Author
: Sherly Holmes
Special Editor : Erin_Adler
Genre
: Slice of Life
Cerita ini adalah
fiktif belaka dan hanya untuk hiburan
semata.
Note : Terima kasih kepada
Erin_Adler yang sudah mau berkolaborasi untuk cerita ini, semoga suatu saat
kita bisa berkolaborasi kembali.
Di sebuah
Universitas,
Seorang perempuan
keluar dari kelasnya dan berjalan sambil membayangkan film yang baru ia tonton
satu bulan lalu, “bodoh banget ya, aku? Kenapa pas film itu tayang di bioskop,
aku gak nonton? Filmnya juga bagus banget” ia terus berjalan.
“Shyl, Shyla?”
Shyla menoleh dan
tersenyum, “Robert, ada apa?” ia menatap laki-laki blaster-an yang juga keluar
dari kelasnya.
“eh, bentar lagi
ada film baru. Mau nonton, gak?”
“kamu yakin, film
itu bakalan tayang?”
“ya iya lah, masa
enggak?”
“dulu juga film
idolaku, gak tayang di bioskop itu”
“ah, pasti kamu
lagi ngomongin si pemeran Iron Man itu ‘kan?” (aduh... ceritanya RDJ bukan pemeran
Iron Man ya? ^_^)
“belajar dari
pengalaman lah”
“eh, kamu harusnya
bersyukur. Meski di kota kita gak ada bioskop, tapi di kota tetangga ada. Ya...
lumayanlah, 4 studio juga”
“iya deh, emang
kamu mau nonton apa?”
“ini” Robert
menunjukan salah satu film Gore luar negeri.
“ah, gak mau ah...
Serem!”
“idih... ini kan
cuma film”
“bodo amat, aku gak
mau nonton itu” Shyla meninggalkan Robert.
“eh, Shyl?” Robert
merasa aneh dan ia pun pergi sambil memikirkan filmnya, “bener juga kata Shyla,
gak semua film bisa tayang di bioskop itu. Aduh... udah satu-satunya, cuma 4
studio lagi”
***
Di sebuah toko
musik,
“Koh, aku mau beli
harmonika dong” Shyla tersenyum.
“boleh-boleh, ini
milih aja” Koh pemilik toko, menunjukan dua macam harmonika yang dijual disana.
Shyla melihat semua
harmonika yang ada disana, “lho, gak ada pilihan lain, Koh?”
“cuma ada itu
doang. Yang ini Noban, yang ini Goban”
Shyla kaget, duh...
perasaan waktu aku cari di internet,
harganya minimal 150 ribu deh. Itu juga yang merk-nya kurang direkomendasikan,
apa lagi yang ini...?!
“eh, mau beli gak? Nih,
yang Goban bagus punya. Lubangnya ada 24”
Shyla masih diam, aduh... ini kayanya KW semua nih.
“eh, beli kagak?”
Koh menatap Shyla.
“i..iya Koh”
Akhirnya Shyla
membeli harmonika 24 holes itu.
Shyla keluar dari
toko, “ya udahlah, gak apa-apa. Yang penting aku punya harmonika buat belajar”
ia tersenyum dan pergi.
Di rumah,
Shyla mulai belajar
meniup harmonika itu. Sebelum belajar di harmonika nyata, Shyla sempat belajar
di smartphone-nya.
“emh... susah juga”
Shyla masuk ke kamar, ia mengingat lagu yang ingin ia pelajar.
--- intro musik ---
“ah... susah banget
sih. Tapi lumayan, intro-nya udah agak kebaca nih”
Ayah masuk ke kamar
Shyla, “kamu abis beli harmonika?”
“ya ampun... ayah?
Ngagetin deh”
“beli dari mana?”
“dari toko musik”
“tumben beli
ginian, mau kaya John Lennon ya? Katanya nge-fans sama Paul McCartney?”
“harmonika ayah kan
ilang” Shyla menatap ayahnya.
“Si Shyla itu
pengen kaya om Jaya yang nyanyi Sabda Rindu” ibu bicara dari ruang tv.
“oh..., emh..?”
ayah ke luar dari kamar Shyla sambil tidak mengerti.
Shyla kesal, apaan sih ibu? Pake bilang kaya gitu segala?
Tapi bener juga sih, ia pun tersenyum.
Besoknya,
Shyla masuk ke
kelasnya.
“Shyl?” Robert
menatap Shyla.
“ada apa, tuan
Downey Jr.?”
“Shyl, aku serius”
“aku juga” Shyla
tersenyum dan duduk, “ada apa?”
“kamu mau nonton
film, gak?”
“aku gak mau nonton
yang serem-serem, takut”
“ya udah, kamu mau
nonton apa?”
“ini” Shyla
menunjukan poster film yang ada di HP.
“what? Kamu gak
salah, kan? Ah... aku tau, ini pasti karena moment kemerdekaan ‘kan?”
“ya, bolehlah. Tapi
ada alasan lain juga”
“film ini kan
isinya cuma pidato doang”
“emangnya kenapa?
Aku udah baca beberapa sumber, film ini bagus. Sangat direkomendasikan buat
kita para generasi muda”
Robert kaget, “kamu
gak sakit ‘kan, Shyl?”
“maksud kamu, apa?”
Shyla menatap Robert.
“sejak kapan kamu
suka....” Robert bingung mau bicara apa, “Shyl, bukannya idola kamu itu
selalu...”
Shyla masih menatap
Robert.
“dari dulu, kamu
selalu suka film luar ‘kan?”
“enggak juga kok”
Robert hanya diam
menatap Shyla.
“serius” Shyla
tersenyum, “coba kamu inget-inget, film luar yang aku tonton itu cuma yang ada
idolaku doang”
“film Indo sama
sekali enggak, kan?”
“mulai sekarang,
aku pingin nonton film Indo juga”
“bener nih, kayanya...”
Robert sedikit menjauh, “kamu lagi sakit?!”
“ih... apaan sih?”
Shyla kesal.
“kamu serius,
Shyl?” Robert kembali mendekat.
“serius” Shyla
ingat, “waktu hari raya kemarin, aku nonton film spesial di tv. Pertama tayang
dan aku langsung suka”
“film Indo?”
“iya”
“terus?”
“iya, pemerannya om
ini” Shyla menunjukan pemeran dari poster film yang ia tunjukan tadi.
“Tyo Pakusadewo?”
Robert menatap Shyla.
“iya” Shyla
tersenyum dengan begitu yakin.
“kenapa?”
“dia beda aja”
“beda gimana?”
“aku ngerasa,
ektingnya selalu total”
Robert duduk
disamping Shyla.
“kamu tau, kan? Aku
pernah ngefans sama aktor Indo juga, tapi biasanya cuma dalam satu film aja”
Shyla tersenyum, “dan saat aku liat film mereka yang lain, aku langsung merasa
ekting mereka cuma keren di film itu doang. Tapi om Tyo beda, dia selalu hebat
di setiap filmnya”
“emangnya kamu udah
nonton film yang mana lagi selain yang di Praha itu?”
“banyak lah”
“ah?” Robert kaget,
“aku tau, pasti download gratis dari internet ‘kan?”
“iya” Shyla
mengakui dengan sedikit sedih, “kamu tau, kan? Di kota kita gak ada toko cd-dvd
film, adanya cuma musik doang. Tempat nyewa film juga gak ada”
“dulu ada”
“tapi sekarang udah
bangkrut”
Mereka tertawa.
“kalau kamu tau,
dulu di kota ini ada bioskop lho. Aku pernah diajakin nonton 2 kali sama
pamanku waktu kecil, bangkunya itu dari kayu. Yang panjang kaya di warung
pinggiran. Kalau enggak, tempat duduk plastik yang kaya di tenda-tenda”
“yang bener?”
“dulu kan kamu
belum pindah ke kota ini, sekarang bekas bioskopnya udah dibikin mall kota sama
tempat kuliner”
“kok kerenan dulu
sih?”
“wo pu ce tau (wo
bu zhidao = saya tidak tau)” Shyla kembali diam, “mungkin idolaku gak bakal
bangga kalau dia tau ini” ia ingat dengan koleksi film sang idola yang
didapatkan dari download gratis.
“kita gak punya
pilihan lain, Shyl. Lagian juga yang ori harganya lumayan, kan? Belum lagi
ongkirnya”
“iya, kalau kita
banyak uang sih enak. Aku gak mau kalau harus minta ortu, lagian juga kalau
kita beli sesuatu hasil nabung, rasanya tuh...”
“lebih puas?”
“bener” Shyla
tersenyum, “mungkin idolaku bisa sedikit maklum”
“peduli apa, dia?
Kenal kamu juga enggak”
“aku udah follow
twiter-nya lho”
“terus?”
“aku suka seneng
kalau dia ngeluarin cuitan, tapi dia banyak nge-retweet orang juga. Coba
sekali-kali aku di-retweet”
“emang kamu mau ngetweet
apaan? Berharap banget di-retweet”
Pak dosen pun
datang, Shyla dan Robert tak bicara lagi.
Saat pulang,
“eh, Shyla” Robert
mendekati Shyla.
“ada apa lagi sih?”
“kamu ngerasa gak,
kalau dosen kita pilih kasih?”
“aku gak peduli”
Shyla terus berjalan, “lagi pula, aku kuliah bukan buat dosen. Tapi buat ayah
sama ibu bangga”
“aduh Shyl, kamu
gak mau nuntut keadilan?”
“Robert” Shyla
menatap Robert, “kamu tau anak emas dosen itu? Dia anak dari salah satu orang
yang berpengaruh di kota kita. Makanya kalau dia berbuat sesuka dia, dosen itu
gak pernah marah”
“enak juga jadi
anak pejabat”
“hus...!” Shyla
menatap Robert, “syukuri yang ada, orang tua kita adalah yang terbaik buat kita.
Lagian juga, sebenarnya kamu dari orang berada ‘kan? Cuma nutup-nutupin aja
dari orang lain”
“udah ah, gak usah
dibahas. Tujuannya kan, biar gak dijadiin anak emas kaya si itu. Aku pengen
dianggap anak biasa aja”
“tapi kamu tetep
jadi anak emasnya ibu dosen”
“mungkin karena aku
ganteng, ya?”
“PD banget...?”
Mereka tertawa.
“eh, kamu beban gak
sih? Kuliah di tempat yang gak kamu pengen?”
“itu bukan urusan
kamu” Shyla tersenyum dan berlari.
“eh, Shyl? Tunggu”
Robert mengejarnya.
***
Di rumah Shyla,
Shyla masuk ke
kamar dan membuka laptopnya, ia kembali menonton film idolanya. Sudah hampir
60% film sang idola ada di laptopnya, termasuk Clip dan BTS.
Shyla menontonnya
sambil berpikir, “mungkin idolaku tidak akan suka dengan ini, tapi cuma ini
yang bisa aku lakuin untuk menonton film-filmnya”
Beberapa hari
kemudian,
Shyla yang sudah
sampai di kelasnya, langsung melihat jadwal film di bioskop kota tetangga. Ia
ingat jika film yang ia tunggu akan tayang besok, namun ia tidak menemukan film
idolanya.
Shyla sedih, ia
melihat di twiter sang idola jika film itu hanya tayang di 20 layar. Dan lebih
parahnya, hanya kota besar saja yang menayangkan itu.
Shyla sedikit
lemas, padahal ia sangat menunggu film tersebut. Ia pun memberanikan diri untuk
mengomentari cuitan sang idola.
Kekecewaan ini
bukan yang pertama untuknya, karena dua tahun yang lalu, ia juga pernah
mengalami ini. Ia sadar jika tinggal di kota kecil memang tak seenak di kota
besar yang serba ada. Tapi dengan adanya bioskop di kota tetangga, itu sudah
cukup membuat ia bahagia.
Besoknya,
Shyla mengantar
ibunya ke sebuah lapangan, hari itu semua pegawai diwajibkan untuk melakukan
upacara kemerdekaan.
Shyla hanya diam di
seberang jalan, karena di lapang itu hanya ada para pegawai. Shyla masih sedih,
hari ini film sang idola tayang. Ia pun melihat Hp-nya dan terdiam.
Sang idola ternyata
nge-like dan me-retweet komentarnya yang kemarin, Shyla begitu bahagia. Ia
berteriak dengan gembira dan tertawa, “ya ampun... idolaku nge-retweet aku?
Makasih ya Tuhan...”
Setelah upacaran
selesai,
Ibu mendekati Shyla
yang masih senyum-senyum di pinggir jalan, “hey, ayo kita ke mall itu”
“gak usah, bu.
Filmnya juga gak tayang, kok”
“lho? Kenapa?”
meski sang ibu tidak tau film apa yang ingin ditonton Shyla, tapi ibu sedikit
cemas.
“filmnya cuma
tayang di kota-kota besar”
“ya udahlah, gak
apa-apa. Kita pergi aja kesana, siapa tau ada yang seru di mall”
“iya deh”
Mereka pun pergi ke
mall tersebut. (bioskop kota tetangga yang dimaksud di cerita ini memang berada
di kawasan sebuah mall).
Sesampainya di
mall,
“kamu mau kemana?”
Ibu menatap Shyla.
“ke toko buku aja
deh, bu”
Mereka pun masuk ke
sebuah toko buku ternama.
Shyla mencari
majalah, siapa tau ada idolanya. Dan Shyla pun menemukan sebuah majalah besar
dengan cover sang idola, ya ampun... ada?!
Shyla tersenyum dan melihat bagian belakang majalah bergambar Chris Hemsworth, “Thor?”
Shyla mendapat ide,
depannya ada oom dan belakangnya Thor?
Shyla pun langsung membalik majalah seolah-olah cover-nya bergambar sang
pemeran Thor.
Ibu mendekat,
“gimana, Shyl? Kamu udah dapet majalahnya?”
“udah bu” Shyla
menunjukan majalah yang sudah ia balik (gambar pemeran Thor).
Ibu merasa aneh, bukannya dia ngefans sama pemeran Iron Man?
Kenapa sekarang beli yang cover-nya pemeran Thor?
“ayo bu”
“iya” ibu
tersenyum.
Shyla was-was, ia
memang merahasiakan idola barunya itu dari siapa pun. Meski sebenarnya sang ibu
agak curiga, tapi ia berusaha menutupinya. Satu-satunya orang yang Shyla
beritau, hanya Robert.
Di kasir,
“majalah ini saja,
kakak?” kasir tersenyum sambil mengambil majalah dengan bagian Thor di atas.
“iya kak” Shyla
tersenyum pada sang ibu, “biar aku yang bayar, bu”
“ya udah” ibu tersenyum.
Tapi setelah kasir
men-scan barcode majalah, ia pun menaruh majalah dengan cover asli di atas.
Oow...?! Shyla terdiam, cover asli
pun terlihat dan terdapat nama sang aktor TIO PAKUSADEWO.
Ibu melihat itu dan
tersenyum tanpa bicara, karena ibu melihat Shyla yang hanya diam bingung.
Saat sampai di
rumah,
Shyla masuk ke
kamar dengan bahagia, ia mulai membuka majalah yang masih terbungkus dengan
plastik. Ia senang sekali, karena hari itu begitu spesial. Untuk pertama
kalinya sang idola nge-like dan nge-retweet komentarnya, juga karena ia
mendapatkan majalah bersampul sang idola.
Shyla pun membaca
isi wawancara dari wartawan majalah tersebut dengan sang aktor, Shyla senang
karena selain tulisan, terdapat juga gambar sang aktor yang memakai setelan
casual dan agak mirip cowboy.
Shyla melihat bulan
majalah itu, “ya ampun... ini majalah sebulan yang lalu? Harusnya udah diganti
sama yang baru, tapi kok ini masih ada? Ah... syukur deh, kalau udah diganti,
aku gak bakalan dapet majalah ini”
Shyla memeluk
majalahnya, lalu ia menyimpannya di lemari khusus. Di dalam lemari tersebut,
terdapat beberapa koleksi Shyla yang berkaitan dengan para idolanya.
***
Shyla masuk ke
kelas, ia melihat Robert dan langsung menghampirinya.
“Shyla?” Robert
tersenyum.
“eh, liat nih. Aku
di-retweet” Shyla memperlihatkan HP-nya.
“masa sih?” Robert
melihat Hp Shyla, “idih... bener di-retweet”
Shyla tertawa
bahagia, “baik banget ya, idola aku?”
“berarti, sekarang
kamu gak sedih lagi ‘kan? Mungkin itu rasa simpatik idola kamu, karena kamu gak
bisa nonton filmnya”
“dan mungkin dia
akan lebih kasihan padaku jika dia tau, di kota kita gak ada bioskop” Shyla
duduk diam.
“baik juga idola
kamu mau peduli”
Shyla menatap
Robert.
“akhirnya
keinginanmu terkabul ‘kan? Di-retweet sama idola kamu”
Shyla tersenyum
sambil mengangguk.
“beruntung kamu”
“oh iya, aku mau
pamer lagi”
“pamer apa?”
Shyla melihat ke
sekitarnya, ia merasa aman dan mulai mengeluarkan majalah yang kemarin ia beli.
Robert tersenyum
melihat majalah itu, “wah, kapan kamu belinya?”
“kemarin, abis
nganter ibu upacara”
“terus ibu kamu
gimana?”
“aku juga gak tau,
aku tuh udah ngebalikin cover-nya biar gak ketauan ibu. Tapi sama kasir malah
dibalikin lagi”
“terus idola kamu
keliatan dong?”
“iya, mana ada
tulisan namanya. Tapi ibu gak komentar apa-apa sih”
“mungkin dia udah
tau kalau kamu ngefans sama om ini”
“padahal aku udah
berusaha nutupin semuanya dari ibu. Yang ibu tau, idolaku itu cuma Beatles sama
pemeran Iron Man”
“udahlah, gak usah
ditutup-tutupin. Lagian ibu kamu juga gak balakan apa-apa”
“aku takut kalau
ibu nganggap aku aneh” Shyla menunduk.
“kenapa? Karena
idola kamu tua semua?”
“ih.. kamu jahat
banget sih, bilang idolaku tua?!”
“orang kenyataan,
kok”
“maka dari itu”
Shyla sedih, “kamu tau kan? Temen-temen suka ngeledekin aku, Paul McCartney
umurnya udah lebih dari 70 tahun. Pemeran Iron Man juga umurnya udah lebih dari
50 ‘kan? Mereka bilang, aku senengnya sama yang tua-tua”
“eh... kamu itu
beneran ngefans atau enggak, sih?”
“kok nanyanya
gitu?”
“kamu kan punya
penilaian yang berbeda dengan orang lain, kamu yakin jika orang yang kamu
idolakan adalah orang-orang yang hebat. Bukan karena mereka muda, tampan,
kekinian atau apalah?”
“kamu bener,
idolaku itu orang-orang hebat. Dan aku punya kriteria tinggi tentang idolaku”
Shyla tersenyum, “aku ngefans sama mereka karena aku tau, mereka sangat
profesional di bidangnya. Totalitas mereka, kualitas mereka, kelebihan mereka,
hidup mereka”
Robert tersenyum
melihat Shyla yang begitu menggebu-gebu menceritakan idolanya.
“dalam mengidolakan
seseorang, aku gak main-main. Bukan karena mereka lagi hits, bukan karena
mereka sedang jadi trend dunia, bukan karena mereka sedang ramai di kalangan
anak muda. Tapi karena totalitas di bidang mereka dan dedikadinya yang tinggi”
“nah, gitu dong”
Robert menatap Shyla.
Shyla tersenyum,
“makasih ya, kamu emang temen yang paling ngertiin aku”
Robert tersenyum.
“oh iya, entar
menuju akhir bulan ada film”
“aku tau, aku liat
di internet. Idola kamu perannya jadi seniman wayang orang ‘kan?”
Shyla mengangguk,
“dia jadi ayahnya sang pemeran utama”
“pasti film itu
nyampe ke bioskop tetangga, pemeran utama itu kan lagi hits di kalangan anak
muda. Pasti banyak yang pengen nonton filmnya, mungkin cuma kamu yang pengen
nonton gara-gara pemeran bapaknya”
“idih... kamu
seenaknya ajak. Idolaku itu masih diidolakan anak muda juga kok” Shyla menatap
Robert, “aku pernah liat di sosmed orang, caption mereka bahagia banget bisa
foto bareng idolaku”
“oh ya?”
“kamu sih gak bakal
ngidolain dia, tapi kalau cewek mah...”
“apa?”
“kamu tau gak, sih?
Idolaku yang satu itu, meski usianya udah lebih dari setengah abad, tapi masih
gagah. Masih macho, pokoknya kalau dia diri doank juga, udah menunjukan bahwa he
is a man”
“a man?” Robert
menatap Shyla, “aku juga”
“kamu a boy”
“kok?”
“buat aku, boy sama
man bukan sekedar anak laki-laki dan laki-laki dewasa. Tapi bagaimana mereka
terlihat dan juga kharismanya”
“jadi aku gak punya
kharisma?”
“sorry” Shyla
tersenyum.
“tapi kan aku
ganteng, gak kalah sama cowok-cowok yang lagi digandrungin anak muda”
“maksud kamu,
cowok-cowok yang suka nyanyi dengan jogetnya yang lemah gemulai itu? Yang suka
dandan dan oprasi plastik itu?” Shyla menatap Robert, “sorry, aku gak suka
cowok-cowok lebay kaya gitu. Aku lebih suka dengan cowok yang real-man”
“maksudnya?”
“kamu lebih baik
daripada mereka” Shyla tersenyum.
Robert tersenyum,
“tapi aku gak bakalan segagah idolamu yang cuma berdiri aja, keliatan macho-nya”
“sebagai teman, aku
lebih suka jika kamu jadi diri sendiri”
Saat bubar,
“Shyl, tunggu”
Robert mengejar Shyla yang sudah keluar dari gerbang universitas.
Shyla menoleh,
“Robert?”
“kok kamu ninggalin
aku?”
“maksudnya?”
“kan biasanya juga,
kita pulang bareng”
“maaf, tapi aku gak
tau kalau kamu pingin pulang bareng terus sama aku”
“Shyl, aku gak
pernah bawa kendaraan ke universitas demi ini. Biar kita bisa jalan bareng”
“kamu gak cape?”
“tapi kalau aku
bawa mobil, kamu juga gak mau naik ‘kan?”
Shyla tersenyum,
“ya udah, ayo kita pulang”
Robert tersenyum
dan mereka kembali berjalan.
“kamu belum cerita
alasan lain kenapa kamu ngefans sama...”
“om Tyo
Pakusadewo?”
Robert mengangguk.
“kamu tau, kan? Di
luar negeri, yang namanya senior itu... keliatan masih sangat dihargai. Penyiar
televisi pun, semakin senior malah semakin hebat. Tapi di kita, selalu mencari
yang muda. Bukan bermaksud anti generasi baru, tapi yang senior-senior alias
tua, di kita kurang dihargai. Coba liat di film-film, artis senior seolah
tergantikan dengan yang muda. Paling untuk cari aman, mereka jadi pemeran
pembantu. Seperti orang tua dari pemeran utama atau, apalah....?”
“terus?”
“coba kamu liat di
Holywood, Tom Hanks aja masih suka jadi pemeran utama. Padahal dia udah tua,
dan banyak aktor tua lain yang jadi pemeran utama atau masih sangat dihargai
disana”
“termasuk si Iron
Man, kan?”
“yap” Shyla
tersenyum, “dan di Indonesia, aku rasa, cuma om Tyo yang masih axis jadi pemeran
utama”
“ah, paling kamu
bilang gitu gara-gara film Praha”
“maybe”
“oh, iya. Bentar
lagi wisuda, kamu mau bareng ‘gak?”
“bareng?”
“ke kampusnya”
“ya enggak, lah.
Orang tuaku, pasti pengen bareng sama aku. Terus ibuku pasti heboh pengen ke
salon” Shyla tersenyum, “dia pasti pengen abis-abisan di hari sarjananya si
anak”
“tapi sekarang juga
kita udah berhak pake gelar sarjana, kan?”
“yap, tapi kalau
gak wisuda dulu, rasanya ada yang kurang”
Mereka pun terus
berjalan.
***
Hari wisuda pun
tiba,
Setelah acara berakhir,
Shyla lansung pulang bersama keluarganya. Padahal para wisudawan masih ramai di
sekitar kampus.
Robert mencari
Shyla, kemana dia?
“Robert!” orang tua
Robert mendekat, “what’s wrong?”
“no, no... I’m fine”
Robert tersenyum.
Dan mereka pun
pergi.
Tiga hari kemudian,
Shyla duduk di
bangku taman kota sambil meminum air mineral dalam kemasan.
Robert datang dan
duduk disamping Shyla, “hey” ia tersenyum, “gak pergi ke kota sebelah? Hari ini
kan, film idola kamu tayang?”
“yap, emang
sekarang tayang perdana. Tapi aku udah nge-ceck jadwal, di kota sebelah gak ada
film itu”
“kamu udah tanyain
lewat medsos-nya?”
“udah, setiap film
yang pengen aku tonton, selalu aku tanyakan kepastian tayangnya. Tapi admin
bioskopnya itu kayanya kurang peduli”
“kenapa?”
“pertanyaanku yang
dijawab terakhir kalinya, waktu film Iron Man vs Captain. Selebihnya, gak ada
balasan sedikit pun”
“emh... berarti itu
bioskop asyik sendiri kali ya?”
“ya, mau gimana
lagi? Itu satu-satunya bioskop terdekat” Shyla menatap Robert, “coba di sekitar
kita banyak bioskop, kita pasti bisa milih tempat terbaik”
“mulai deh ngayal
lagi”
Shyla kembali
minum.
“o iya, Shyl. Besok
ke kampus yu? Kan banyak yang harus kita urusin”
“iya, padahal kita
udah lulus ya? Kenapa masih harus ngurus ini itu?”
“idih... emang kamu
mau, kalau ijazah kamu gak dikasihin?”
Shyla tersenyum.
Besoknya,
Shyla dan
teman-teman berkumpul di kelas, Shyla melihat si anak emas yang sedang
dikelilingin teman-temannya.
“hey, Shyl” Robert
mendekati Shyla.
Shyla menatap
Robert.
“tuh, si anak emas
abis foto bareng sama pemain film itu”
“masa?”
“iya, kemarin dia
pergi ke kota besar. Sengaja buat nonton filmnya”
“pantes temen-temen
heboh, mereka pasti iri. Soalnya si anak emas foto bareng sama pemeran
utamanya”
“tapi kamu gak
bakalan iri, Shyl” Robert tersenyum, “aktor idola kamu gak ada disana, yang si
anak emas temuin cuma para pemeran muda doank”
“ya syukur deh, jadi
aku gak iri”
Robert duduk
disamping Shyla, “kamu serius ya, pengen liat idola kamu?”
“ya iyalah, pengen
banget ketemu om Tyo” Shyla tersenyum, “minta foto bareng, minta tanda tangan.
Tapi, aku juga gak yakin bisa ketemu dia”
Robert hanya diam
melihat expresi Shyla.
***
Beberapa hari
kemudian,
Saat Shyla sedang
stalking idolanya di internet, ia menemukan kabar tentang buku berisi teks dari
film sang idola yang tidak bisa ia tonton karena hanya 20 layar itu.
Shyla langsung
berdiri dari tempat duduknya dan pergi.
“Shyl, mau kemana?”
ibu kaget.
“aku mau ke toko
buku dulu, bu”
Shyla ingat dengan
toko buku yang mungkin saat ini jadi satu-satunya di kotanya, meski tak sebesar
toko buku ternama yang ada di kota tetangga.
Di toko buku,
“pak, buku ini ada
gak?” Shyla menunjukan cover buku dari HP-nya.
“Pantja-sila? Gak
ada, dek”
“kalau gitu, aku
bisa pesen kan, pak? Tapi aku gak tau pengarangnya”
“bisa-bisa” penjual
buku tersenyum.
Beberapa bapak yang
sedang duduk di depan toko tersebut pun langsung membicarakan tentang Pancasila
dan nasionalis. Ya, meski mereka terlihat hanya menongkrong di toko seharian,
tapi sebenarnya mereka punya kelebihan yang tidak dimiliki anak-anak yang
ngakunya kekinian.
Shyla tersenyum,
ingin rasanya mendengar pembicaraan mereka yang dirasa menarik. Apalagi,
sepertinya pembicaraan mereka memang nyambung dengan buku yang ingin Shyla
beli. Tapi Shyla tidak punya waktu, ia harus segera kembali ke kantor sang ibu.
“kalau bukunya ada,
kabarin ya, pak?”
“siap, dek”
Shyla pun pergi
dengan harapan besarnya, semoga bapak penjual buku tadi bisa mendapatkan buku
tersebut.
***
Beberapa hari
kemudian,
Penjual buku belum
juga memberikan kabar, biasanya jika seperti itu, berarti bukunya gak ada.
Shyla tau karena pengalamannya saat membuat skripsi.
Shyla cemas, ia
takut jika firasatnya itu benar. Shyla pun berencana untuk kembali ke toko buku
tersebut, agar ia mendapatkan kepastian dari bapak penjual buku.
Di toko buku,
“pak?” Shyla masuk.
“aduh, dek. Belum
ada”
“yah, sayang banget
pak”
“emang itu
terbitnya kapan sih?”
“bulan kemarin,
pak. Masih baru”
“nanti bapak cariin
deh”
“ya udah deh, pak.
Gak apa-apa, saya juga sambil nyari sana-sini kok”
“maaf ya, dek”
“iya pak, makasih”
Shyla pergi dengan sedikit sedih.
Di taman kota,
Shyla duduk diam,
dia sudah wisuda dan belum mendapat pekerjaan. Di dalam pikiran Shyla pun mulai
tercampur aduk antara mencari perja dan impiannya tentang sang idola.
“gimana caranya
dapet buku itu?” Shyla melamun.
“woy, ngapain
disini?” Robert mendekat.
“Robert? Kok
kamu....?”
“apa?”
“dikirain kamu udah
kerja”
Robert tersenyum,
“entar aja kalau aku udah balik ke negaraku”
“jadi kamu gak
bakalan stay disini?”
“kenapa? Sedih ya?”
“idih... aku emang
lagi sedih, tapi bukan karena kamu”
“apa dong?
Gara-gara idola kamu?”
“liat nih” Shyla
menunjukan cover buku di HP-nya, “aku pengen buku ini”
“lah, terus? Kamu
kan tinggal beli ke toko buku yang di pinggir kota”
“aku udah kesana,
tapi gak ada. Udah lama aku pesen buku itu”
“terus, kenapa yang
lain dapet?”
“gak tau, mungkin
aku harus beli on-line ya?”
“maybe”
Mereka pun mulai
search di internet.
Setelah mendapatkan
toko on-line-nya, Shyla mulai memesan buku tersebut. Ia begitu senang, Robert
pun tersenyum.
“semoga bukunya
cepet nyampe ya” Shyla tersenyum pada Robert.
“iya”
Satu minggu
kemudian,
Buku pun sampai ke
rumah Shyla, Shyla begitu senang dan langsung membaca buku tersebut. Ia semakin
senang karena di buku itu begitu banyak gambar sang idola.
Tapi besoknya, saat
Shyla mendapatkan medsos resmi dari film tersebut. Ia agak kaget, karena harga
buku hanya setengah harga dari dia beli on-line.
“ya ampun, cuma
50k? Aku belinya hampir 2 kali lipatnya, mungkin karena tarif ongkirnya dipatok
yang paling maksimal kali ya?” Shyla menangis di dalam hati, tapi demi sang
idola, hal itu tak mengapa.
Sorenya,
Shyla dan Robert
bertemu di sebuah cafe, Shyla pun menunjukan buku yang sudah ia dapatkan.
Robert membuka buku
itu, “wah, dua bahasa ya?”
“iya, keren kan?”
“ah, kamu bilang
keren karena banyak gambar om-nya ‘kan?”
“heh, isi dari buku
ini penting buat para pemuda penerus bangsa”
“kalau aku mutusin
untuk jadi warga negara ini, gimana?”
Shyla diam.
“kok, diem?”
“itu urusan pribadi
kamu, aku gak mau ikut campur”
“ok” Robert menutup
bukunya dan mengembalikan buku itu pada Shyla, “jadi?”
“aku memang belum
bisa memberikan apapun untuk negara ini, tapi aku cinta negara ini” Shyla
menatap Robert, “mulai saat ini, setiap aku sedang melakukan apapun. Jika aku
mendengar lagu kebangsaan, aku akan berdiri dengan bangga dan berhenti sejenak
dari aktivitasku”
“keren” Robert
tersenyum.
“sampai saat ini,
aku selalu berharap bisa bertemu dengan idolaku dan meminta tanda tangannya di
buku ini”
“em... mulai, kan?
Ngayal...”
“orang lain begitu
beruntung bisa bertemu idolanya...”
“dari dulu aku
selalu mengajakmu untuk pergi ke premiere film-nya, kan? Tapi kamu gak pernah
mau”
“aku tidak sebebas
orang lain, aku...”
“orang tuamu tidak
pernah mengijinkanmu bepergian jauh karena kamu anak satu-satunya dan begitu
dimanja? Juga ibumu yang begitu cerewet setiap kamu melangkah, bahkan
berpacaran pun sulit?”
“cukup!” Shyla
menatap Robert, “mungkin itu semua terdengar boring di telingan kamu, tapi aku
gak keberatan dengan itu. Aku lebih beruntung punya orang tua yang peduli
padaku, dari pada mereka yang begitu dibebaskan oleh orang tuanya. Bahkan
berani bepergian jauh berdua dengan pacarnya” ia marah, “maaf ya, Robert. Aku
bukan orang seperti itu. Mungkin aku kampungan, tapi aku bukan orang liberal
sepertimu” Shyla meninggalkan Robert.
“Shyl, tunggu Shyl!
Shyla?” Robert diam.
Kenapa kamu gak pernah bisa ngerasaan perasaan aku,
sih? Apa bener di otak kamu cuma ada idola kamu? Apa bener kamu segitu patuhnya
sama orang tua kamu? Apa ini karena trauma kamu pada sang ayah, sehingga kamu
takut pacaran? Aku suka sama kamu, Shyl. Tapi kamu gak pernah bisa liat semua
usahaku. Robert pun pergi.
Selama ini, Robert
selalu berusaha menunjukan tanda-tanda sukanya. Namun Shyla selalu cuek dan
menganggapnya teman saja, ataukah Shyla memang tidak menyukai Robert?
***
Di rumah,
Shyla masuk ke
kamar dengan kesal, “apaan sih, si Robert? Kenapa dia jadi nyebelin gitu?”
Shyla menyimpan tasnya dan kembali melihat media sosial.
Shyla kaget, hari
ini film itu tayang di salah satu gedung tempat memutar film-film indie.
“ya ampun?” tapi
Shyla sadar, itu sudah terlambat.
Sebentar lagi
malam, jika Shyla nekat pergi pun, mungkin ia baru sampai di kota itu dini hari
dan yang pasti, filmnya gak bisa ia tonton.
“sayang banget”
Shyla ingin menangis, apalagi ada kabar jika sang idola akan datang kesana.
Lagi-lagi Shyla gagal untuk bertemu sang idola.
Shyla berusaha
menyenangkan dirinya dengan melihat tweeter-nya, ia melihat cuitan-nya yang
pernah di like dan di-retweet sang idola. Bahkan ia pun sempat memberikan
ucapan selamat ulang tahun kepada sang idola dan di-like oleh sang idola. Meski
sebenarnya Shyla agak takut melakukan itu, tapi niatnya memang tulus hanya
untuk memberi selamat saja.
Shyla tersenyum,
“idolaku baik banget sih...”
Malamnya,
Robert menelpon
Shyla, dan Shyla menganggkat telponnya.
“hallo?”
“hey, malam ini ada
film idolamu di...”
“aku tau, aku udah
liat di medsos”
“jadi?”
“jadi apa? Udah
pasti aku gak bisa nonton, kan? Tempatnya jauh, di kota besar. Disini gak ada
bandara, aku gak bisa ke kota itu dalam waktu singkat”
“lagi-lagi, kamu
cuma bisa ngeluh ‘kan? Idola kamu pasti bilang gini, ‘ini fans kok gak ada
perjuangannya sedikit pun?’”
“biarin, aku gak
peduli semua itu. Yang jelas, aku emang nge-fans dengan tulus tanpa unsur
apapun. Aku bener-bener kagum sama ektingnya, cuma itu doang. Aku gak berharap
apa-apa dari dia”
“lagian juga, mana
mungkin dia peduli sama kamu. Kamu kan bukan siapa-siapa”
“emang aku bukan
siapa-siapa, wew!”
Robert tertawa.
“kenapa?”
“aku seneng, kamu
udah gak marah lagi”
“dasar aneh”
Beberap hari
kemudian,
Shyla mendapat
kabar jika film sang idola akan di putar di sebuah gedung kesenian di kota yang
satu provinsi dengannya.
“wah? Lumayan nih,
tayang-nya 2 minggu. Pengen banget pergi kesana, tapi sama siapa?” dan Shyla
pun teringat pada seseorang, “Robert?!”
Shyla langsung
menelpon Robert.
“Hallo?” Robert
mengangkat telponnya.
“Robert, kita bisa
ketemu?”
“tumben kamu ngajak
ketemu?” Robert tersenyum.
“hey, aku serius.
Bisa gak?”
“bisa, besok ya?”
“ok” Shyla senang.
Besoknya,
Shyla sudah
menunggu Robert di pinggir taman kota. Robert pun muncul dengan mobilnya.
“hey” Shyla
tersenyum.
“hey” Robert turun
dari mobil.
“Robert, aku boleh
minta tolong?”
“apa?” Robert
menatap Shyla.
“film itu tayang di
kota ini” Shyla menunjukan medsosnya, “ini kan kota yang lumayan deket dari
bioskop kota sebelah”
“tapi dari kota
kita tetep jauh, kan?”
“iya sih”
“terus?”
“aku... aku mau
minta tolong. Kamu bisa kan anterin aku kesana?”
“buat nonton?”
“gak mahal kok
nontonnya, lagi pula nanti uangnya buat temen idolaku yang juga bikin film ini.
Katanya dia lagi sakit”
“semoga temen idola
kamu, cepet sembuh ya”
“amin...” Shyla
menatap Robert, “kamu bisa, kan? Aku gak punya siapa-siapa lagi selain kamu”
“maafin aku, Shyl”
Shyla mulai
merasakan firasat buruk.
“aku harus kembali
ke negaraku, visa-ku udah abis. Aku kesini untuk kuliah, dan sekarang aku udah
lulus. Jadi aku harus balik”
“ok” Shyla terdiam.
“semuanya udah
diurus sama orang tuaku, besok kami berangkat”
Shyla hanya diam.
Robert tersenyum
walau sebenarnya dia sedih, “kamu baik-baik ya, aku akan terus do’ain kamu.
Semoga suatu saat, kamu bisa ketemu sama idola kamu. Bisa foto bareng dan minta
tanda tangannya di buku itu”
Shyla mengangguk.
“aku pulang ya, aku
masih harus beres-beres. Nenekku ngomel terus” Robert pun pergi dengan mata
yang memerah.
Sementara Shyla
yang masih diam, mulai meneteskan air matanya. Ia sadar, Robert tidak mungkin
kembali. Satu-satunya teman yang salalu ada untuknya dan menerimanya apa
adanya.
Selamat tinggal, Robert...
Di mobil,
Robert pun
menangisi semuanya, perempuan yang selalu ia cintai adalah perempuan yang tidak
pernah mengerti cintanya dan perasaannya. Meskipun ia selalu memberi kode dan menunjukan
kepeduliannya. Perempuan yang ia cintai adalah perempuan childish yang selalu
mencari sosok ayah impian yang tidak pernah ia temukan karena trauma masa
lalunya. Dan perempuan yang ia cintai harus ia tinggalkan karena perbedaan yang
tidak pernah bisa dipersatukan sampai kapanpun.
Semoga suatu saat nanti, kamu bisa mendapatkan semua
kebahagia yang selalu jadi impianmu, Shyla...
***
Malam itu,
Shyla masuk ke
kamar, ia membuka tasnya dan mengeluarkan buku sang idola yang selalu ia bawa.
Shyla tersenyum dan menyimpan buku itu di lemari. Ia selalu berharap, semoga
suatu saat, ia dapat bertemu dengan sang idola, Tyo Pakusadewo...
___
Thank’s for reading…
Maaf
kalau isinya kurang menarik, komentar kalian sangat berarti untuk Sherly! ^_^
mantep min, bagi sosmed dong min ig fb twitter wa atau apa gitu kirimin aja ke email eikeee buat ngobrolin rdj jarang jarang nemu fans indo yang suka bikin ff khusus rdj min zinxhen@gmail.com
BalasHapusbtw eike cewe hehehe
kamsiah...
Hapusmakasih udah baca fanfic-nya, maaf identitas mimin adalah rahasia. apalagi mimin jarang aktif dan cuma aktif kalau ngepost, maaf ya Zinx hen's