “aku hanya menyukaimu”
Langkah Susan terhenti dan ia
menunduk, “jangan pernah dekati aku lagi” air matanya menetes dan ia pergi.
“aku tidak akan pernah
menjauhimu, aku akan buktikan kalau aku benar-benar suka padamu Susan” Paul
teriak.
***
Di rumah Susan,
“hey nak, ayah bawakan
sesuatu untukmu” Robert memberi Susan baju.
“apa ini hasil dari ayah
memalak para pedagang?”
Robert menatap Susan, “memangnya
kenapa?”
“aku tidak suka ayah seperti
itu”
“hey Suzie, kamu itu kenapa?
Bertahun-tahun ayah seperti ini, kau tidak pernah bicara begitu. Sudahlah, kalau
kau tidak suka buang saja” Robert melempar baju itu ke lantai.
“permisi” seseorang mengetuk
pintu.
Susan kaget, itu kan suara Paul?
Robert menatap Susan, “biar
ayah yang buka pintu”
Ya
Tuhan, bagaimana ini? Susan agak panik.
“permisi” Paul mengetuk pintu.
Saat Robert membuka pintu,
“mau apa?”
Paul kaget, “eh… sa..saya mau
bertemu Susan, pak”
“bertemu Susan? Dia tidak
ada, oh iya. Asal kamu tau, disini tidak menerima tamu. Karena biasanya kalau
ada yang masuk kesini, dia tidak pernah kembali lagi”
“ya ampun, kenapa pak?”
“mati, bodoh!”
“ah? Ya..ya sudah pak, saya
permisi” Paul langsung pergi.
Susan mengintip dari jendela.
Robert tersenyum dan menutup
pintunya, ia melihat Susan yang langsung diam.
Susan menunduk.
“siapa laki-laki itu?”
“dia bukan siapa-siapa”
“jangan bohong”
“dia teman sekelasku”
“oh, apa benar hanya teman?
Bertahun-tahun kamu sekolah, baru dia
yang berani datang kesini”
“sungguh ayah” Susan menatap
Robert.
“awas jika dia berani
macam-macam” Robert mengambil pistolnya.
Susan langsung masuk ke
kamar.
Robert menaruh lagi
senjatanya itu.
***
Di rumah Paul,
“ya ampun, bener-bener. Itu
orang apa monster sih? Pantes aja gak ada yang mau ke rumah Susan, tapi aku gak
boleh nyerah. Aha!” Paul mendapat ide, “aku akan minta bantuan teman-teman”
***
Besoknya,
“permisi” Paul mengetuk pintu
rumah Susan, “permisi”
John, George dan Ringo pun
ikut menemaninya.
“permisi”
Pintu pun kembali dibuka oleh
Robert, mereka semua kaget.
Robert menatap mereka satu
per satu, lalu ia menatap Paul. Punya
nyali juga dia, Robert tersenyum sinis.
“m..maaf pak, Susan nya ada?”
“aku sudah bilang tidak ada
yang namanya Susan disini”
“ah, k..kalau begitu ka..kami
permisi”
Saat mereka melangkah pergi,
“mau kemana? Apa begitu sikap
seorang tamu?”
Mereka terdiam, bagaimana ini?
George pun menyerah, “maaf
Paul, aku lupa belum ngerjain PR. Aku bantu do’a aja ya, dah” ia lari.
“yah si George, masa gitu aja
udah nyerah”
Saat mereka sedang mengeluh,
“ngomong apa kalian?”
“e..enggak pak” Paul agak
takut.
Mereka pun masuk dengan
pasrah.
“duduk sana”
“i..iya pak”
Mereka duduk diam.
“eh, kalian kenapa? Relax
aja, kebetulan hari ini aku mangkalnya siang”
Paul, John dan Ringo saling
tatap.
“eh, kalian itu kenapa?”
“enggak pak, enggak”
“bagus-bagus” Robert
menyalakan api untuk rokoknya, “kalian tau tidak, kalau aku juara menembak
sejak kecil?”
Mereka menggeleng.
“akan ku tunjukan senjataku,
tunggu disini ya” Robert masuk ke sebuah ruangan.
Ringo yang pucat menatap
Paul, “maaf, aku rasa aku tidak bisa membantu lebih jauh lagi”
Paul mengangguk dan Ringo
langsung lari.
Saat Robert kembali, ”hey,
mana satu orang lagi?”
“eh.. dia bilang ada
keperluan pak” John mencari alasan.
“oh, baiklah” Robert duduk
dan mengelap senjatanya dengan kain, “kalian lihatkan? Senjata ini begitu
mengkilap” Robert menunjukan sebuah senapan.
“eh… iya pak” Paul tersenyum
bingung.
John kaget melihat senjata
Robert yang begitu besar, ya ampun… bisa
mati aku.
Robert menatap mereka, “aku
sudah lama tidak menembak”
“ah” John tiba-tiba memegang
perutnya, “maaf pak, aku mendadak mules” John menatap Paul dan berbisik,
“maafkan aku, aku tidak mau mati muda” ia kembali menatap Robert dan tersenyum,
“permisi pak” ia pun langsung berlari.
Robert menatap Paul, “apa
yang kau inginkan?”
“a..aku hanya” sebenarnya
Paul sangat takut, tapi ia mencoba bertahan untuk bertemu Susan. “aku hanya
ingin bertemu dengan anak bapak”
Robert memiringkan kepalanya
dan tatapannya semakin tajam, “aku sudah bilang disini tidak ada …”
Paul langsung memotong
pembicaraan, “ku mohon pak, aku tidak akan menyakitinya”
“kau?!” Robert kesal dan
langsung memegang kerah baju Paul yang sedang duduk, “beraninya kau memotong
pembicaraanku” Robert memakinya di depan wajahnya.
Paul takut setengah mati.
“ayah hentikan” Susan keluar
dari kamar.
Robert menatap Susan, “kenapa
kau keluar?”
Susan diam, Paul melihat ke
arah Susan dan Robert.
“ayo masuk kamar, ayah bilang
masuk kamar”
“aku tidak akan masuk ke
kamar sebelum ayah melepaskan dia”
Robert menahan emosinya dan
melepaskan Paul.
Paul masih menatap Susan.
“pergilah, aku kan sudah
bilang jangan datang kesini” Susan marah dan masuk ke kamarnya.
“aku minta maaf telah
mengganggu bapak, permisi”
“pergilah sebelum aku berubah
fikiran”
Paul pun meninggalkan rumah Susan.
***
Saat Paul sampai ke rumahnya,
ia kaget melihat bendera kuning. Paul langsung berlari ke dalam, disana John,
George, Ringo dan para pembantu menangis.
“apa yang terjadi?” Paul
menatap mereka.
Saat mereka melihat Paul,
“Paul? Kau masih hidup?” kaget.
“syukurlah tuan”
“hey, ada apa?” Paul
binggung.
“John bilang kamu mati
ditembak bapaknya Susan”
Paul menatap John.
“maaf, hehe”
“sudahlah” Paul duduk
diantara mereka.
“hey kenapa? Kamu kok BT? Gak
berhasil ketemu Susan ya?” George menatap Paul.
“ketemu”
“wah, baguslah” Ringo senang
mendengar itu.
“syukur kalau kamu gak di apa-apain”
John sedikit khawatir.
“iya, bapaknya itu
menyeramkan melebihi monster dan film-film horor” Ringo mengingat Robert.
“aku hampir dihajar tau” Paul
kesal.
Mereka diam.
“kami minta maaf karena
meninggalkanmu disana” John memegang pundak Paul.
***
Di rumah Susan,
“ayah mau kemana? Mau pergi
ke tempat itu lagi?” Susan menatap Robert.
“ayah harus melakukannya,
ayah perlu uang untuk kehidupan kita”
“tapi ayah bisa mencari
pekerjaan lainkan?”
“ayah bukan orang terpelajar Suzie,
kehidupan ayah jauh dari itu. Ayah hanya bisa menjadi petarung, preman atau
pembunuh bayaran”
“aku tidak mau punya ayah
seperti itu” air mata Susan menetes.
“kau boleh berkata seperti
itu, tapi ayah tidak pernah menyesal memilikimu” Robert pergi.
Susan menangis.
***
Di gedung pertarungan,
Robert terus memikirkan Susan.
“hey Robert, ada apa?”
“tidak”
“kau butuh uang? Tenanglah,
kau pasti menang malam ini. O iya aku lupa, tadi bos mencarimu”
Robert pun pergi ke sebuah
ruangan, “tuan McCartney”
“hey, masuklah”
“ada apa tuan mencariku?”
James menatap Robert, “apa
yang terjadi padamu akhir-akhir ini? Apa luka lamamu kumat lagi?”
“tidak, aku… aku ingin
berhenti”
“apa? Berhenti? Kau itu
bintang disini, selalu menang dan menguntungkanku. Apa kau rugi? Aku kan selalu
membayarmu jika menang”
“aku tau, tapi anakku…”
“apa? Dia masih tidak setuju
kau bekerja disini?”
“eh, bukan begitu tuan. Aku
berencana mencari pekerjaan lain, karena sekarang kebutuhan kami semakin
banyak”
“maksudmu uang bayaran dariku
sangat sedikit?”
“tidak tuan, bukan begitu”
“sudahlah, aku akan
mengeluarkanmu. Tapi ada syaratnya”
“apa itu tuan?”
“kau harus mengalah malam
ini”
Penonton sudah berkumpul dan
seperti biasa mereka bertaruh untuk kemenangan Robert.
“baiklah para hadirin, malam
ini adalah pertarungan istimewa. Karena Robert akan melawan 5 orang sekaligus”
“yeah” penonton bersorak.
Harga tiket judi malam itu
pun menjadi mahal.
James tersenyum dari atas,
“perintahkan mereka untuk menghabisinya, aku akan untung besar malam ini”
“baik bos”
Tapi salah satu dari anak
buahnya menelpon Paul, “hallo tuan, tuan malam ini akan jatuh korban”
Seorang anak buah melihatnya,
“hey, kau sedang apa?”
“eh, tidak. Istriku tadi
menelpon” orang itu langsung menutup teleponnya.
“apa dia menyuruhmu cepat
pulang? Haha” orang itu pergi.
Brak…
Robert jatuh.
Para penonton berteriak,
“bangun bodoh, hajar mereka”
***
Di rumah Paul,
“tuan mau kemana? Ini sudah
malam tuan”
“aku harus pergi bi, aku
tidak mau ayah membunuh orang lagi”
“tuan disana berbahaya”
Paul masuk ke mobil dan pergi.
***
Saat Paul sampai, ia terkejut
melihat Robert keluar dari tempat itu.
“itu kan ayah Susan?”
Robert jatuh.
“dia terluka” Paul berlari ke
arah Robert, ”pak bangun pak” Paul pun membawanya ke mobil.
***
Di jalan,
Paul terus melihat Robert, apa yang dimaksud anak buah ayah adalah ayah
Susan? Jadi selama ini selain menjadi preman ayah Susan bekerja di tempat ayah.
Mereka sampai ke rumah Susan.
“Susan buka pintunya, Susan”
Paul sangat panik, “Susan”
Susan mendengar suara Paul
yang begitu hawatir, ia pun membuka pintu dan kaget melihat Robert. “ayah?”
“bantu aku”
“iya” Susan memapah Robert ke
dalam.
Mereka membaringkan Robert di
kamar.
Susan membersihkan luka
Robert, “apa yang terjadi pada ayah?”
“a..aku tidak tau Susan, aku
melihat ayahmu pingsan di jalan dan langsung membawanya kesini”
“terima kasih Paul, aku tidak
tau harus berkata apa lagi. Padahal ayah begitu kasar padamu, tapi kau sangat
baik. Kau mau menolongnya”
“sudahlah Susan, kita kan
teman”
Susan tersenyum dan mengobati
luka Robert.
Paul melihat sebuah foto,
“hey, ayahmu juara tinju ya? Dia ayah yang keren”
“begitulah, tapi itu adalah
kemenangan pertama dan terakhir ayah. Ayah mendapat luka dalam yang cukup parah
dan tidak bisa bermain tinju lagi”
“tapi kenapa dia bertarung di
tempat judi?”
“dari mana kau tau ayahku
bertarung?”
“eh… aku, aku melihatnya
keluar dari tempat itu” Paul diam, aku
hampir kelepasan.
“ya, ayah memang bekerja
disana. Dia tidak pernah tau kalau aku selalu menghawatirkannya disini”
“ayahmu pasti tau”
Susan menatap Paul, “kamu gak
usah so tau”
“aku gak so tau Susan, ayahmu
pasti memikirkan banyak hal untuk pekerjaan ini. Dan aku tau yang paling dia
fikirkan adalah kau, tapi dia terpaksa melakukan ini karena keadaan”
“Paul aku mulai tidak suka
dengan pembicaraan ini”
“aku juga tidak suka bicara
seperti ini, tapi aku ingin kau melihat ayahmu dari sisi lain”
“lebih baik kau pulang”
“pernahkah kau berfikir ada
ayah yang sama sekali tidak perduli pada anaknya?”
Susan diam melihat ekspresi
Paul.
“sudahlah, aku minta maaf
telah berkata lancang. Jika ada apa-apa telpon aku, semoga ayahmu cepat sembuh”
Paul pergi.
Robert batuk dan membuka
matanya, “Suzie…”
Susan menangis dan keluar
dari kamar Robert.
Robert menahan sakit dari
lukanya dan mencoba berdiri, ia bangun dan berjalan menuju kamar Susan.
***
Di depan kamar Susan,
“sayang buka pintunya, ayah
baik-baik saja kok” Robert mengetuk.
Susan yang menangis membuka
pintu kamarnya, “aku tidak suka ayah seperti ini”
“maafkan ayah ya nak” Robert
memeluk Susan, “sekarang ayah sudah keluar dari pekerjaan itu”
“benarkah?”
Robert tersenyum dan
mengangguk.
“aku sayang ayah”
“sudah, jangan menangis”
***
Besoknya,
Paul melamun di taman
sekolah.
“heh, ngapain kamu ngelamun
sendiri disini?” John menepuk pundak Paul.
“aku gak apa-apa kok John”
“hey, kita kan teman. Apa ini
soal ayahmu lagi?”
“bukan, ini bukan soal ayah”
“terus soal apa?” tiba-tiba
John melihat Susan datang, “eh eh, ada Susan tuh”
“yang bener aja?”
“ah dasar kamu, mangkanya
liat ke depan dong” John menggeleng, “ya udah, aku mending pergi dulu kalau
gini ceritanya” John meninggalkan Paul.
Susan tersenyum, “hey”
“hey” Paul senang.
“ayah menyuruhku untuk
mengundangmu ke rumah”
“yang bener?”
“iya, kamu bisa kan malam ini
ke rumahku?”
“ah, tentu saja aku bisa.
Kapan pun aku selalu bisa jika datang ke rumahmu”
Susan menatap Paul.
“itu cuma perumpamaan doang
kok Susan”
“perumpamaan?”
“i..iya, maksudnya aku sangat
senang diundang ayahmu malam ini. Aku pasti datang”
“oh, ok” sambil merasa aneh, Susan
pergi meninggalkan Paul.
Setelah itu, teman-teman Paul
langsung datang.
“ciyeh ciyeh” John tersenyum.
“apaan sih kalian?” Paul
malu.
“apaan sih kalian? Haha”
Ringo mengoloknya.
“eh kayanya ada yang perlu
kita kerjain nih” George menatap Paul.
Mereka bertiga pun tersenyum.
“eh, kalian mau apa?” Paul
kaget.
***
Di rumah Paul,
Mereka mendandani Paul.
“eh, pelan-pelan. Awas ya
jangan ngasal, aku kan mau ketemu ayah Susan”
“udah diem aja” Ringo santai.
“aduh John, awas jangan asal
potong rabutnya”
“iya, kamu kok cerewet amat”
“eeh George, kamu mau apa?”
***
Malam itu,
Paul sampai ke depan pintu
rumah Susan, ia mulai mengumpulkan keberanian dan mengetuk pintu. “permisi”
Di dalam,
Susan yang sedang membantu
Robert memasak, mendengar ketukan pintu. “itu pasti Paul, sebentar ya ayah”
“ok” Robert tersenyum.
Susan membuka pintu, Paul
tersenyum dan mereka saling tatap.
Robert yang baru keluar dari
dapur kaget melihat mereka, “hey Suzie, kenapa kau tidak menyuruhnya masuk?”
“oh, i..iya”
“selamat malam pak”
“malam, ayo ke ruang makan”
“baik”
Mereka pun makan bersama
malam itu, Susan senang ayahnya mau menerima Paul. Begitu juga Paul yang sudah
mendapatkan peluang untuk bersama Susan.
“oh iya, aku belum tau banyak
tentangmu. Bisakah kau bercerita sedikit tentang keluargamu?”
“eh, ke..keluargaku?” Paul
bingung.
“Paul itu anak dari salah
satu pengusaha besar di kota ini, ayah tau kan MPL Comm.?”
“MPL?” raut wajah Robert
berubah, “maksudnya kau ini seorang McCartney?”
“i..iya pak, aku anak tunggal
dari James McCartney. Namaku James Paul McCartney”
“kalau begitu keluar dari
rumah ini”
“b..baik pak” Paul menunduk
dan pergi.
“ayah, apa yang ayah
lakukan?” Susan kaget.
“sudahlah, ayah minta kamu
jangan pernah bertemu dia lagi”
“ayah…” Susan menatap Robert.
“ayah serius Susan”
“tapi kenapa ayah? Apa salah
Paul?”
“karena dia seorang
McCartney”
“aku tidak mengerti, lebih
baik aku mengejar Paul”
“itu berarti kau tidak
menyayangi ayah”
Susan menatap Robert dengan
penuh kecewa, “kenapa ayah?”
“apa kau tidak tau? Ayah Paul
adalah pemilik tempat ayah bertarung, dia ingin membunuh ayah malam itu”
“maksud ayah, malam saat Paul
membawa ayah?”
Robert mendekat dan memegang
pundak Susan, “jika kau sayang pada ayah, tolong lakukan permintaan ayah”
Susan diam dan Robert
memeluknya.
***
Di jalan,
Paul pulang dengan kecewa, kenapa? Kenapa disaat semuanya mulai terlihat
mudah malah menjadi kacau? Aku selalu menjadi korban ayah, “sial” Paul
berteriak dengan kesal.
***
Besoknya,
Paul bicara pada
teman-temannya saat istirahat.
“jadi kamu nyerah?” John
menatap Paul.
“tapi Susan jauhin aku
sekarang, aku udah coba deketin dia tadi pagi. Eh, dia malah…” Paul diam
memikirkan itu.
“ayolah Paul, bangkit.
Katanya kamu cinta banget sama dia” George menatap Paul.
“tentu aja”
“kalau gitu buktiin, buktiin
sama dia kalau kamu itu gak mudah menyerah”
“Ringo bener, kita tau Susan
juga suka sama kamu. Tapi mungkin keadaan yang memaksanya seperti itu” John
memegang pundak Paul.
“ok” Paul pun mulai percaya
diri kembali, aku akan buktikan kalau aku
gak main-main, aku yakin pak Robert pasti bisa nerima aku.
***
Saat bubar,
“Susan, Susan…” Paul berlari,
“tunggu Susan”
“kamu mau apa?” Susan
menunduk.
“Susan liat aku dong”
“ayah menyuruhku cepat
pulang”
“Susan” Paul memegang tangan Susan,
“aku mencintaimu”
“dengar Paul, kau pasti bisa
mendapatkan yang lebih baik dari aku. Tolong jangan ganggu aku lagi, ini semua
demi kebaikanmu”
“tapi Susan, kau juga
mencintaiku kan?”
Susan melepas tangan Paul,
“maaf”
“ok” Paul menatap Susan, “aku
tau ini karena ayah kita kan? Tapi kau harus tau Susan, aku tidak takut dan aku
akan memperjuangkan cinta kita”
“terserah kau, tolong biarkan
aku pergi”
Paul mengangguk dan diam.
Susan meninggalkannya.
***
Malam itu,
“kau yakin akan mendatangi
rumahnya?”
“tentu saja John, aku akan
buktikan pada Susan dan ayahnya itu”
“semoga berhasil kawan”
Paul tersenyum, ia pun pergi
ke rumah Susan. Aduh pagernya dikunci
lagi, aku harus manjat nih. Aduh, Paul naik.
Setelah berhasil masuk,
Yah,
kamar Susan kan di atas. Paul melihat lampu kamar Susan
masih menyala, bagus. Ia tersenyum.
***
Di dalam,
“ayah, kenapa masuk ke
kamarku?”
“sst… diam, ada penyusup di
bawah”
Susan melihat Robert membawa
ember berisi air.
***
Di luar,
Paul mulai memanjat, aku akan buktikan kalau aku benar-benar
mencintaimu. Aku tidak takut siapa pun ayahmu.
Tapi tiba-tiba, byur…
Gubrak…
Paul basah kuyup dan jatuh, “aduh”
Paul memegang pinggangnya.
Di atas,
Robert menatapnya dengan
tajam.
Paul ingin sekali melakukan
sesuatu, tapi melihat Susan yang hawatir. Paul pun pergi.
***
Di kamar Susan,
“kau masih berhubungan dengan
anak itu?”
“tidak ayah”
“lalu untuk apa dia kemari?”
“Paul memang keras kepala”
“begitukah?”
***
Besoknya,
“kau tidak usah sekolah hari
ini”
“tapi ayah” Susan diam,
“baiklah, terserah ayah” ia agak kecewa.
“ayah pergi dulu, ayah akan
cari pekerjaan”
***
Di sekolah,
Teman-teman Paul ingin tau
kabar tentang Susan.
“gimana kemarin?” John
mendekat.
“sukses gak?” Ringo
tersenyum.
“ah, aku disiram air tadi
malem”
“apa?” George kaget.
Mereka merasa simpati, tapi
ingin tertawa juga mendengar itu.
“eh tunggu, hari ini kok aku
gak liat Susan ya?”
“iya, keterangannya juga gak
jelas tadi” John mengingat buku absen.
“emh… mudah-mudahan dia gak
kenapa-kenapa” George khawatir.
“aku juga jadi hawatir,
mungkin nanti aku akan ke rumahnya”
“wah, sang pangeran cinta
ternyata gak kapok” Ringo tepuk tangan.
“hati-hati, entar bukan
diguyur lagi. Tapi dimasukin ke sumur” John tertawa.
“ah kalian”
***
Saat bubar,
“Paul, kamu gak bawa motor?”
“tadinya sih biar bisa pulang
sambil ngomong sama Susan, tapi dia malah gak ada”
“kalau gitu naik motorku aja
yu”
“gak usah George, makasih”
George pergi, tapi saat dia
melihat spion. Disana ada Robert yang menghadang Paul. Gawat, aku harus minta bantuan. George langsung pergi.
***
Disana Robert memukul Paul
dan Paul terjatuh.
“ah”
Robert memegang kerah baju
Paul, “sekali lagi ku peringatkan, jangan pernah ganggu anakku”
“tapi aku mencintainya pak”
“bodoh” Robert mengepalkan
tangannya, “kau ingin aku hajar?”
“hentikan” John berteriak.
Robert menoleh, John Ringo
dan George ada disana.
“tolong pak, jangan buat
keributan disini” George menatap Robert.
“memangnya kenapa? Kalian mau
membantu dia? Aku tidak takut, maju kalian semua”
“tolong pak, lepaskan teman
kami” Ringo khawatir.
“iya pak, jika sesuatu
terjadi pada Paul. Kami akan melaporkan anda” John so berani.
“beraninya kalian” Robert
kesal.
“kami mohon pak” George
menatap Robert.
Robert meredakan emosinya dan
menatap Paul, “kau selamat kali ini” ia melepas Paul dan pergi.
“kamu gak apa-apakan?” Ringo
membantu Paul berdiri.
“aku gak apa-apa” Paul
melihat Robert yang sudah jauh, “aku harus menanyakan Susan”
“jangan Paul, nanti kamu…”
George khawatir.
“aku tidak takut dihajar”
“bukan masalah itu, kamu
harus tenang dulu. Dalam menyelesaikan sesuatu tidak boleh dengan emosi dan
saat ini keadaannya tidak tepat”
“John benar, lebih baik kau
pulang” Ringo memegang pundak Paul.
“baiklah”
***
Saat Robert sampai di rumah,
Ia kaget melihat rumahnya
berantakan, apa yang tejadi? Robert
langsung masuk, ya ampun.
Hpnya berbunyi, “halo”
“ayah tolong aku”
“SuzieQ, dimana kamu nak?”
Seseorang tertawa disana,
“halo Robert, masih kenal dengan suaraku?”
“kau? Apa yang kau lakukan
pada anakku?”
“jangan marah begitu, jika
kau ingin anakmu selamat. Datanglah ke tempat pertunjukan, tapi ingat. Jangan
bawah polisi”
“dengar, jika terjadi sesuatu
pada anakku…”
Dak…
Seseorang memukul Robert dari
belakang.
Robert pingsan.
***
Di rumah Paul,
“tuan kenapa?”
“aku gak apa-apa bi”
“tuan dipukul orang?”
“tenang bi, gak sakit kok”
Paul tersenyum dan memegang pipinya, “apa ayah di rumah?”
“tuan besar…”
“kenapa bi?”
“aduh gimana bilangnya ya
tuan” bibi bingung.
“bi, ada apa?”
“sebenarnya…” bibi pun
berbisik.
***
Di gedung,
“lepaskan aku”
“diam cantik, kita kan sedang
menunggu ayahmu”
“ayah?”
“iya, ayahmu sedang dijemput
sekarang”
“jangan lukai ayahku”
“tenanglah sayang, ayahmu
akan baik-baik saja. Nah, itu dia”
Beberapa orang membawa Robert
yang diikat.
“ayah”
“tenang sayang, ayah akan
menyelamatkanmu”
“oh, sangat menyentuh. Haha”
“lepaskan dia James, kau
sudah mendapatkan aku”
“haruskah?”
“sialan” Robert kesal,
“lepaskan dia, aku bersedia melakukan apa pun. Tapi lepaskan anakku”
“mengharukan, sungguh ayah
yang menyayangi anaknya. Berlututlah jika kau benar-benar ingin dia bebas”
“ayah jangan”
Robert berlutut, “aku mohon,
lepaskan anakku”
“haha” James tertawa, tapi
dia menendang Robert.
“ayah”
James menatap Robert yang
terbaring, “kau fikir semudah itu? Ingatkah dulu saat kita ikut kejuaraan
tinju, aku sangat kesal saat kau menang. Tapi aku tidak terlalu kecewa karena
aku telah melukaimu di bagian ini” ia menginjak ulu hati Robert.
“ah”
“ayah” Susan menangis.
“bagaimana Bob? Lukanya
ternyata permanenkan?” ia melepas injakannya, “hajar dia”
“hentikan” Paul masuk dan
memegang pistol.
“anak bodoh, apa yang kau
lakukan?”
“lepaskan mereka ayah”
“beraninya kau pada ayah”
“aku tidak main-main, aku
akan menembakmu jika kau tidak melepaskan mereka”
“Paul” mimik muka James
berubah, “jangan begitu nak, aku ini ayahmu dan kau anakku satu-satunya”
Paul terdiam.
“ayah sayang padamu nak,
jangan todongkan pistol kepada ayah seperti itu sayang. Ayolah, kita bisa
bicara baik-baikan? Ayah janji akan melepaskan mereka”
“benarkah ayah?”
“ayolah, lepaskan pistol itu
dan peluk ayah. Ayah tau selama ini kau butuh ayah, iya kan?”
Saat Paul melepas pistolnya,
James mau menembak Paul.
Robert langsung berdiri dan menghalanginya.
Dor…
Robert jatuh terduduk sambil
memegang lukanya.
“ayah”
“pak Robert?” Paul kaget
dengan apa yang Robert lakukan.
Robert kesal, “apa yang kau
lakukan? Dia anakmu James”
“jangan banyak bicara kau
Robert” James mendekat dan menodongkan pistolnya ke kepala Robert, “jangan ada
yang bergerak”
“tidak” Susan berteriak dan
menangis, “jangan bunuh ayahku”
“hentikan ayah” Paul kembali
menodongkan pistol ke arah James.
“kau mengancam ayah lagi? Kau
ingin ayah tembak seperti dia?”
“aku tidak takut, jika kau
membunuhku sejak kecil. Itu lebih baik”
Robert pun mengambil
kesempatan, ia menendang kaki James yang sedang lengah. James jatuh dan Robert
menendang pistol James ke arah Paul.
James kesal, “hajar mereka”
Tapi tiba-tiba terdengar
suara tembakan, dor…
“diam semuanya, kami polisi”
Semua terdiam, polisi
mengamankan mereka. John George dan Ringo pun datang, mereka membantu Paul juga
melepaskan Susan dan Robert.
“maaf kami datang terlambat
kawan” John tersenyum.
“tidak apa-apa” Paul
tersenyum.
“ayah” Susan memeluk Robert.
“Susan, syukurlah kau
baik-baik saja” Robert memegang lukanya.
“ayah harus kuat”
Robert muntah darah.
“ayah” Susan memegangi Robert
yang lemas, “ayah bangun ayah, ayah”
***
Saat Robert terbangun, ia
berada di Rumah Sakit.
“ayah” Susan senang.
“hey sayang, berapa lama ayah
tidur? Dokter tidak bercerita hororkan?”
“ayah sudah 3 hari tak
sadarkan diri, tapi dokter sudah mengeluarkan pelurunya. Dokter juga sudah
memeriksa luka dalam ayah, dokter bilang ayah masih bisa sembuh”
“jadi ayah sudah dioprasi?”
Susan mengangguk.
“uang dari mana Suzie?
Jangan-jangan…”
“ayah, aku mohon jangan
marahi Paul lagi”
“tentu tidak sayang, dimana
dia?”
“Paul ada di luar”
“ayah ingin bicara dengannya”
“aku akan memanggilnya”
Paul masuk.
“hey Paul”
“bapak?”
“tenang, aku tidak akan
memukulmu”
Paul tersenyum, “aku senang
bapak sudah siuman”
Robert tersenyum.
“bagaimana dengan luka bapak?
Maksudku keadaan bapak sekarang?”
“lebih baik, duduklah”
“i..iya” Paul duduk.
“kau tidak menyesal
menjebloskan ayahmu sendiri ke penjara?”
“sebenci apapun aku
kepadanya, aku sadar dia tetap ayahku” Paul agak sedih, “tapi itu yang
terbaikan? Semoga ayah akan menjadi orang yang lebih baik setelah keluar dari
sana”
“aku suka padamu”
“apa?” Paul kaget.
“maksudku, kau boleh pacaran
dengan anakku”
“benarkah? Terima kasih pak”
Paul senang.
“ok, tapi ingat. Jika kau
macam-macam dan membuat anakku sedih, kau akan aku hukum”
“siap pak, aku janji akan
membahagiakan Susan”
Robert tersenyum, “aku pegang
janjimu”
Beberapa bulan kemudian,
Kelulusan tiba, setiap anak
tegang dengan itu.
“selamat ya Susan, kau
mendapat peringkat ke dua di sekolah ini” Bu guru memberinya piagam.
“terima kasih”
Sebagai orang tua Susan,
Robert ikut naik ke panggung.
“baiklah, dan nilai terbaik
tahun ini didapatkan oleh Paul McCartney. Kepada Paul tolong segera ke atas
panggung”
Paul pun kesana dan
tersenyum.
“mana orang tuamu?”
“e…”
“apa wali juga tidak ada?”
“aku wali dari Paul juga”
Robert mendekat.
Paul tersenyum melihat
Robert.
“selamat ya nak”
“terima kasih bu”
Di kursi, teman-teman Paul
tersenyum.
“kayanya Paul sukses besar”
John tersenyum.
“iya, ayah Susan sampe mau
jadi walinya” George mengambil foto mereka.
“syukurlah jika akhirnya
seperti ini” Ringo mengambil sapu tangan dan berpura-pura menangis.
“ih kau ngapain sih? Lebay”
George menukulnya.
“aduh, sakit tau”
Mereka tertawa.
“terima kasih banyak ya pak”
Paul tersenyum kepada Robert.
Robert mengelus kepala Paul,
“sama-sama” ia memeluk Paul dan Susan sambil tersenyum.
The End
___
Thank’s for reading…
Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar yang
membangun sangat diharapkan! ^_^
Bagus banget
BalasHapusthank's for reading...
BalasHapus