Jumat, 18 Maret 2016

My Cool Fathers 6 : City of Blinding Light



Author : Sherly Holmes
Genre : School-life, Drama
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
___
Masa KKN pun berakhir dan sekarang adalah semester terakhir yang bermata kuliah, karena semester depan kami sudah fokus pada skripsi.
Lalu kami melakukan penelitian ke luar kota, semua dosen jurusan ikut. Termasuk pak Robert yang menjadi salah satu dosen pembimbing kami, alasannya karena dulu dia pernah tinggal di kota itu dan tau seluk-beluknya.
Terdapat 2 bus yang terparkir di gerbang, bus besar dan bus kecil.
Kami anak regular masuk bus besar dan anak karyawan masuk bus kecil.
Ternyata di bus besar, ada 4 dosen pembimbing. 2 dosen perempuan dan 2 dosen laki-laki, salah satunya adalah pak Robert.
Di perjalanan,
Pak Robert mulai menyanyi, itu pertama kalinya aku mendengar suara pak Robert. Suaranya begitu merdu, ya sang vokalis yang menyanyi lagu bahasa asing. Itu memang cocok sekali dengannya. Ingin sekali aku menjadi backing vocal-nya. Tapi sulit karena aku duduk di kursi jajaran tengah. Sedangkan dia di belakang supir.
Pak Arman pun mulai menyanyi-nyanyi disana. Tapi dia tak seperti pak Robert yang lantang, pak Arman masih terlihat ragu dan malu.
Why? Padahal menurutku, mereka yang seumuran dan masih muda memang berhak menyukai hiburan. Ya, mungkin selama ini pak Arman terbiasa dengan kehidupan kolot dari dosen lain.
Aku hanya tersenyum, akhirnya pak Arman ada kemajuan juga. Ya, dalam hidup, kita gak boleh nyia-nyia-in masa muda kan? Yang penting jangan ngelakuin hal negative aja.
Saat makan siang,
Semua turun dari bis, aku masih diam menunggu teman-teman turun. Saat mau turun, pak Arman menyanyi sendiri dengan suara yang mulai terdengar. Aku yang lewat pun berbisik.
“suaranya bagus, pak” sambil tersenyum, aku keluar dari bis.
Setelah makan,
Kami kembali ke bus dan ada perubahan dari pak Arman. Sekarang pak Arman menyanyi dengan lantang seperti pak Robert. Aku tersenyum, seandainya ini karena perkataan itu, aku bersyukur. Biarkan dia menikmati hidupnya, aku ikut senang.
Malam itu,
Aku ingin sekali ke museum patung lilin dan foto 3D, ya bukan hanya aku saja sih. Ada Iren dan Donita juga yang ingin kesana, kami pun berfikir untuk meminta pak Robert mengantar kami kesana.
Besoknya kami bicara,
Aku bicara pada pak Robert di depan paman Paul, meski sebenarnya pak Robert tidak tau jika paman Paul itu pamanku. Yang ia tau hanyalah aku dekat dengan pak Paul.
Pak Paul mengijinkan kami, aku bahagia. Dan malamnya, kami pun pergi.
Aku menyewa taxi lewat telpon dan kami pergi berlima, ya meski taxinya besar. Tapi berlima itu tetap saja, sempit. Pak Robert sih enak duduk di depan sama supir. Lah aku… berempat di tengah karena Pete tiba-tiba ikut. Karena di belakang gak ada kursi, khusus untuk barang.
Sepanjang jalan, kami bercanda. Dan dari perbincangan kami, aku tau, jika bagi pak Robert, aku hanyalah anak kecil yang polos.
Namun aku sangat bersyukur dengan itu, jadi pak Robert tidak akan beranggapan negative terhadapku. Misalnya mengira aku suka padanya dan dengan begitu, keinginanku menjadi anaknya mungkin akan terwujud.
Kami sampai,
Tapi tiba-tiba pak Robert loncat dari taxi dan bilang, “Cinta yang bayar pak”
What? Santai aja kali pak, emang aku yang mau bayar kok. Aku tersenyum dengan tingkahnya, dan dengan tenang, aku membayar taxi.
Kami pun masuk ke sebuah mall, disana kami antri untuk mendapatkan tiket.
“ya udah sana masuk, bapak tunggu disini aja” Robert duduk dan tersenyum.
Ya ampun, mana mungkin aku setega itu.
“enggak pak, ayo masuk juga” aku pun menghitung uang dan membayar tiket pak Robert.
Kami semua masuk dan berfoto disana, dengan expresi aneh yang berusaha kami sesuaikan dengan keadaannya. Tempat itu seperti museum lilin di London dan museum 3D di Thailand.
Tak ku sangka jika pak Robert juga begitu narsis, namun sayangnya, kami harus pulang meski belum kenyang berfoto disana. Ya, pak Robert bilang, dia ada janji dengan teman lamanya di dekat hotel.
It’s ok, yang penting keinginan kami udah tercapai. Makasih ya pak Robert…
Saat keluar dari mall,
Pak Robert menelpon taxi untuk kami, ya itu bagus lah. Dia kan yang paling tua, masa kita yang harus menangani segalanya.
Akhirnya taxi muncul dan seperti biasa, kami masuk dengan berhimpitan. But, it’s very fun. I love it… kenangan yang indah bagiku, aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan dosen sebelumnya. Pak Robert serasa seperti teman sendiri sehingga halangan diantara kami hampir tidak ada, tapi tetap saja. Kita harus hormat karena dia dosen kita, I know that.
Saat sampai di hotel,
Para dosen sedang duduk di lobi. Hello, ada apa ini? Jangan-jangan mereka sengaja nungguin kami, orang kami gak ngelakuin apa-apa juga. Cuek aja deh.
“sana lapor dulu” pak Robert tersenyum.
Kami pun mendekati para dosen, aku memberikan HP ku untuk memperlihatkan foto-foto kami. Dan aku melihat pak Paul yang duduk di sudut, aku ingat jika tadi siang dia gak enak badan.
Aku pun mendekati pak Paul dan tanpa sadar merangkulnya, “bapak gak apa-apa kan? Udah mendingan?”
“bapak gak apa-apa kok, kamu istirahat ya, ini kan udah malem” Paul tersenyum.
Paman yang baik, aku pun tersenyum. Tanpa aku sadari jika semua dosen melihat ke arah kami, ya mereka mungkin tidak tau jika kami saudara. Atau hanya sedikit yang tau, atau mungkin lupa sama sekali.
Besoknya,
Saat kami mau pulang, bus ditukar. Aku harus masuk ke bus kecil deh. Yah, gak bisa dengerin suara merdu pak Robert lagi dong. Tapi, aku tersenyum juga. Karena di bus kecil, dosen pembimbingnya 2 laki-laki dan salah satunya paman Paul.
Terima kasih Tuhan… akhirnya aku bisa melihat paman Paul, dengan begitu, aku tidak usah menghawatirkan keadaannya.
***
Hari itu, seperti biasa…
Aku les bersama Iren ke rumah pak Robert. Aku tidak menyangka jika pak Robert masih tertarik dengan pengetahuan musikku. Apalagi aku pernah bilang jika aku bisa bermain gitar.
“kalau kamu salah jawab, nyanyi ya” pak Robert tersenyum.
What????? Aku malu, mudah-mudahan jawabanku benar.
Dan ternyata, dari soal bahasa inggris itu, aku salah satu. Sedangkan Iren berhasil mengisi dengan sempurna. Tapi untung saja, pak Robert tidak menagih suaraku. Huff…
Di kampus,
Ada kabar jika sebentar lagi ada porseni fakultas. Wah, semua teman pun ramai memilih siapa saja yang mau ikut.
Ah, aku sih diam saja. Alasannya, aku tidak bisa olah raga dan aku tidak mau membuat kelas menjadi kalah. Alasan kedua, sebenarnya aku tidak keberatan ikut lomba seni, tapi melihat temanku yang bergebu-gebu untuk drama, lebih baik aku jadi supporter saja di belakang.
Itu lebih baik dari para memaksakan kehendak dan super duper egois kan? Tapi jika ada apa-apa, aku pun siap membantu baik tenaga, pemikiran ataupun materi.
To be Continued
___
Thank’s for reading…
Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar