Rabu, 17 Februari 2016

Stuck in the Moment

Author : Sherly Holmes
Penyunting : Erin_Adler
Genre : Romance, Drama, Crime
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
___
Malam itu,
Seorang perempuan masuk ke sebuah gedung, disana terlihat banyak pria kasar yang sedang menonton pertarungan ilegal.
Mereka berteriak, “ayo, hajar dia. Hajar!”
Perempuan itu berusaha melewati mereka dan mendekat ke arena.
“yeah” mereka berteriak.
Perempuan itu terdiam melihat seorang pria yang baru saja memenangkan pertarungan itu.
Pria itu menatap lawannya dengan begitu tajam meski lawannya sudah kalah.
Benarkah dia pria yang bernama Robert? Perempuan itu masih bingung.
Robert turun dari ring dengan senyumannya yang tertuju pada minuman, ia mengambil sebotol minuman dari rak dan membuka tutupnya dengan gigi. Robert pun meminumnya.
“kau akan membayar itu kan?” penjual menatap Robert.
“kau tidak lihat jika aku menang? Lagi pula, kapan aku berhutang padamu, kawan?”
“ok jagoan, ini bayaranmu” seorang pria mendekat.
Robert menoleh dan melihat seorang perempuan yang dibawa pria itu, “kau membayarku dengan bocah ini?”
“bukan, ini klien barumu”
Perempuan itu agak kesal.
“dan ini bayaranmu” pria itu memberikan Robert sebuah cek.
“terima kasih” Robert menatap perempuan itu, “untuk apa anak kecil sepertimu datang kemari?”
“aku bukan anak kecil, aku sudah SMA”
“tetap saja. Bagiku, kau anak kecil”
“aku ini klienmu, sopan sedikit”
“ok” Robert menatap perempuan itu, “aku mendengarkanmu”
“hapus darahmu”
“ok” Robert mengambil handuk kecil dan mengelap pundaknya yang berdarah, “beres”
“pakai bajumu”
Robert mulai kesal, ia mengambil bajunya yang ada di dekat rak minuman dan memakainya. Ia kembali menatap perempuan itu, “apa ini sudah cukup?”
“hapus darah di bibirmu” perempuan itu mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikan tisu itu pada Robert.
Robert agak tersenyum dan mengambilnya, ia pun mengelap bibirnya.
“baiklah, aku ingin kita bicara di luar”
“apa?” Robert merasa sia-sia telah mengikuti perkataan perempuan itu.
“kenapa?”
“tidak, terserah kau saja”
Mereka pun keluar dari gedung itu.
“masuk ke mobil”
“kau punya mobil?” Robert kaget.
“iya, memangnya kenapa?”
“tidak, itu... itu hebat” Robert masuk ke mobil.
“kau tidak duduk disitu, kau duduk di tempat supir”
Robert kaget.
“kau bisa menyetir, kan?”
“yap” Robert pindah.
Di dalam mobil,
Mereka saling tatap dan Robert merasa penasaran mengapa perempuan itu menyewanya.
“aku membutuhkanmu untuk menjagaku”
“kenapa?”
“karena itu pekerjaanmu”
“maksudku, kenapa kau menyewaku? Apa kau merasa terancam?”
Perempuan itu mengangguk, “The Papricas”
“Papricas?” Robert kaget, itu merupakan mafia yang ditakuti di kota ini.
Perempuan itu diam.
“apa yang terjadi sehingga orang sepertimu bisa berurusan dengan mereka?”
“itu bukan urusanmu, tugasmu hanya menjagaku”
“ok” Robert memalingkan wajahnya dan mulai kesal lagi.
“bisakah kau mulai bekerja hari ini?”
“kau ingin aku mengantarkanmu?”
“tinggalah di rumahku”
***
Di rumah perempuan itu,
“waw, rumahmu besar sekali” Robert melihat ke sekitar, “pantas saja banyak penjahat menginginkanmu”
Perempuan itu menatap Robert.
“aku hanya bercanda”
“itu tidak lucu”
“ok, maaf” Robert diam.
“aku akan menunjukan kamarmu”
“kau sudah menyiapkannya?” Robert kaget.
Mereka pun pergi ke sebuah kamar.
“ini dia” perempuan itu menatap Robert, “kau suka?”
“emh…, ok” Robert tersenyum, “terima kasih, nona”
“aku lebih suka jika kau memanggil namaku”
Robert menatap perempuan itu.
“aku Tasya”
Robert tersenyum lagi.
“kenapa?”
“tidak” Robert mengelus Tasya, “selamat malam, Tasya”
Tasya terdiam.
Robert menatap Tasya yang hanya diam, “ada apa?”
“tidak” Tasya tersadar dan berubah kesal, “sudah, aku juga mau tidur” ia pergi.
“anak itu pemarah sekali” Robert menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Tasya.
Besoknya,
Tasya yang sudah bersiap untuk sekolah, keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke kamar Robert dan mengetuk pintu, “Robert, kau masih di dalam? Cepat sarapan, kita akan ke sekolah”
Tapi tidak ada jawaban sedikitpun.
Tasya merasa aneh, ia membuka pintu kamar Robert dan melihat Robert yang masih tidur.
Tasya kesal, “Robert!”
Robert membuka matanya, “ada apa sih? Pagi-pagi udah teriak-teriak”
“cepat bersiap, aku harus sekolah”
“ok ok, tenang cantik” Robert bangun, “aku sudah lama tidak tidur di kasur senyaman ini, jadi...”
“cukup bicaranya, cepat bangun”
“ok ok” Robert berdiri dan mengelus kepala Tasya.
Tasya menatap Robert.
Di ruang makan,
“jadi kau tinggal sendiri disini?”
“aku hanya tinggal bersama paman supir dan bibi pelayan”
Robert diam dan tersenyum, “sekarang aku ada disini, panggil aku paman baik hati”
“aku tidak mau”
“kenapa?”
“kau terlihat seperti paman berhati licik”
“apa?” Robert kaget.
***
Di sekolah Tasya,
Tasya baru saja keluar dari kelas, tapi ia kaget melihat para siswa yang begitu ramai di lapang.
“ada apa ini?” Tasya berlari kesana.
Ternyata Robert sedang bermain basket dan para siswa begitu mengaguminya.
“dasar tukang pamer” Tasya kesal melihat Robert yang melepas bajunya, “Robert”
Saat Robert mau memasukan bola ke ring, ia menoleh. Robert tersenyum, “Tasya” ia berhenti bermain dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil.
“ah..” para siswa kecewa.
Robert mendekati Tasya, “kau baru keluar?”
“pakai bajumu” Tasya kesal melihat tingkah Robert, ia langsung pergi tanpa bicara.
“hey, Tasya?” Robert kaget dan mengejarnya, “Tasya”
Tasya berjalan ke tempat parkir dan membuka pintu mobilnya.
“Tasya” Robert menutup pintu mobil.
“mau apa?” Tasya menatap Robert.
“aku penjagamu dan aku..”
“benarkah? Yang aku tau, semenjak kau datang ke sekolah, kau hanya pamer badan dan mencari perhatian dari semua perempuan”
“maafkan aku”
Tasya memalingkan wajahnya.
“hey, aku serius. Sungguh, aku sangat menyesal”
Tasya menatap Robert.
Robert pun tersenyum, “aku akan buatkan makan malam untukmu, ok?”
Tasya tersenyum, “sepakat”
Mereka pun pulang.
Di rumah,
Robert sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, “apa ini?” Robert membaca buku resep, “mungkin maksudnya benda ini” Robert mencarinya di antara bahan-bahan.
“tuan sedang apa?” bibi mendekat.
Robert tersenyum, “aku sedang dihukum Tasya, jadi aku yang memasak malam ini”
“biar saya bantu, tuan”
“terima kasih”
Mereka pun memasak sambil berbincang.
“jadi, Tasya...?” Robert menatap bibi.
“ya, non Tasya mungkin rindu sosok orang tua yang bisa menjaganya dan menyayanginya”
“ok” Robert diam, “mungkin aku bisa sedikit menghiburnya” ia menatap bibi sambil tersenyum.
Saat makan malam tiba,
Robert berjalan ke kamar Tasya, “nona cantik, makan malamnya sudah siap”
“Robert?” Tasya kaget melihat Robert, ia langsung menyimpan foto yang ia pegang ke bawah bantal.
“foto siapa itu?”
“bukan urusanmu”
“ah, pasti kau sedang menyukai seseorang kan?”
Tasya menunduk.
“hey, tidak apa-apa” Robert mendekat dan mengelus Tasya, “itu wajar kok, kamu kan udah remaja”
Tasya terdiam dan menatap Robert.
“ayo makan”
Tasya memeluk Robert, ya Tuhan... kenapa aku merasa dia seperti ayahku?
Robert kaget dengan apa yang Tasya lakukan, tapi ia diam dan memeluk Tasya.
Di ruang makan,
“aku tidak percaya jika kau bisa memasak” Tasya memakan makanan yang ada di meja.
Robert tersenyum, “aku memang dibantu oleh bibi”
Bibi tersenyum, “tapi dasarnya, tuan Robert memang bisa memasak”
“terima kasih, bi” Tasya tersenyum, “makanannya enak”
Robert menatap Tasya, “hey, aku juga memasak”
Tasya menatap Robert dan Robert diam.
Malam itu,
Robert masih memikirkan Tasya, apa yang harus aku lakukan? The Papricas, untuk apa The Papricas mengincar gadis polos seperti Tasya? Robert begitu penasaran, ya Tuhan...
Besoknya,
Robert membuka matanya, Tasya? Ia bangun dan berjalan ke kamar Tasya, “Tasya, bangun. Kau harus sekolah”
Tapi tidak ada jawaban dari dalam.
Robert membuka pintu dan melihat kamar Tasya yang kosong, “Tasya?” Robert kaget.
Di ruang makan,
“bi” Robert berlari, “apa kau melihat Tasya?”
“non Tasya sudah berangkat pagi-pagi sekali, tuan”
Di sebuah stasiun kereta,
“Tasya, kamu gak dianter bodyguard?” teman Tasya kaget.
“enggak, aku malu. Gery mau ikut juga kan?”
“ya ampun, kamu masih ngurusin si Gery? Kamu gak nyadar kalau saudaranya yang bernama Connie itu sebel banget sama kamu?”
“biarin deh”
“kamu ini, dari kelas satu, tetep gak berubah ya”
***
Di dalam kereta,
“aku sengaja nyewa gerbong kelas satu, tapi sayangnya ditaruh di belakang. Tapi meski begitu, aku harap, kalian suka ulang tahunku” Connie menatap teman-temannya.
“yeah” semua bersorak.
“ayo kita party” Gery memainkan musik.
“yeah”
Tasya terpesona melihat Gery, “dia Dj yang keren” Tasya ingat saat Gery masih menjadi kakak kelasnya.
Tapi tiba-tiba,
Robert masuk lewat pintu gerbong, padahal kereta sedang melaju kencang.
“selamat pagi” Robert menatap mereka.
“ya Tuhan...?” Tasya kaget melihat Robert yang tiba-tiba muncul.
Teman-teman Tasya kembali terpesona pada Robert.
“hentikan pesta ini, ada ancaman besar di luar sana” Robert menatap Gery, “cepat pergi, Dj. Bawa semua temanmu ke gerbong kelas dua”
Gery yang bingung pun menatap Robert, “siapa kau?”
“Robert, kamu ngapain kesini?” Tasya menatap Robert.
“tentu saja menjagamu”
“mana bajumu?”
“di luar gerbong, bajuku menempel disana seperti bendera”
“kau...?!” Tasya kesal.
“hey, aku serius. Saat aku mengejar keretamu, bajuku mungkin tersangkut pada salah satu besi dan sobek” Robert menatap mereka yang masih berkumpul disana, “ya Tuhan..., apa kalian tidak mengerti juga?” ia pun memukul salah satu jendela kereta sampai pecah, “ini perintah!”
“wa...” semua panik dan pergi keluar dari gerbong itu menuju gerbong kelas dua yang ada di depan.
Tasya yang kaget, ikut berlari.
“Tasya” Robert menarik Tasya dan menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.
“aw” Tasya kesal, “apa yang...?”
Tiba-tiba sebuah kereta cepat menyusul kereta mereka dan menembaki gerbong kelas satu.
Dor... dor... dor...
“inilah alasanku” Robert yang berbaring disamping Tasya, menatapnya. Ia tersenyum, “kau harus ingat, The Papricas itu masalah serius. Aku menarikmu untuk berbaring karena kau tidak punya waktu untuk berlari” Robert menatap Tasya, “mereka sengaja menyerang di tempat sepi seperti hutan yang sedang kita lewati sekarang.”
“aku takut”
“tenanglah, aku akan menjagamu”
Tapi Robert melihat sebuah bom yang dilempar ke arah mereka, gawat! Ia langsung membalikan tubuhnya ke arah Tasya.
Tasya menutup matanya.
Dwar...
Saat semuanya terasa aman, Tasya pun membuka matanya.
“Robert?” Tasya melihat Robert yang menjadikan tubuhnya tameng untuk Tasya, air mata Tasya menetes. Ia melihat sebuah besi tajam menancap di pundak kanan Robert dan darahnya mengalir ke dada Robert, “Robert” Tasya bangun.
Tubuh Robert yang berada di atas Tasya, langsung terjatuh ke samping. Robert menatap Tasya dengan lemas.
“Robert...”
“aku tidak apa-apa, bisakah kau ah..., mencabut benda ini? Sakit sekali”
Tasya menangis.
“hey, ini memang tugasku. Jangan menangis”
Tasya mencabut besi itu.
“aw” Robert menahan sakit dan darahnya keluar semakin banyak.
Tasya pun melepas syal yang ia pakai untuk membalut luka Robert, ia berharap, pendarahannya dapat berhenti.
Tasya memeluk Robert, “terima kasih”
Robert tersenyum.
Kereta pun berhenti dan semua teman Tasya kembali ke gerbong kelas satu yang sudah berantakan.
Teman-teman Tasya mengkhawatirkan keadaan Robert dan mereka pun sangat berterimakasih. Karena tanpa Robert, mungkin mereka semua sudah meninggal.
“pestaku” Connie sedih dan kesal, ia memeluk Gery.
Gery mengelus Connie dan menatap Robert, “aku tidak suka pria tua itu”
Di stasiun kereta,
Robert bicara dengan kepala stasiun.
“aku tau, The Papricas memang sulit untuk ditindak”
“ya, aku mengucapkan banyak terima kasih. Karena berkat kau, semua penumpangku selamat”
“tapi gerbong kelas satumu hancur”
“kami masih punya banyak gerbong” kepala stasiun tersenyum, “semoga lukamu cepat sembuh, anak muda”
“terima kasih” Robert tersenyum dan keluar dari ruangan kepala stasiun.
“Robert” Tasya memeluk Robert, “ayo kita ke rumah sakit”
“tidak perlu, kita pulang saja”
“kau yakin?”
“ya, cepatlah” Robert mulai merasa pusing.
“ok” Tasya memapah Robert.
Saat mereka naik taxi,
Robert semakin lemas.
“Robert” Tasya khawatir dan memakaikan jaketnya.
Robert menatap Tasya dan tiba-tiba pingsan.
“Robert?” Tasya memeganginya.
Di rumah,
Tasya semakin khawatir karena Robert demam, ia mengompres kening Robert dan berharap Robert akan baik-baik saja.
“gimana ini, bi? Badannya panas banget”
“tenang, non. Dokter bilang, ini efek dari luka tuan Robert. Bibi yakin, dia akan baik-baik saja”
“h...” Robert mengigau karena sakit akan lukanya.
Tasya menatap jahitan di pundak Robert, “kamu harus cepat sembuh” ia mengelus Robert.
Pagi itu,
Robert membuka matanya, ia melihat Tasya yang tertidur di kursi karena setia menemaninya. Robert tersenyum melihat tangan Tasya yang terus menggenggam tangannya, Robert pun mengenggam tangan Tasya.
Tasya terbangun, ia melihat Robert yang sedang menatapnya.
“hey”
“Robert? Syukurlah” Tasya memeluk Robert.
“kamu gak sekolah?”
“gimana aku mau sekolah kalau keadaan kamu kaya gini?”
“kamu gak usah khawatir, aku udah biasa kaya gini”
“bohong, kemarin juga, kamu bilangnya gak apa-apa. Tapi di taxi, kamu malah pingsan”
“maaf”
“aku akan menjagamu sampai kau sembuh”
“hey, tugasmu itu sekolah. Yang bertugas menjaga kan aku” Robert bangun dan menatap Tasya.
“Robert, aku itu sayang sama kamu”
“aku tau”
“apa?”
“aku bercanda”
“menyebalkan”
Robert tersenyum, “aku tau, kau menyukai pria Dj itu kan?”
Tasya menunduk.
“tidak apa-apa, itu wajar. Aku tidak akan melarangmu”
“karena kau tidak berhak”
“aku tau, aku bukan siapa-siapa. Tapi jika dia bukan pria yang baik, belajarlah untuk melupakannya”
“aku menyesal tidak pergi ke sekolah”
Robert tersenyum, “bagus, anak muda harus semangat untuk sekolah”
Tasya pergi dengan kesal.
Robert diam setelah Tasya menutup pintunya.
Di luar,
Tasya berjalan menuruni tangga, “dia itu kenapa sih? Padahal aku udah perhatiin, udah khawatir banget. Tapi dia malah nyebelin, dasar orang tua aneh”
“ada apa, non?” bibi tersenyum melihat Tasya bicara sendiri.
“enggak apa-apa, bi. Cuma…”
“apa tuan Robert sudah siuman?”
“dia udah sembuh”
“benarkah?”
“iya, buktinya dia udah nyebelin lagi kaya biasa”
“jadi gitu?” Robert yang berdiri di balkon, tersenyum mendengar perkataan Tasya.
Tasya kaget dan menoleh.
“kalau begitu, aku minta maaf ya” Robert turun perlahan sambil menahan sakit.
“ya ampun, tuan. Jangan banyak bergerak dulu”
“aku gak apa-apa kok, bi” Robert tersenyum.
Tasya hanya diam.
Robert mendekati Tasya, “tolong papah aku” ia merangkul Tasya dengan tangannya yang sakit.
“apaan sih?” Tasya melepaskan tangan Robert.
“aw aaw…” Robert memegang pundaknya.
“ya Tuhan… Robert, maafkan aku” Tasya ingat pada luka Robert.
“tidak apa-apa” Robert menahan sakit.
Tasya memeluk Robert dan diam.
Robert menatap bibi dan bibi pun diam.
Sampai kapan dia akan memelukku? Robert mengelus Tasya,
“aku janji, aku akan selalu menjaga”
Beberapa hari kemudian,
“Robert, ayo cepat. Nanti kita ketinggalan”
“iya iya” Robert mengambilkan tas Tasya.
Mereka pun pergi ke pelabuhan.
Disana,
Terlihat sebuah boat besar yang sedang berlabuh.
“apa itu kapal yang akan membawa kita?”
“yap, ayo cepat” Tasya tersenyum melihat teman-temannya yang sudah naik ke kapal.
Saat sedang berlayar,
Tasya mencari Gery, ia berharap, Connie mengajaknya kesana. Tapi langkah Tasya terhenti, ia melihat Gery sedang bersama para gadis. Tasya teringat kata-kata Robert,
“jika dia bukan pria yang baik, belajarlah untuk melupakannya”
Air mata Tasya menetes, ia pun berlari tanpa arah untuk melepaskan rasa sakitnya.
“Tasya?” Robert kaget melihat Tasya yang lewat dengan tergesa-gesa.
“ah” Tasya terpeleset dan jatuh ke laut.
“Tasya?” teman-teman yang melihatnya, panik.
Robert yang mengejar Tasya, melihat itu. Ia membuka bajunya dan langsung terjun ke air.
“wa…” para gadis terpesona.
Robert berenang mendekati Tasya yang tenggelam dan membawanya ke atas. Teman-teman Tasya pun membantu mereka untuk kembali naik ke boat.
***
Tasya membuka matanya, ia melihat keadaan sekitar. Ini seperti kamarku, Tasya kaget. Tasya mengambil kompresan yang ada di keningnya, apa aku demam?
Tapi saat Tasya menoleh, “argh?!” ia berteriak melihat Robert yang tidur disampingnya, “Robert, bangun. Robert!” Tasya memukul Robert.
“aduh, ada apa sih?” Robert bangun dan menatap Tasya.
“ngapain kamu tidur disini?”
“santai aja kali, aku gak ngapa-ngapain kok”
“iya, tapi…”
“apa?”
Tasya diam.
“ok ok, aku minta maaf” Robert berdiri.
Tapi Tasya memegang tangan Robert.
Robert menoleh dan menatap Tasya.
“kau benar, dia bukan pria yang baik”
Robert diam, Tasya bangun dan memeluknya.
“tetaplah disini”
Robert tersenyum.
Besoknya,
Di sekolah, Tasya sedang bicara dengan teman-temannya di balkon sekolah.
“jadi, kamu udah gak suka lagi sama Gery?”
Tasya mengangguk, “sekarang aku menyukai pria tua itu” ia melihat ke arah Robert yang sedang bermain basket bersama para atlet sekolah.
“kau menyukai Robert?”
“aku tau itu aneh, apalagi dia lebih cocok jadi pamanku”
“ya ampun, biasa aja kali Sya. Kamu lupa apa? Hampir semua cewek disini suka sama dia. Kalau kalian jadian, kita pasti iri banget”
“jadi, kalian suka pria tua?”
“enggak juga sih, tapi kalau Robert, bolehlah”
“kau ini”
Robert pun melihat Tasya yang ada di balkon, ia tersenyum dan berhenti bermain. Robert menatap para atlet itu, “kalian lanjutkan saja, aku ada urusan” ia tersenyum dan pergi ke balkon dan mendekati Tasya.
“Robert?” Tasya kaget.
“kok kamu gak bilang kalau udah istirahat?” Robert menatap Tasya.
“kamu kan lagi main basket”
“oh, gitu?” Robert tersenyum.
“lagian, kamu asyik banget mainnya. Padahalkan kamu udah tua, gak cape apa?”
“maksudmu karena aku tua, jadi aku lemah. Begitu? Aku ini orang paling kuat disini”
“oh, begitu kah?”
“terserah deh”
Tasya tersenyum dan memeluk Robert.
Robert merasa aneh, “hey, aku berkeringat lho. Lagian juga, harusnya kamu marah…”
“karena kamu melepas bajumu?” Tasya menatap Robert.
Robert menatap teman-teman Tasya yang tersenyum.
Malam itu,
Tasya membantu bibi memasak untuk makan malam.
“dia itu perfect banget, bi. Dia bisa jadi temen, jadi ayah dan…”
“pacar?”
“bibi” Tasya malu.
“non, nona yakin suka sama tuan Robert?”
“kok bibi nanyanya gitu? Aku tau Robert memiliki usia yang jauh denganku, tapi…”
“ehm…” Robert datang.
Mereka diam dan Tasya sangat kaget.
“ada apa sih? Kok kalian berhenti bicara?”
“gak ada apa-apa” Tasya menunduk, ia takut Robert mendengar pembicaraan mereka.
Robert tersenyum, “aku penasaran, masakanmu enak atau tidak, ya?”
Tasya menatap Robert, “kau meremehkanku?”
“aku tidak bicara begitu” Robert menatap Tasya.
“nyebelin” Tasya kesal.
Robert tersenyum, “aku hanya bercanda” ia mendekat dan mengelus Tasya, “jika kau memasak dengan hati, pasti rasanya akan enak”
Tasya menatap Robert.
“karena di dalam masakan itu, terdapat kasih sayang dari pembuatnya. Itulah kekuatan yang muncul dari masakan”
Tasya tersenyum, apa aku harus mengatakannya? Apa aku jujur saja dengan perasaanku? Tapi bagaimana reaksinya nanti?
“kau kenapa?” Robert merasa aneh.
***
Di sebuah gedung,
Tasya dibawa oleh beberapa orang asing dan masuk ke sebuah ruangan, ia melihat bos dari gerombolan itu.
“the Papricas?” Tasya kaget.
“selamat datang, Tasya” bos tersenyum.
Tasya mulai panik, Robert, kamu dimana?
“kenapa Tasya? Kau memikirkan seseorang?” bos dari mafia itu menatap Tasya dengan tajam, “apa orang ini yang kau cari?”
Para anak buah dari bos mafia itu bergeser dan terlihat Robert yang terluka dan diikat di sebuah kursi.
Ya Tuhan… mereka berhasil menangkap Robert?
Robet yang lemas, hanya diam menatap Tasya.
“lepaskan dia, aku mohon” Tasya menatap bos mafia itu.
Bos tertawa, “yang benar saja, dia sudah ikut campur terlalu jauh”
“tapi dia tidak tau apa-apa” mata Tasya berkaca-kaca.
“tetap saja, bagiku, dia adalah pengganggu” bos mafia utuk mengeluarkan pistol dan menempelkannya ke dada Robert.
“jangan ayah, aku mohon” Tasya semakin panik.
Robert kaget mendengar itu.
Bos mafia itu tersenyum, “maafkan aku, tapi ini harus aku lakukan”
Dor… dor…
Dua peluru itu membuat t-shirt putih Robert berubah menjadi merah, Robert pun langsung tertunduk tak bergerak.
“Robert” Tasya menangis.
“itu salahnya, kenapa dia mau ikut campur dalam urusan kita. Ayah tidak suka jika ada penghalang yang merusak suasana”
“ayah jahat”
“jangan pedulikan dia lagi, dia sudah mati. Aku bisa jamin jika dadanya pecah dan jantungnya hancur”
Bos mafia itu pergi dan para anak buahnya pun mengikutinya.
Tasya mendekati Robert dan membuka ikatannya, tubuh Robert langsung roboh ke lantai dan Tasya memeluknya.
“Robert, bangun. Kamu harus kuat, aku pasti akan membawamu ke rumah sakit. Bangun Robert” Tasya menangis, ia sadar Robert telah meninggal. Tasya merobek baju Robert dan melihat luka parah di dadanya.
“Robert?!” Tasya terbangun, ternyata ia hanya bermimpi.
Robert masuk ke kamar Tasya dan melihatnya sedang menangis, “Tasya?” Robert mendekat.
“Robert” Tasya langsung memeluk Robert.
“ada apa? Kamu kenapa?” Robert mengelus Tasya, “tenanglah, kau pasti mimpi buruk kan?”
Tasya hanya memeluk Robert erat, ya Tuhan… aku harus bagaimana? Apa aku harus menyuruh Robert menjauhiku? Semoga mimpiku tidak menjadi kenyataan.
“Tasya” Robert menatap Tasya, “sudahlah, itu semua cuma mimpi kan? Mimpi itu bunga tidur, kau jangan khawatir”
Kau tidak tau apa yang baru saja aku impikan, aku takut kehilanganmu. Air mata Tasya kembali menetes.
“hey, sudah. Jangan menangis” Robert tersenyum dan menghapus air mata Tasya, “tidurlah”
“jangan tinggalkan aku”
“kau ingin aku menemanimu disini?”
Tasya mengangguk.
Robert tersenyum dan kembali memeluk Tasya, “ya sudah, aku akan menemanimu disini. Tidur ya, aku sayang padamu”
Tasya tersenyum dan kembali berbaring.
Paginya,
Robert mengelus Tasya, “Tasya, bangun”
Tasya yang tidur sambil memeluk Robert, membuka matanya.
“hey” Robert tersenyum.
“ini udah pagi ya?”
“iya, kamu harus sekolah kan?”
“aku mau libur aja, atau aku home schooling”
“apa?” Robert kaget, “ada apa, Tasya?”
“gak ada apa-apa, aku cuma…”
“hey, aku tau kamu takut. Tapi selama aku ada, aku akan selalu menjagamu. Jangan khawatir, ok?”
“tapi mereka terlalu kuat, aku rasa…”
“cukup, tidak usah dilanjutkan. Ini semua pasti karena mimpimu, kan?”
Tasya diam.
“kau mau menceritakannya?”
Tasya sedih dan memeluk Robert.
“hey, kenapa?”
“aku takut, aku takut kehilanganmu”
Robert tersenyum.
Di sebuah gedung,
Bos mafia itu tersenyum, “jadi kalian sudah tau siapa orang itu?”
“iya bos, namanya Robert. Seorang petarung illegal dan bodyguard swasta”
“begitukah?” bos mafia itu menatap foto Robert yang ia pegang, “Aku ingin kalian terus mengawasi mereka, aku tidak suka jika ada yang ikut campur dengan urusan keluargaku”
“siap, bos”
Malam itu,
Robert mengajak Tasya untuk makan malam, mereka berjalan bersama sambil berpegangan tangan.
“kenapa mesti jalan kaki sih?”
“deket kok, bentar lagi” Robert tersenyum.
Mereka tidak menyadari jika di belakang mereka terdapat dua orang pria yang sedang memata-matain.
Salah satu dari pria tersebut menghubungi bos mereka.
“ada apa?” bos mengangkat telponnya.
“mereka sedang berjalan bersama, bos”
“maksudmu?”
“sepertinya pria itu sangat dekat dengan nona Tasya”
“kurang ajar, tetap ikuti mereka”
“siap bos”
Di pinggir jalan kota,
“itu dia”
“apa? Kita akan makan disitu?” Tasya melihat sebuah warung kaki lima dengan roda tempat menyimpan makanan.
“kenapa?” Robert menatap Tasya.
“tidak” Tasya diam dan sedikit tidak semangat.
Robert tersenyum, “ayo” ia memegang tangan Tasya dan mengajaknya duduk.
Tasya tersenyum lagi.
Saat mereka sedang makan, dua pria tadi pun makan disana. Robert sama sekali tidak curiga dengan mereka, ia malah tersenyum pada Tasya dan mengelusnya.
“Robert” Tasya tersenyum.
“enak kan? Aku bilang juga apa? Makanan disini gak kalah sama restoran kesukaanmu”
“iya iya” Tasya memakannya, tentu aja ini enak, apa lagi kalau kamu yang nyuapin.
Robert tiba-tiba mendekatkan sendok berisi makanan ke mulut Tasya.
Ya Tuhan… Jangan-jangan, dia tau isi hatiku? Tasya kaget.
“hey, kenapa diam? Ayo dong, buka mulutnya”
“iya” Tasya senang, Robert benar-benar menyuapinya.
Kedua pria itu pun pergi sambil kembali menghubungi bosnya.
“hallo?”
“bos, sepertinya dia memang benar-benar dekat dengan nona Tasya. Atau mungkin, mereka punya hubungan”
“jadi dia benar-benar mencari kesempatan untuk mendapatkan putriku? “ bos marah.
***
Setelah makan, Robert dan Tasya pun kembali berjalan melewati gang-gang gelap.
“kenapa kita gak naik taxi aja sih?”
“kenapa? Kan enak jalan berduaan”
“ah, kamu. Aku kan cape”
“mau digendong?”
“enggak” Tasya tersenyum dan merangkul Robert, “aku takut, sekarang kan udah malam. Mana makin sepi lagi”
Tapi tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Segerombol pria asing, menghalangi jalan mereka.
Robert menatap mereka dengan waspada.
“Robert” Tasya khawatir, ia takut jika ini adalah The Papricas.
Robert memeluk Tasya dan sedikit mundur, tapi saat ia menoleh ke belakang, disana pun sudah berkumpul orang-orang seperti mereka.
Tasya memeluk Robert dengan begitu erat.
“tenanglah, aku janji, aku akan melindungimu dari mereka”
“mereka terlalu banyak”
Robert kembali menatap mereka.
“menyerahlah, atau kami akan membunuhmu disini” salah satu dari mereka mengeluarkan senjata api.
“bagaimana jika kita bertarung saja, aku rasa, tidak adil jika kau memakai senjata” Robert menatapnya.
“ok” orang itu tersenyum, “serang” ia berteriak.
Robert melepaskan Tasya, “cari tempat aman”
“tapi…”
“pergi”
Tasya berlari dan bersembunyi.
Robert pun berkelahi dengan mereka semua.
Ya Tuhan…, bagaimana ini? Robert tidak akan menang melawan mereka, Tasya panik. Tapi seseorang tiba-tiba memegang pundaknya dan Tasya menoleh, “ah?!”
Robert yang sedang berkelahi pun terdiam melihat seseorang yang memegangi Tasya.
“pergi Robert, jangan pedulikan aku” Tasya berteriak.
“lepaskan dia!” Robert menatap orang itu.
“oh, sepertinya kau belum memberitaunya ya?” orang itu menatap Tasya.
Air mata Tasya menetes, “biarkan Robert pergi, ayah. Aku janji akan menuruti semua perkataan ayah”
“ayah?” Robert kaget mendengar itu, ia baru tau jika sang bos mafia adalah ayah Tasya.
“kau fikir, semudah itu?” bos mafia itu tersenyum, “tangkap dia, aku ingin memberinya pelajaran karena berani mendekati anakmu”
Robert langsung dicekik, tapi ia hanya diam tak melawan.
“Robert, pergi” Tasya berteriak.
Robert menatap Tasya dan kembali pasrah.
Mereka pun melepas baju Robert dengan paksa dan mengikat tubuhnya memakai tambang yang kuat.
“ayah, aku mohon, hentikan. Robert bisa terluka”
“diamlah Tasya, ayah hanya ingin memberinya pelajaran”
“tapi…” Tasya menangis.
Di sebuah gedung,
Robert yang masih diikat, dibawa ke sebuah ruangan.
Mereka pun menghajar Robert disana.
“argh, argh…”
Di ruangan bos mafia,
Tasya mendengar teriakan Robert, “ayah, aku mohon, lepaskan dia”
“aku sudah bilang, kan? Dia harus diberi pelajaran”
“tapi ayah…”
“ini juga akan mengajarimu, bagaimana akibatnya jika melawanku” bos mafia itu keluar dari ruangannya dan masuk ke ruang penyiksaan Robert.
Robert menatap bos mafia itu.
“kuat juga kau rupanya”
“mana Tasya?”
“untuk apa kau menanyakannya? Dia anakku, aku lebih berhak darimu”
“kau orang tua yang buruk”
“kurang ajar” bos mafia itu mengeluarkan cambuk yang berujung tajam, ia kesal dan memecut tubuh Robert.
“argh” Robert begitu kesakitan karena cambuk itu hampir merobek kulitnya, “argh”
***
Robert yang tidak berdaya hanya bisa diam dan berharap ada keajaiban datang menemuinya.
Seseorang membuka pintu, Robert langsung menatapnya. Ternyata itu Tasya.
“Robert?” Tasya mendekat dan mengelusnya.
“mau apa kau?” Robert menatap Tasya.
“tentu saja aku akan melepaskanmu”
“tidak perlu repot-repot, aku lebih baik mati disini daripada harus diselamatkan olehmu”
“apa maksudmu?” Tasya sedih mendengar itu, “aku sayang padamu dan aku tidak mau ayah membunuhmu”
“benarkah? Lalu kenapa kau tidak pernah jujur padaku jika bos mafia itu adalah ayahmu?”
“maafkan aku, Robert. Aku hanya…”
“apa?”
“aku takut kau tidak mau menjadi bodyguardku” Tasya melepaskan tali yang mengikat Robert dan memapahnya.
Tapi bos mafia itu datang bersama anak buahnya.
“mau kemana kalian?”
“ayah?” Tasya kaget.
“lepaskan aku” Robert berbisik pada Tasya.
“kau gila?” Tasya menatap Robert.
“cepat”
Tasya melepaskan Robert dan Robert langsung menyerang mereka.
Bos mafia itu kaget melihat Robert yang masih bisa bertahan dengan lukanya. Ia pun mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya dan mengarahkan pistol itu ke punggung Robert.
Tasya yang melihat itu langsung berlari ke arah Robert, “Robert?!”
Robert menoleh.
Dor…
Robert kaget melihat Tasya yang tertembak di depan matanya, “Tasya?!”
Bos mafia itu terdiam, ia baru saja menembak anaknya.
Tasya yang tergeletak pun menutup matanya dan semua menjadi gelap.
***
Di sebuah kamar di rumah sakit,
Tasya membuka mata dan melihat pelayannya.
“non Tasya?”
“em…” Tasya mulai sadar, “Robert mana, bi?”
“Robert…”
“bi?”
“non Tasya tenang dulu”
“bi, aku mohon. Beritau aku, dimana Robert?”
“Robert sudah pergi, non”
“pergi?”
“iya, kemarin ia berpesan agar nona tidak pernah mencarinya lagi”
“kenapa, bi? Kenapa Robert bicara begitu?” Tasya menangis, “berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“tiga hari, non. Saat itu kalian berdua dibawa kesini, tapi Robert pulih dengan cepat dan kemarin, ia memutuskan untuk pergi”
“apa dia membenciku? Bagaimana dengan ayah?”
“ayah nona ada di penjara”
“apa Robert yang mengalahkan mereka?”
“ya, untungnya polisi segera datang”
“polisi?”
“saat kalian menghilang, saya menelpon polisi karena begitu khawatir, non”
Tasya menunduk sedih, “syukurlah jika Robert baik-baik saja”
Beberapa hari kemudian,
Tasya melamun di balkon luar kamarnya, kenapa kamu pergi, Robert? Aku sayang banget sama kamu, cuma kamu yang bisa bikin aku nyaman. Aku butuh kamu.
“non, makan dulu ya?” bibi masuk ke kamar Tasya.
“aku gak laper, bi”
Malam itu,
Tasya datang ke gedung tempat pertarungan illegal, ia berharap bisa bertemu Robert disana.
Tasya berjalan melewati orang-orang asing yang menatapnya tajam, meski takut tapi Tasya ingin sekali bertemu Robert. Ia pun mendekati seorang pedagang minuman.
“maaf, pak. Apa Robert ada disini?”
Pedagang itu tersenyum, “ada apa kau mencarinya? Dia sudah lama tidak kembali, mungkin dia sudah mati”
“mati?” Tasya kaget.
“cantik, lebih baik kau menemaniku saja. Untuk apa mencari orang yang tidak ada” seorang pria yang sedang minum, mendekati Tasya.
Tasya takut.
“ayo sayang”
“enggak”
“kamu jutek amat sih?”
“lepasin”
“sayang”
“lepaskan dia sebelum botol yang kau pegang menusuh perutmu” Robert yang datang, menatap pria itu.
Pria itu pun pergi.
“Robert?” Tasya senang.
“mau apa kau kemari?” Robert menatap Tasya.
Tasya memeluk Robert dan air matanya menetes. Tapi Robert hanya diam karena semua orang menatapnya.
“aku rindu padamu”
“kita bicara di luar saja” Robert menatap orang-orang yang ada disana.
Mereka pun pergi ke luar.
Robert mengajak Tasya duduk d pinggir jalan, “aku senang melihatmu sehat”
Tasya tersenyum dengan air mata yang masih menetes.
“kamu kenapa sih?” Robert menghapus air mata Tasya.
“aku minta maaf, aku mohon. Jangan benci padaku, Robert”
“kau tau? Sebenarnya pergi ke tempat seperti ini sangat berbahaya, kau tidak boleh melakukannya lagi”
“aku sudah 2 kali kesini dan aku baik-baik saja”
“ok”
“kau belum menjawabku”
“apa?”
“kau memaafkanku, kan?”
“aku tidak tau”
Tasya diam.
“kau tau? Saat mengetahui dia ayahmu, aku benar-benar kecewa. Kau seorang penipu yang sangat hebat, Tasya”
Tasya pun sedih dan menunduk.
Robert menatap Tasya dan mengelusnya, “aku sudah memaafkanmu, saat kau tertembak demi menyelamatkan aku, aku tau kau tidak pernah bermaksud untuk menipuku”
Tasya menatap Robert.
Robert tersenyum dan memeluk Tasya, “aku mencintaimu”
Air mata Tasya menetes, ia amat bahagia mendengar itu. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan karena Robert juga masih memiliki rasa yang sama padanya.
“kau akan kembali tinggal bersamaku kan?”
“tentu” Robert tersenyum, “cepatlah lulus, anak manja”
“apa kau bilang?” Tasya menatap Robert sambil tertawa.
Robert mengelus Tasya dan mereka pun pergi.
The End
___
Thank’s for reading…

Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar