Kamis, 03 November 2016

Wo Bu Zhidao

Author : Sherly Holmes
Special Editor : Erin_Adler
Genre : Slice of Life
Cerita ini adalah fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
___
Note : Terima kasih kepada Erin_Adler yang sudah mau berkolaborasi untuk cerita ini, semoga suatu saat kita bisa berkolaborasi kembali.
Di sebuah Universitas,
Seorang perempuan keluar dari kelasnya dan berjalan sambil membayangkan film yang baru ia tonton satu bulan lalu, “bodoh banget ya, aku? Kenapa pas film itu tayang di bioskop, aku gak nonton? Filmnya juga bagus banget” ia terus berjalan.
“Shyl, Shyla?”
Shyla menoleh dan tersenyum, “Robert, ada apa?” ia menatap laki-laki blaster-an yang juga keluar dari kelasnya.
“eh, bentar lagi ada film baru. Mau nonton, gak?”
“kamu yakin, film itu bakalan tayang?”
“ya iya lah, masa enggak?”
“dulu juga film idolaku, gak tayang di bioskop itu”
“ah, pasti kamu lagi ngomongin si pemeran Iron Man itu ‘kan?” (aduh... ceritanya RDJ bukan pemeran Iron Man ya? ^_^)
“belajar dari pengalaman lah”
“eh, kamu harusnya bersyukur. Meski di kota kita gak ada bioskop, tapi di kota tetangga ada. Ya... lumayanlah, 4 studio juga”
“iya deh, emang kamu mau nonton apa?”
“ini” Robert menunjukan salah satu film Gore luar negeri.
“ah, gak mau ah... Serem!”
“idih... ini kan cuma film”
“bodo amat, aku gak mau nonton itu” Shyla meninggalkan Robert.
“eh, Shyl?” Robert merasa aneh dan ia pun pergi sambil memikirkan filmnya, “bener juga kata Shyla, gak semua film bisa tayang di bioskop itu. Aduh... udah satu-satunya, cuma 4 studio lagi”
***
Di sebuah toko musik,
“Koh, aku mau beli harmonika dong” Shyla tersenyum.
“boleh-boleh, ini milih aja” Koh pemilik toko, menunjukan dua macam harmonika yang dijual disana.
Shyla melihat semua harmonika yang ada disana, “lho, gak ada pilihan lain, Koh?”
“cuma ada itu doang. Yang ini Noban, yang ini Goban”
Shyla kaget, duh... perasaan waktu aku cari di internet, harganya minimal 150 ribu deh. Itu juga yang merk-nya kurang direkomendasikan, apa lagi yang ini...?!
“eh, mau beli gak? Nih, yang Goban bagus punya. Lubangnya ada 24”
Shyla masih diam, aduh... ini kayanya KW semua nih.
“eh, beli kagak?” Koh menatap Shyla.
“i..iya Koh”
Akhirnya Shyla membeli harmonika 24 holes itu.
Shyla keluar dari toko, “ya udahlah, gak apa-apa. Yang penting aku punya harmonika buat belajar” ia tersenyum dan pergi.
Di rumah,
Shyla mulai belajar meniup harmonika itu. Sebelum belajar di harmonika nyata, Shyla sempat belajar di smartphone-nya.
“emh... susah juga” Shyla masuk ke kamar, ia mengingat lagu yang ingin ia pelajar.
--- intro musik ---
“ah... susah banget sih. Tapi lumayan, intro-nya udah agak kebaca nih”
Ayah masuk ke kamar Shyla, “kamu abis beli harmonika?”
“ya ampun... ayah? Ngagetin deh”
“beli dari mana?”
“dari toko musik”
“tumben beli ginian, mau kaya John Lennon ya? Katanya nge-fans sama Paul McCartney?”
“harmonika ayah kan ilang” Shyla menatap ayahnya.
“Si Shyla itu pengen kaya om Jaya yang nyanyi Sabda Rindu” ibu bicara dari ruang tv.
“oh..., emh..?” ayah ke luar dari kamar Shyla sambil tidak mengerti.
Shyla kesal, apaan sih ibu? Pake bilang kaya gitu segala? Tapi bener juga sih, ia pun tersenyum.
Besoknya,
Shyla masuk ke kelasnya.
“Shyl?” Robert menatap Shyla.
“ada apa, tuan Downey Jr.?”
“Shyl, aku serius”
“aku juga” Shyla tersenyum dan duduk, “ada apa?”
“kamu mau nonton film, gak?”
“aku gak mau nonton yang serem-serem, takut”
“ya udah, kamu mau nonton apa?”
“ini” Shyla menunjukan poster film yang ada di HP.
“what? Kamu gak salah, kan? Ah... aku tau, ini pasti karena moment kemerdekaan ‘kan?”
“ya, bolehlah. Tapi ada alasan lain juga”
“film ini kan isinya cuma pidato doang”
“emangnya kenapa? Aku udah baca beberapa sumber, film ini bagus. Sangat direkomendasikan buat kita para generasi muda”
Robert kaget, “kamu gak sakit ‘kan, Shyl?”
“maksud kamu, apa?” Shyla menatap Robert.
“sejak kapan kamu suka....” Robert bingung mau bicara apa, “Shyl, bukannya idola kamu itu selalu...”
Shyla masih menatap Robert.
“dari dulu, kamu selalu suka film luar ‘kan?”
“enggak juga kok”
Robert hanya diam menatap Shyla.
“serius” Shyla tersenyum, “coba kamu inget-inget, film luar yang aku tonton itu cuma yang ada idolaku doang”
“film Indo sama sekali enggak, kan?”
“mulai sekarang, aku pingin nonton film Indo juga”
“bener nih, kayanya...” Robert sedikit menjauh, “kamu lagi sakit?!”
“ih... apaan sih?” Shyla kesal.
“kamu serius, Shyl?” Robert kembali mendekat.
“serius” Shyla ingat, “waktu hari raya kemarin, aku nonton film spesial di tv. Pertama tayang dan aku langsung suka”
“film Indo?”
“iya”
“terus?”
“iya, pemerannya om ini” Shyla menunjukan pemeran dari poster film yang ia tunjukan tadi.
“Tyo Pakusadewo?” Robert menatap Shyla.
“iya” Shyla tersenyum dengan begitu yakin.
“kenapa?”
“dia beda aja”
“beda gimana?”
“aku ngerasa, ektingnya selalu total”
Robert duduk disamping Shyla.
“kamu tau, kan? Aku pernah ngefans sama aktor Indo juga, tapi biasanya cuma dalam satu film aja” Shyla tersenyum, “dan saat aku liat film mereka yang lain, aku langsung merasa ekting mereka cuma keren di film itu doang. Tapi om Tyo beda, dia selalu hebat di setiap filmnya”
“emangnya kamu udah nonton film yang mana lagi selain yang di Praha itu?”
“banyak lah”
“ah?” Robert kaget, “aku tau, pasti download gratis dari internet ‘kan?”
“iya” Shyla mengakui dengan sedikit sedih, “kamu tau, kan? Di kota kita gak ada toko cd-dvd film, adanya cuma musik doang. Tempat nyewa film juga gak ada”
“dulu ada”
“tapi sekarang udah bangkrut”
Mereka tertawa.
“kalau kamu tau, dulu di kota ini ada bioskop lho. Aku pernah diajakin nonton 2 kali sama pamanku waktu kecil, bangkunya itu dari kayu. Yang panjang kaya di warung pinggiran. Kalau enggak, tempat duduk plastik yang kaya di tenda-tenda”
“yang bener?”
“dulu kan kamu belum pindah ke kota ini, sekarang bekas bioskopnya udah dibikin mall kota sama tempat kuliner”
“kok kerenan dulu sih?”
“wo pu ce tau (wo bu zhidao = saya tidak tau)” Shyla kembali diam, “mungkin idolaku gak bakal bangga kalau dia tau ini” ia ingat dengan koleksi film sang idola yang didapatkan dari download gratis.
“kita gak punya pilihan lain, Shyl. Lagian juga yang ori harganya lumayan, kan? Belum lagi ongkirnya”
“iya, kalau kita banyak uang sih enak. Aku gak mau kalau harus minta ortu, lagian juga kalau kita beli sesuatu hasil nabung, rasanya tuh...”
“lebih puas?”
“bener” Shyla tersenyum, “mungkin idolaku bisa sedikit maklum”
“peduli apa, dia? Kenal kamu juga enggak”
“aku udah follow twiter-nya lho”
“terus?”
“aku suka seneng kalau dia ngeluarin cuitan, tapi dia banyak nge-retweet orang juga. Coba sekali-kali aku di-retweet”
“emang kamu mau ngetweet apaan? Berharap banget di-retweet”
Pak dosen pun datang, Shyla dan Robert tak bicara lagi.
Saat pulang,
“eh, Shyla” Robert mendekati Shyla.
“ada apa lagi sih?”
“kamu ngerasa gak, kalau dosen kita pilih kasih?”
“aku gak peduli” Shyla terus berjalan, “lagi pula, aku kuliah bukan buat dosen. Tapi buat ayah sama ibu bangga”
“aduh Shyl, kamu gak mau nuntut keadilan?”
“Robert” Shyla menatap Robert, “kamu tau anak emas dosen itu? Dia anak dari salah satu orang yang berpengaruh di kota kita. Makanya kalau dia berbuat sesuka dia, dosen itu gak pernah marah”
“enak juga jadi anak pejabat”
“hus...!” Shyla menatap Robert, “syukuri yang ada, orang tua kita adalah yang terbaik buat kita. Lagian juga, sebenarnya kamu dari orang berada ‘kan? Cuma nutup-nutupin aja dari orang lain”
“udah ah, gak usah dibahas. Tujuannya kan, biar gak dijadiin anak emas kaya si itu. Aku pengen dianggap anak biasa aja”
“tapi kamu tetep jadi anak emasnya ibu dosen”
“mungkin karena aku ganteng, ya?”
“PD banget...?”
Mereka tertawa.
“eh, kamu beban gak sih? Kuliah di tempat yang gak kamu pengen?”
“itu bukan urusan kamu” Shyla tersenyum dan berlari.
“eh, Shyl? Tunggu” Robert mengejarnya.
***
Di rumah Shyla,
Shyla masuk ke kamar dan membuka laptopnya, ia kembali menonton film idolanya. Sudah hampir 60% film sang idola ada di laptopnya, termasuk Clip dan BTS.
Shyla menontonnya sambil berpikir, “mungkin idolaku tidak akan suka dengan ini, tapi cuma ini yang bisa aku lakuin untuk menonton film-filmnya”
Beberapa hari kemudian,
Shyla yang sudah sampai di kelasnya, langsung melihat jadwal film di bioskop kota tetangga. Ia ingat jika film yang ia tunggu akan tayang besok, namun ia tidak menemukan film idolanya.
Shyla sedih, ia melihat di twiter sang idola jika film itu hanya tayang di 20 layar. Dan lebih parahnya, hanya kota besar saja yang menayangkan itu.
Shyla sedikit lemas, padahal ia sangat menunggu film tersebut. Ia pun memberanikan diri untuk mengomentari cuitan sang idola.
Kekecewaan ini bukan yang pertama untuknya, karena dua tahun yang lalu, ia juga pernah mengalami ini. Ia sadar jika tinggal di kota kecil memang tak seenak di kota besar yang serba ada. Tapi dengan adanya bioskop di kota tetangga, itu sudah cukup membuat ia bahagia.
Besoknya,
Shyla mengantar ibunya ke sebuah lapangan, hari itu semua pegawai diwajibkan untuk melakukan upacara kemerdekaan.
Shyla hanya diam di seberang jalan, karena di lapang itu hanya ada para pegawai. Shyla masih sedih, hari ini film sang idola tayang. Ia pun melihat Hp-nya dan terdiam.
Sang idola ternyata nge-like dan me-retweet komentarnya yang kemarin, Shyla begitu bahagia. Ia berteriak dengan gembira dan tertawa, “ya ampun... idolaku nge-retweet aku? Makasih ya Tuhan...”
Setelah upacaran selesai,
Ibu mendekati Shyla yang masih senyum-senyum di pinggir jalan, “hey, ayo kita ke mall itu”
“gak usah, bu. Filmnya juga gak tayang, kok”
“lho? Kenapa?” meski sang ibu tidak tau film apa yang ingin ditonton Shyla, tapi ibu sedikit cemas.
“filmnya cuma tayang di kota-kota besar”
“ya udahlah, gak apa-apa. Kita pergi aja kesana, siapa tau ada yang seru di mall”
“iya deh”
Mereka pun pergi ke mall tersebut. (bioskop kota tetangga yang dimaksud di cerita ini memang berada di kawasan sebuah mall).
Sesampainya di mall,
“kamu mau kemana?” Ibu menatap Shyla.
“ke toko buku aja deh, bu”
Mereka pun masuk ke sebuah toko buku ternama.
Shyla mencari majalah, siapa tau ada idolanya. Dan Shyla pun menemukan sebuah majalah besar dengan cover sang idola, ya ampun... ada?! Shyla tersenyum dan melihat bagian belakang majalah bergambar Chris Hemsworth, “Thor?”
Shyla mendapat ide, depannya ada oom dan belakangnya Thor? Shyla pun langsung membalik majalah seolah-olah cover-nya bergambar sang pemeran Thor.
Ibu mendekat, “gimana, Shyl? Kamu udah dapet majalahnya?”
“udah bu” Shyla menunjukan majalah yang sudah ia balik (gambar pemeran Thor).
Ibu merasa aneh, bukannya dia ngefans sama pemeran Iron Man? Kenapa sekarang beli yang cover-nya pemeran Thor?
“ayo bu”
“iya” ibu tersenyum.
Shyla was-was, ia memang merahasiakan idola barunya itu dari siapa pun. Meski sebenarnya sang ibu agak curiga, tapi ia berusaha menutupinya. Satu-satunya orang yang Shyla beritau, hanya Robert.
Di kasir,
“majalah ini saja, kakak?” kasir tersenyum sambil mengambil majalah dengan bagian Thor di atas.
“iya kak” Shyla tersenyum pada sang ibu, “biar aku yang bayar, bu”
“ya udah” ibu tersenyum.
Tapi setelah kasir men-scan barcode majalah, ia pun menaruh majalah dengan cover asli di atas.
Oow...?! Shyla terdiam, cover asli pun terlihat dan terdapat nama sang aktor TIO PAKUSADEWO.
Ibu melihat itu dan tersenyum tanpa bicara, karena ibu melihat Shyla yang hanya diam bingung.
Saat sampai di rumah,
Shyla masuk ke kamar dengan bahagia, ia mulai membuka majalah yang masih terbungkus dengan plastik. Ia senang sekali, karena hari itu begitu spesial. Untuk pertama kalinya sang idola nge-like dan nge-retweet komentarnya, juga karena ia mendapatkan majalah bersampul sang idola.
Shyla pun membaca isi wawancara dari wartawan majalah tersebut dengan sang aktor, Shyla senang karena selain tulisan, terdapat juga gambar sang aktor yang memakai setelan casual dan agak mirip cowboy.
Shyla melihat bulan majalah itu, “ya ampun... ini majalah sebulan yang lalu? Harusnya udah diganti sama yang baru, tapi kok ini masih ada? Ah... syukur deh, kalau udah diganti, aku gak bakalan dapet majalah ini”
Shyla memeluk majalahnya, lalu ia menyimpannya di lemari khusus. Di dalam lemari tersebut, terdapat beberapa koleksi Shyla yang berkaitan dengan para idolanya.
***
Shyla masuk ke kelas, ia melihat Robert dan langsung menghampirinya.
“Shyla?” Robert tersenyum.
“eh, liat nih. Aku di-retweet” Shyla memperlihatkan HP-nya.
“masa sih?” Robert melihat Hp Shyla, “idih... bener di-retweet”
Shyla tertawa bahagia, “baik banget ya, idola aku?”
“berarti, sekarang kamu gak sedih lagi ‘kan? Mungkin itu rasa simpatik idola kamu, karena kamu gak bisa nonton filmnya”
“dan mungkin dia akan lebih kasihan padaku jika dia tau, di kota kita gak ada bioskop” Shyla duduk diam.
“baik juga idola kamu mau peduli”
Shyla menatap Robert.
“akhirnya keinginanmu terkabul ‘kan? Di-retweet sama idola kamu”
Shyla tersenyum sambil mengangguk.
“beruntung kamu”
“oh iya, aku mau pamer lagi”
“pamer apa?”
Shyla melihat ke sekitarnya, ia merasa aman dan mulai mengeluarkan majalah yang kemarin ia beli.
Robert tersenyum melihat majalah itu, “wah, kapan kamu belinya?”
“kemarin, abis nganter ibu upacara”
“terus ibu kamu gimana?”
“aku juga gak tau, aku tuh udah ngebalikin cover-nya biar gak ketauan ibu. Tapi sama kasir malah dibalikin lagi”
“terus idola kamu keliatan dong?”
“iya, mana ada tulisan namanya. Tapi ibu gak komentar apa-apa sih”
“mungkin dia udah tau kalau kamu ngefans sama om ini”
“padahal aku udah berusaha nutupin semuanya dari ibu. Yang ibu tau, idolaku itu cuma Beatles sama pemeran Iron Man”
“udahlah, gak usah ditutup-tutupin. Lagian ibu kamu juga gak balakan apa-apa”
“aku takut kalau ibu nganggap aku aneh” Shyla menunduk.
“kenapa? Karena idola kamu tua semua?”
“ih.. kamu jahat banget sih, bilang idolaku tua?!”
“orang kenyataan, kok”
“maka dari itu” Shyla sedih, “kamu tau kan? Temen-temen suka ngeledekin aku, Paul McCartney umurnya udah lebih dari 70 tahun. Pemeran Iron Man juga umurnya udah lebih dari 50 ‘kan? Mereka bilang, aku senengnya sama yang tua-tua”
“eh... kamu itu beneran ngefans atau enggak, sih?”
“kok nanyanya gitu?”
“kamu kan punya penilaian yang berbeda dengan orang lain, kamu yakin jika orang yang kamu idolakan adalah orang-orang yang hebat. Bukan karena mereka muda, tampan, kekinian atau apalah?”
“kamu bener, idolaku itu orang-orang hebat. Dan aku punya kriteria tinggi tentang idolaku” Shyla tersenyum, “aku ngefans sama mereka karena aku tau, mereka sangat profesional di bidangnya. Totalitas mereka, kualitas mereka, kelebihan mereka, hidup mereka”
Robert tersenyum melihat Shyla yang begitu menggebu-gebu menceritakan idolanya.
“dalam mengidolakan seseorang, aku gak main-main. Bukan karena mereka lagi hits, bukan karena mereka sedang jadi trend dunia, bukan karena mereka sedang ramai di kalangan anak muda. Tapi karena totalitas di bidang mereka dan dedikadinya yang tinggi”
“nah, gitu dong” Robert menatap Shyla.
Shyla tersenyum, “makasih ya, kamu emang temen yang paling ngertiin aku”
Robert tersenyum.
“oh iya, entar menuju akhir bulan ada film”
“aku tau, aku liat di internet. Idola kamu perannya jadi seniman wayang orang ‘kan?”
Shyla mengangguk, “dia jadi ayahnya sang pemeran utama”
“pasti film itu nyampe ke bioskop tetangga, pemeran utama itu kan lagi hits di kalangan anak muda. Pasti banyak yang pengen nonton filmnya, mungkin cuma kamu yang pengen nonton gara-gara pemeran bapaknya”
“idih... kamu seenaknya ajak. Idolaku itu masih diidolakan anak muda juga kok” Shyla menatap Robert, “aku pernah liat di sosmed orang, caption mereka bahagia banget bisa foto bareng idolaku”
“oh ya?”
“kamu sih gak bakal ngidolain dia, tapi kalau cewek mah...”
“apa?”
“kamu tau gak, sih? Idolaku yang satu itu, meski usianya udah lebih dari setengah abad, tapi masih gagah. Masih macho, pokoknya kalau dia diri doank juga, udah menunjukan bahwa he is a man”
“a man?” Robert menatap Shyla, “aku juga”
“kamu a boy”
“kok?”
“buat aku, boy sama man bukan sekedar anak laki-laki dan laki-laki dewasa. Tapi bagaimana mereka terlihat dan juga kharismanya”
“jadi aku gak punya kharisma?”
“sorry” Shyla tersenyum.
“tapi kan aku ganteng, gak kalah sama cowok-cowok yang lagi digandrungin anak muda”
“maksud kamu, cowok-cowok yang suka nyanyi dengan jogetnya yang lemah gemulai itu? Yang suka dandan dan oprasi plastik itu?” Shyla menatap Robert, “sorry, aku gak suka cowok-cowok lebay kaya gitu. Aku lebih suka dengan cowok yang real-man”
“maksudnya?”
“kamu lebih baik daripada mereka” Shyla tersenyum.
Robert tersenyum, “tapi aku gak bakalan segagah idolamu yang cuma berdiri aja, keliatan macho-nya”
“sebagai teman, aku lebih suka jika kamu jadi diri sendiri”
Saat bubar,
“Shyl, tunggu” Robert mengejar Shyla yang sudah keluar dari gerbang universitas.
Shyla menoleh, “Robert?”
“kok kamu ninggalin aku?”
“maksudnya?”
“kan biasanya juga, kita pulang bareng”
“maaf, tapi aku gak tau kalau kamu pingin pulang bareng terus sama aku”
“Shyl, aku gak pernah bawa kendaraan ke universitas demi ini. Biar kita bisa jalan bareng”
“kamu gak cape?”
“tapi kalau aku bawa mobil, kamu juga gak mau naik ‘kan?”
Shyla tersenyum, “ya udah, ayo kita pulang”
Robert tersenyum dan mereka kembali berjalan.
“kamu belum cerita alasan lain kenapa kamu ngefans sama...”
“om Tyo Pakusadewo?”
Robert mengangguk.
“kamu tau, kan? Di luar negeri, yang namanya senior itu... keliatan masih sangat dihargai. Penyiar televisi pun, semakin senior malah semakin hebat. Tapi di kita, selalu mencari yang muda. Bukan bermaksud anti generasi baru, tapi yang senior-senior alias tua, di kita kurang dihargai. Coba liat di film-film, artis senior seolah tergantikan dengan yang muda. Paling untuk cari aman, mereka jadi pemeran pembantu. Seperti orang tua dari pemeran utama atau, apalah....?”
“terus?”
“coba kamu liat di Holywood, Tom Hanks aja masih suka jadi pemeran utama. Padahal dia udah tua, dan banyak aktor tua lain yang jadi pemeran utama atau masih sangat dihargai disana”
“termasuk si Iron Man, kan?”
“yap” Shyla tersenyum, “dan di Indonesia, aku rasa, cuma om Tyo yang masih axis jadi pemeran utama”
“ah, paling kamu bilang gitu gara-gara film Praha”
“maybe”
“oh, iya. Bentar lagi wisuda, kamu mau bareng ‘gak?”
“bareng?”
“ke kampusnya”
“ya enggak, lah. Orang tuaku, pasti pengen bareng sama aku. Terus ibuku pasti heboh pengen ke salon” Shyla tersenyum, “dia pasti pengen abis-abisan di hari sarjananya si anak”
“tapi sekarang juga kita udah berhak pake gelar sarjana, kan?”
“yap, tapi kalau gak wisuda dulu, rasanya ada yang kurang”
Mereka pun terus berjalan.
***
Hari wisuda pun tiba,
Setelah acara berakhir, Shyla lansung pulang bersama keluarganya. Padahal para wisudawan masih ramai di sekitar kampus.
Robert mencari Shyla, kemana dia?
“Robert!” orang tua Robert mendekat, “what’s wrong?”
“no, no... I’m fine” Robert tersenyum.
Dan mereka pun pergi.
Tiga hari kemudian,
Shyla duduk di bangku taman kota sambil meminum air mineral dalam kemasan.
Robert datang dan duduk disamping Shyla, “hey” ia tersenyum, “gak pergi ke kota sebelah? Hari ini kan, film idola kamu tayang?”
“yap, emang sekarang tayang perdana. Tapi aku udah nge-ceck jadwal, di kota sebelah gak ada film itu”
“kamu udah tanyain lewat medsos-nya?”
“udah, setiap film yang pengen aku tonton, selalu aku tanyakan kepastian tayangnya. Tapi admin bioskopnya itu kayanya kurang peduli”
“kenapa?”
“pertanyaanku yang dijawab terakhir kalinya, waktu film Iron Man vs Captain. Selebihnya, gak ada balasan sedikit pun”
“emh... berarti itu bioskop asyik sendiri kali ya?”
“ya, mau gimana lagi? Itu satu-satunya bioskop terdekat” Shyla menatap Robert, “coba di sekitar kita banyak bioskop, kita pasti bisa milih tempat terbaik”
“mulai deh ngayal lagi”
Shyla kembali minum.
“o iya, Shyl. Besok ke kampus yu? Kan banyak yang harus kita urusin”
“iya, padahal kita udah lulus ya? Kenapa masih harus ngurus ini itu?”
“idih... emang kamu mau, kalau ijazah kamu gak dikasihin?”
Shyla tersenyum.
Besoknya,
Shyla dan teman-teman berkumpul di kelas, Shyla melihat si anak emas yang sedang dikelilingin teman-temannya.
“hey, Shyl” Robert mendekati Shyla.
Shyla menatap Robert.
“tuh, si anak emas abis foto bareng sama pemain film itu”
“masa?”
“iya, kemarin dia pergi ke kota besar. Sengaja buat nonton filmnya”
“pantes temen-temen heboh, mereka pasti iri. Soalnya si anak emas foto bareng sama pemeran utamanya”
“tapi kamu gak bakalan iri, Shyl” Robert tersenyum, “aktor idola kamu gak ada disana, yang si anak emas temuin cuma para pemeran muda doank”
“ya syukur deh, jadi aku gak iri”
Robert duduk disamping Shyla, “kamu serius ya, pengen liat idola kamu?”
“ya iyalah, pengen banget ketemu om Tyo” Shyla tersenyum, “minta foto bareng, minta tanda tangan. Tapi, aku juga gak yakin bisa ketemu dia”
Robert hanya diam melihat expresi Shyla.
***
Beberapa hari kemudian,
Saat Shyla sedang stalking idolanya di internet, ia menemukan kabar tentang buku berisi teks dari film sang idola yang tidak bisa ia tonton karena hanya 20 layar itu.
Shyla langsung berdiri dari tempat duduknya dan pergi.
“Shyl, mau kemana?” ibu kaget.
“aku mau ke toko buku dulu, bu”
Shyla ingat dengan toko buku yang mungkin saat ini jadi satu-satunya di kotanya, meski tak sebesar toko buku ternama yang ada di kota tetangga.
Di toko buku,
“pak, buku ini ada gak?” Shyla menunjukan cover buku dari HP-nya.
“Pantja-sila? Gak ada, dek”
“kalau gitu, aku bisa pesen kan, pak? Tapi aku gak tau pengarangnya”
“bisa-bisa” penjual buku tersenyum.
Beberapa bapak yang sedang duduk di depan toko tersebut pun langsung membicarakan tentang Pancasila dan nasionalis. Ya, meski mereka terlihat hanya menongkrong di toko seharian, tapi sebenarnya mereka punya kelebihan yang tidak dimiliki anak-anak yang ngakunya kekinian.
Shyla tersenyum, ingin rasanya mendengar pembicaraan mereka yang dirasa menarik. Apalagi, sepertinya pembicaraan mereka memang nyambung dengan buku yang ingin Shyla beli. Tapi Shyla tidak punya waktu, ia harus segera kembali ke kantor sang ibu.
“kalau bukunya ada, kabarin ya, pak?”
“siap, dek”
Shyla pun pergi dengan harapan besarnya, semoga bapak penjual buku tadi bisa mendapatkan buku tersebut.
***
Beberapa hari kemudian,
Penjual buku belum juga memberikan kabar, biasanya jika seperti itu, berarti bukunya gak ada. Shyla tau karena pengalamannya saat membuat skripsi.
Shyla cemas, ia takut jika firasatnya itu benar. Shyla pun berencana untuk kembali ke toko buku tersebut, agar ia mendapatkan kepastian dari bapak penjual buku.
Di toko buku,
“pak?” Shyla masuk.
“aduh, dek. Belum ada”
“yah, sayang banget pak”
“emang itu terbitnya kapan sih?”
“bulan kemarin, pak. Masih baru”
“nanti bapak cariin deh”
“ya udah deh, pak. Gak apa-apa, saya juga sambil nyari sana-sini kok”
“maaf ya, dek”
“iya pak, makasih” Shyla pergi dengan sedikit sedih.
Di taman kota,
Shyla duduk diam, dia sudah wisuda dan belum mendapat pekerjaan. Di dalam pikiran Shyla pun mulai tercampur aduk antara mencari perja dan impiannya tentang sang idola.
“gimana caranya dapet buku itu?” Shyla melamun.
“woy, ngapain disini?” Robert mendekat.
“Robert? Kok kamu....?”
“apa?”
“dikirain kamu udah kerja”
Robert tersenyum, “entar aja kalau aku udah balik ke negaraku”
“jadi kamu gak bakalan stay disini?”
“kenapa? Sedih ya?”
“idih... aku emang lagi sedih, tapi bukan karena kamu”
“apa dong? Gara-gara idola kamu?”
“liat nih” Shyla menunjukan cover buku di HP-nya, “aku pengen buku ini”
“lah, terus? Kamu kan tinggal beli ke toko buku yang di pinggir kota”
“aku udah kesana, tapi gak ada. Udah lama aku pesen buku itu”
“terus, kenapa yang lain dapet?”
“gak tau, mungkin aku harus beli on-line ya?”
“maybe”
Mereka pun mulai search di internet.
Setelah mendapatkan toko on-line-nya, Shyla mulai memesan buku tersebut. Ia begitu senang, Robert pun tersenyum.
“semoga bukunya cepet nyampe ya” Shyla tersenyum pada Robert.
“iya”
Satu minggu kemudian,
Buku pun sampai ke rumah Shyla, Shyla begitu senang dan langsung membaca buku tersebut. Ia semakin senang karena di buku itu begitu banyak gambar sang idola.
Tapi besoknya, saat Shyla mendapatkan medsos resmi dari film tersebut. Ia agak kaget, karena harga buku hanya setengah harga dari dia beli on-line.
“ya ampun, cuma 50k? Aku belinya hampir 2 kali lipatnya, mungkin karena tarif ongkirnya dipatok yang paling maksimal kali ya?” Shyla menangis di dalam hati, tapi demi sang idola, hal itu tak mengapa.
Sorenya,
Shyla dan Robert bertemu di sebuah cafe, Shyla pun menunjukan buku yang sudah ia dapatkan.
Robert membuka buku itu, “wah, dua bahasa ya?”
“iya, keren kan?”
“ah, kamu bilang keren karena banyak gambar om-nya ‘kan?”
“heh, isi dari buku ini penting buat para pemuda penerus bangsa”
“kalau aku mutusin untuk jadi warga negara ini, gimana?”
Shyla diam.
“kok, diem?”
“itu urusan pribadi kamu, aku gak mau ikut campur”
“ok” Robert menutup bukunya dan mengembalikan buku itu pada Shyla, “jadi?”
“aku memang belum bisa memberikan apapun untuk negara ini, tapi aku cinta negara ini” Shyla menatap Robert, “mulai saat ini, setiap aku sedang melakukan apapun. Jika aku mendengar lagu kebangsaan, aku akan berdiri dengan bangga dan berhenti sejenak dari aktivitasku”
“keren” Robert tersenyum.
“sampai saat ini, aku selalu berharap bisa bertemu dengan idolaku dan meminta tanda tangannya di buku ini”
“em... mulai, kan? Ngayal...”
“orang lain begitu beruntung bisa bertemu idolanya...”
“dari dulu aku selalu mengajakmu untuk pergi ke premiere film-nya, kan? Tapi kamu gak pernah mau”
“aku tidak sebebas orang lain, aku...”
“orang tuamu tidak pernah mengijinkanmu bepergian jauh karena kamu anak satu-satunya dan begitu dimanja? Juga ibumu yang begitu cerewet setiap kamu melangkah, bahkan berpacaran pun sulit?”
“cukup!” Shyla menatap Robert, “mungkin itu semua terdengar boring di telingan kamu, tapi aku gak keberatan dengan itu. Aku lebih beruntung punya orang tua yang peduli padaku, dari pada mereka yang begitu dibebaskan oleh orang tuanya. Bahkan berani bepergian jauh berdua dengan pacarnya” ia marah, “maaf ya, Robert. Aku bukan orang seperti itu. Mungkin aku kampungan, tapi aku bukan orang liberal sepertimu” Shyla meninggalkan Robert.
“Shyl, tunggu Shyl! Shyla?” Robert diam.
Kenapa kamu gak pernah bisa ngerasaan perasaan aku, sih? Apa bener di otak kamu cuma ada idola kamu? Apa bener kamu segitu patuhnya sama orang tua kamu? Apa ini karena trauma kamu pada sang ayah, sehingga kamu takut pacaran? Aku suka sama kamu, Shyl. Tapi kamu gak pernah bisa liat semua usahaku. Robert pun pergi.
Selama ini, Robert selalu berusaha menunjukan tanda-tanda sukanya. Namun Shyla selalu cuek dan menganggapnya teman saja, ataukah Shyla memang tidak menyukai Robert?
***
Di rumah,
Shyla masuk ke kamar dengan kesal, “apaan sih, si Robert? Kenapa dia jadi nyebelin gitu?” Shyla menyimpan tasnya dan kembali melihat media sosial.
Shyla kaget, hari ini film itu tayang di salah satu gedung tempat memutar film-film indie.
“ya ampun?” tapi Shyla sadar, itu sudah terlambat.
Sebentar lagi malam, jika Shyla nekat pergi pun, mungkin ia baru sampai di kota itu dini hari dan yang pasti, filmnya gak bisa ia tonton.
“sayang banget” Shyla ingin menangis, apalagi ada kabar jika sang idola akan datang kesana. Lagi-lagi Shyla gagal untuk bertemu sang idola.
Shyla berusaha menyenangkan dirinya dengan melihat tweeter-nya, ia melihat cuitan-nya yang pernah di like dan di-retweet sang idola. Bahkan ia pun sempat memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada sang idola dan di-like oleh sang idola. Meski sebenarnya Shyla agak takut melakukan itu, tapi niatnya memang tulus hanya untuk memberi selamat saja.
Shyla tersenyum, “idolaku baik banget sih...”
Malamnya,
Robert menelpon Shyla, dan Shyla menganggkat telponnya.
“hallo?”
“hey, malam ini ada film idolamu di...”
“aku tau, aku udah liat di medsos”
“jadi?”
“jadi apa? Udah pasti aku gak bisa nonton, kan? Tempatnya jauh, di kota besar. Disini gak ada bandara, aku gak bisa ke kota itu dalam waktu singkat”
“lagi-lagi, kamu cuma bisa ngeluh ‘kan? Idola kamu pasti bilang gini, ‘ini fans kok gak ada perjuangannya sedikit pun?’”
“biarin, aku gak peduli semua itu. Yang jelas, aku emang nge-fans dengan tulus tanpa unsur apapun. Aku bener-bener kagum sama ektingnya, cuma itu doang. Aku gak berharap apa-apa dari dia”
“lagian juga, mana mungkin dia peduli sama kamu. Kamu kan bukan siapa-siapa”
“emang aku bukan siapa-siapa, wew!”
Robert tertawa.
“kenapa?”
“aku seneng, kamu udah gak marah lagi”
“dasar aneh”
Beberap hari kemudian,
Shyla mendapat kabar jika film sang idola akan di putar di sebuah gedung kesenian di kota yang satu provinsi dengannya.
“wah? Lumayan nih, tayang-nya 2 minggu. Pengen banget pergi kesana, tapi sama siapa?” dan Shyla pun teringat pada seseorang, “Robert?!”
Shyla langsung menelpon Robert.
“Hallo?” Robert mengangkat telponnya.
“Robert, kita bisa ketemu?”
“tumben kamu ngajak ketemu?” Robert tersenyum.
“hey, aku serius. Bisa gak?”
“bisa, besok ya?”
“ok” Shyla senang.
Besoknya,
Shyla sudah menunggu Robert di pinggir taman kota. Robert pun muncul dengan mobilnya.
“hey” Shyla tersenyum.
“hey” Robert turun dari mobil.
“Robert, aku boleh minta tolong?”
“apa?” Robert menatap Shyla.
“film itu tayang di kota ini” Shyla menunjukan medsosnya, “ini kan kota yang lumayan deket dari bioskop kota sebelah”
“tapi dari kota kita tetep jauh, kan?”
“iya sih”
“terus?”
“aku... aku mau minta tolong. Kamu bisa kan anterin aku kesana?”
“buat nonton?”
“gak mahal kok nontonnya, lagi pula nanti uangnya buat temen idolaku yang juga bikin film ini. Katanya dia lagi sakit”
“semoga temen idola kamu, cepet sembuh ya”
“amin...” Shyla menatap Robert, “kamu bisa, kan? Aku gak punya siapa-siapa lagi selain kamu”
“maafin aku, Shyl”
Shyla mulai merasakan firasat buruk.
“aku harus kembali ke negaraku, visa-ku udah abis. Aku kesini untuk kuliah, dan sekarang aku udah lulus. Jadi aku harus balik”
“ok” Shyla terdiam.
“semuanya udah diurus sama orang tuaku, besok kami berangkat”
Shyla hanya diam.
Robert tersenyum walau sebenarnya dia sedih, “kamu baik-baik ya, aku akan terus do’ain kamu. Semoga suatu saat, kamu bisa ketemu sama idola kamu. Bisa foto bareng dan minta tanda tangannya di buku itu”
Shyla mengangguk.
“aku pulang ya, aku masih harus beres-beres. Nenekku ngomel terus” Robert pun pergi dengan mata yang memerah.
Sementara Shyla yang masih diam, mulai meneteskan air matanya. Ia sadar, Robert tidak mungkin kembali. Satu-satunya teman yang salalu ada untuknya dan menerimanya apa adanya.
Selamat tinggal, Robert...
Di mobil,
Robert pun menangisi semuanya, perempuan yang selalu ia cintai adalah perempuan yang tidak pernah mengerti cintanya dan perasaannya. Meskipun ia selalu memberi kode dan menunjukan kepeduliannya. Perempuan yang ia cintai adalah perempuan childish yang selalu mencari sosok ayah impian yang tidak pernah ia temukan karena trauma masa lalunya. Dan perempuan yang ia cintai harus ia tinggalkan karena perbedaan yang tidak pernah bisa dipersatukan sampai kapanpun.
Semoga suatu saat nanti, kamu bisa mendapatkan semua kebahagia yang selalu jadi impianmu, Shyla...
***
Malam itu,
Shyla masuk ke kamar, ia membuka tasnya dan mengeluarkan buku sang idola yang selalu ia bawa. Shyla tersenyum dan menyimpan buku itu di lemari. Ia selalu berharap, semoga suatu saat, ia dapat bertemu dengan sang idola, Tyo Pakusadewo...
___
Thank’s for reading…

Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar kalian sangat berarti untuk Sherly! ^_^

2 komentar:

  1. mantep min, bagi sosmed dong min ig fb twitter wa atau apa gitu kirimin aja ke email eikeee buat ngobrolin rdj jarang jarang nemu fans indo yang suka bikin ff khusus rdj min zinxhen@gmail.com
    btw eike cewe hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. kamsiah...

      makasih udah baca fanfic-nya, maaf identitas mimin adalah rahasia. apalagi mimin jarang aktif dan cuma aktif kalau ngepost, maaf ya Zinx hen's

      Hapus