Author : Sherly Holmes
Penyunting : Erin_Adler
Genre : Romance, Drama, Crime
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
Malam itu,
Seorang perempuan
masuk ke sebuah gedung, disana terlihat banyak pria kasar yang sedang menonton
pertarungan ilegal.
Mereka berteriak,
“ayo, hajar dia. Hajar!”
Perempuan itu
berusaha melewati mereka dan mendekat ke arena.
“yeah” mereka
berteriak.
Perempuan itu
terdiam melihat seorang pria yang baru saja memenangkan pertarungan itu.
Pria itu menatap
lawannya dengan begitu tajam meski lawannya sudah kalah.
Benarkah dia pria yang bernama Robert?
Perempuan itu masih bingung.
Robert turun dari
ring dengan senyumannya yang tertuju pada minuman, ia mengambil sebotol minuman
dari rak dan membuka tutupnya dengan gigi. Robert pun meminumnya.
“kau akan membayar
itu kan?” penjual menatap Robert.
“kau tidak lihat
jika aku menang? Lagi pula, kapan aku berhutang padamu, kawan?”
“ok jagoan, ini
bayaranmu” seorang pria mendekat.
Robert menoleh dan
melihat seorang perempuan yang dibawa pria itu, “kau membayarku dengan bocah
ini?”
“bukan, ini klien
barumu”
Perempuan itu agak
kesal.
“dan ini bayaranmu”
pria itu memberikan Robert sebuah cek.
“terima kasih”
Robert menatap perempuan itu, “untuk apa anak kecil sepertimu datang kemari?”
“aku bukan anak
kecil, aku sudah SMA”
“tetap saja.
Bagiku, kau anak kecil”
“aku ini klienmu,
sopan sedikit”
“ok” Robert menatap
perempuan itu, “aku mendengarkanmu”
“hapus darahmu”
“ok” Robert
mengambil handuk kecil dan mengelap pundaknya yang berdarah, “beres”
“pakai bajumu”
Robert mulai kesal,
ia mengambil bajunya yang ada di dekat rak minuman dan memakainya. Ia kembali
menatap perempuan itu, “apa ini sudah cukup?”
“hapus darah di
bibirmu” perempuan itu mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikan tisu itu
pada Robert.
Robert agak
tersenyum dan mengambilnya, ia pun mengelap bibirnya.
“baiklah, aku ingin
kita bicara di luar”
“apa?” Robert
merasa sia-sia telah mengikuti perkataan perempuan itu.
“kenapa?”
“tidak, terserah
kau saja”
Mereka pun keluar
dari gedung itu.
“masuk ke mobil”
“kau punya mobil?”
Robert kaget.
“iya, memangnya
kenapa?”
“tidak, itu... itu
hebat” Robert masuk ke mobil.
“kau tidak duduk
disitu, kau duduk di tempat supir”
Robert kaget.
“kau bisa menyetir,
kan?”
“yap” Robert
pindah.
Di dalam mobil,
Mereka saling tatap
dan Robert merasa penasaran mengapa perempuan itu menyewanya.
“aku membutuhkanmu
untuk menjagaku”
“kenapa?”
“karena itu
pekerjaanmu”
“maksudku, kenapa
kau menyewaku? Apa kau merasa terancam?”
Perempuan itu
mengangguk, “The Papricas”
“Papricas?” Robert
kaget, itu merupakan mafia yang ditakuti di kota ini.
Perempuan itu diam.
“apa yang terjadi
sehingga orang sepertimu bisa berurusan dengan mereka?”
“itu bukan
urusanmu, tugasmu hanya menjagaku”
“ok” Robert
memalingkan wajahnya dan mulai kesal lagi.
“bisakah kau mulai
bekerja hari ini?”
“kau ingin aku
mengantarkanmu?”
“tinggalah di
rumahku”
***
Di rumah perempuan
itu,
“waw, rumahmu besar
sekali” Robert melihat ke sekitar, “pantas saja banyak penjahat menginginkanmu”
Perempuan itu menatap
Robert.
“aku hanya
bercanda”
“itu tidak lucu”
“ok, maaf” Robert
diam.
“aku akan
menunjukan kamarmu”
“kau sudah
menyiapkannya?” Robert kaget.
Mereka pun pergi ke
sebuah kamar.
“ini dia” perempuan
itu menatap Robert, “kau suka?”
“emh…, ok” Robert
tersenyum, “terima kasih, nona”
“aku lebih suka
jika kau memanggil namaku”
Robert menatap
perempuan itu.
“aku Tasya”
Robert tersenyum
lagi.
“kenapa?”
“tidak” Robert
mengelus Tasya, “selamat malam, Tasya”
Tasya terdiam.
Robert menatap
Tasya yang hanya diam, “ada apa?”
“tidak” Tasya
tersadar dan berubah kesal, “sudah, aku juga mau tidur” ia pergi.
“anak itu pemarah
sekali” Robert menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Tasya.
Besoknya,
Tasya yang sudah
bersiap untuk sekolah, keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke kamar Robert dan
mengetuk pintu, “Robert, kau masih di dalam? Cepat sarapan, kita akan ke
sekolah”
Tapi tidak ada
jawaban sedikitpun.
Tasya merasa aneh,
ia membuka pintu kamar Robert dan melihat Robert yang masih tidur.
Tasya kesal,
“Robert!”
Robert membuka
matanya, “ada apa sih? Pagi-pagi udah teriak-teriak”
“cepat bersiap, aku
harus sekolah”
“ok ok, tenang
cantik” Robert bangun, “aku sudah lama tidak tidur di kasur senyaman ini,
jadi...”
“cukup bicaranya,
cepat bangun”
“ok ok” Robert
berdiri dan mengelus kepala Tasya.
Tasya menatap
Robert.
Di ruang makan,
“jadi kau tinggal
sendiri disini?”
“aku hanya tinggal
bersama paman supir dan bibi pelayan”
Robert diam dan
tersenyum, “sekarang aku ada disini, panggil aku paman baik hati”
“aku tidak mau”
“kenapa?”
“kau terlihat
seperti paman berhati licik”
“apa?” Robert
kaget.
***
Di sekolah Tasya,
Tasya baru saja
keluar dari kelas, tapi ia kaget melihat para siswa yang begitu ramai di
lapang.
“ada apa ini?”
Tasya berlari kesana.
Ternyata Robert
sedang bermain basket dan para siswa begitu mengaguminya.
“dasar tukang
pamer” Tasya kesal melihat Robert yang melepas bajunya, “Robert”
Saat Robert mau
memasukan bola ke ring, ia menoleh. Robert tersenyum, “Tasya” ia berhenti
bermain dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil.
“ah..” para siswa
kecewa.
Robert mendekati
Tasya, “kau baru keluar?”
“pakai bajumu”
Tasya kesal melihat tingkah Robert, ia langsung pergi tanpa bicara.
“hey, Tasya?”
Robert kaget dan mengejarnya, “Tasya”
Tasya berjalan ke
tempat parkir dan membuka pintu mobilnya.
“Tasya” Robert
menutup pintu mobil.
“mau apa?” Tasya
menatap Robert.
“aku penjagamu dan
aku..”
“benarkah? Yang aku
tau, semenjak kau datang ke sekolah, kau hanya pamer badan dan mencari
perhatian dari semua perempuan”
“maafkan aku”
Tasya memalingkan
wajahnya.
“hey, aku serius.
Sungguh, aku sangat menyesal”
Tasya menatap
Robert.
Robert pun
tersenyum, “aku akan buatkan makan malam untukmu, ok?”
Tasya tersenyum,
“sepakat”
Mereka pun pulang.
Di rumah,
Robert sedang
menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, “apa ini?” Robert membaca buku resep,
“mungkin maksudnya benda ini” Robert mencarinya di antara bahan-bahan.
“tuan sedang apa?”
bibi mendekat.
Robert tersenyum,
“aku sedang dihukum Tasya, jadi aku yang memasak malam ini”
“biar saya bantu,
tuan”
“terima kasih”
Mereka pun memasak
sambil berbincang.
“jadi, Tasya...?”
Robert menatap bibi.
“ya, non Tasya
mungkin rindu sosok orang tua yang bisa menjaganya dan menyayanginya”
“ok” Robert diam,
“mungkin aku bisa sedikit menghiburnya” ia menatap bibi sambil tersenyum.
Saat makan malam
tiba,
Robert berjalan ke
kamar Tasya, “nona cantik, makan malamnya sudah siap”
“Robert?” Tasya
kaget melihat Robert, ia langsung menyimpan foto yang ia pegang ke bawah
bantal.
“foto siapa itu?”
“bukan urusanmu”
“ah, pasti kau
sedang menyukai seseorang kan?”
Tasya menunduk.
“hey, tidak
apa-apa” Robert mendekat dan mengelus Tasya, “itu wajar kok, kamu kan udah
remaja”
Tasya terdiam dan
menatap Robert.
“ayo makan”
Tasya memeluk
Robert, ya Tuhan... kenapa aku merasa dia
seperti ayahku?
Robert kaget dengan
apa yang Tasya lakukan, tapi ia diam dan memeluk Tasya.
Di ruang makan,
“aku tidak percaya
jika kau bisa memasak” Tasya memakan makanan yang ada di meja.
Robert tersenyum,
“aku memang dibantu oleh bibi”
Bibi tersenyum,
“tapi dasarnya, tuan Robert memang bisa memasak”
“terima kasih, bi”
Tasya tersenyum, “makanannya enak”
Robert menatap
Tasya, “hey, aku juga memasak”
Tasya menatap
Robert dan Robert diam.
Malam itu,
Robert masih
memikirkan Tasya, apa yang harus aku
lakukan? The Papricas, untuk apa The Papricas mengincar gadis polos seperti
Tasya? Robert begitu penasaran, ya
Tuhan...
Besoknya,
Robert membuka
matanya, Tasya? Ia bangun dan
berjalan ke kamar Tasya, “Tasya, bangun. Kau harus sekolah”
Tapi tidak ada
jawaban dari dalam.
Robert membuka pintu
dan melihat kamar Tasya yang kosong, “Tasya?” Robert kaget.
Di ruang makan,
“bi” Robert
berlari, “apa kau melihat Tasya?”
“non Tasya sudah
berangkat pagi-pagi sekali, tuan”
Di sebuah stasiun
kereta,
“Tasya, kamu gak
dianter bodyguard?” teman Tasya kaget.
“enggak, aku malu.
Gery mau ikut juga kan?”
“ya ampun, kamu
masih ngurusin si Gery? Kamu gak nyadar kalau saudaranya yang bernama Connie
itu sebel banget sama kamu?”
“biarin deh”
“kamu ini, dari
kelas satu, tetep gak berubah ya”
***
Di dalam kereta,
“aku sengaja nyewa
gerbong kelas satu, tapi sayangnya ditaruh di belakang. Tapi meski begitu, aku
harap, kalian suka ulang tahunku” Connie menatap teman-temannya.
“yeah” semua
bersorak.
“ayo kita party”
Gery memainkan musik.
“yeah”
Tasya terpesona
melihat Gery, “dia Dj yang keren” Tasya ingat saat Gery masih menjadi kakak
kelasnya.
Tapi tiba-tiba,
Robert masuk lewat
pintu gerbong, padahal kereta sedang melaju kencang.
“selamat pagi”
Robert menatap mereka.
“ya Tuhan...?”
Tasya kaget melihat Robert yang tiba-tiba muncul.
Teman-teman Tasya
kembali terpesona pada Robert.
“hentikan pesta
ini, ada ancaman besar di luar sana” Robert menatap Gery, “cepat pergi, Dj.
Bawa semua temanmu ke gerbong kelas dua”
Gery yang bingung
pun menatap Robert, “siapa kau?”
“Robert, kamu
ngapain kesini?” Tasya menatap Robert.
“tentu saja
menjagamu”
“mana bajumu?”
“di luar gerbong,
bajuku menempel disana seperti bendera”
“kau...?!” Tasya
kesal.
“hey, aku serius.
Saat aku mengejar keretamu, bajuku mungkin tersangkut pada salah satu besi dan
sobek” Robert menatap mereka yang masih berkumpul disana, “ya Tuhan..., apa
kalian tidak mengerti juga?” ia pun memukul salah satu jendela kereta sampai
pecah, “ini perintah!”
“wa...” semua panik
dan pergi keluar dari gerbong itu menuju gerbong kelas dua yang ada di depan.
Tasya yang kaget,
ikut berlari.
“Tasya” Robert
menarik Tasya dan menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.
“aw” Tasya kesal,
“apa yang...?”
Tiba-tiba sebuah
kereta cepat menyusul kereta mereka dan menembaki gerbong kelas satu.
Dor... dor...
dor...
“inilah alasanku”
Robert yang berbaring disamping Tasya, menatapnya. Ia tersenyum, “kau harus
ingat, The Papricas itu masalah serius. Aku menarikmu untuk berbaring karena
kau tidak punya waktu untuk berlari” Robert menatap Tasya, “mereka sengaja
menyerang di tempat sepi seperti hutan yang sedang kita lewati sekarang.”
“aku takut”
“tenanglah, aku
akan menjagamu”
Tapi Robert melihat
sebuah bom yang dilempar ke arah mereka, gawat!
Ia langsung membalikan tubuhnya ke arah Tasya.
Tasya menutup
matanya.
Dwar...
Saat semuanya
terasa aman, Tasya pun membuka matanya.
“Robert?” Tasya
melihat Robert yang menjadikan tubuhnya tameng untuk Tasya, air mata Tasya
menetes. Ia melihat sebuah besi tajam menancap di pundak kanan Robert dan
darahnya mengalir ke dada Robert, “Robert” Tasya bangun.
Tubuh Robert yang
berada di atas Tasya, langsung terjatuh ke samping. Robert menatap Tasya dengan
lemas.
“Robert...”
“aku tidak apa-apa,
bisakah kau ah..., mencabut benda ini? Sakit sekali”
Tasya menangis.
“hey, ini memang
tugasku. Jangan menangis”
Tasya mencabut besi
itu.
“aw” Robert menahan
sakit dan darahnya keluar semakin banyak.
Tasya pun melepas
syal yang ia pakai untuk membalut luka Robert, ia berharap, pendarahannya dapat
berhenti.
Tasya memeluk
Robert, “terima kasih”
Robert tersenyum.
Kereta pun berhenti
dan semua teman Tasya kembali ke gerbong kelas satu yang sudah berantakan.
Teman-teman Tasya
mengkhawatirkan keadaan Robert dan mereka pun sangat berterimakasih. Karena
tanpa Robert, mungkin mereka semua sudah meninggal.
“pestaku” Connie
sedih dan kesal, ia memeluk Gery.
Gery mengelus
Connie dan menatap Robert, “aku tidak suka pria tua itu”
Di stasiun kereta,
Robert bicara
dengan kepala stasiun.
“aku tau, The
Papricas memang sulit untuk ditindak”
“ya, aku
mengucapkan banyak terima kasih. Karena berkat kau, semua penumpangku selamat”
“tapi gerbong kelas
satumu hancur”
“kami masih punya
banyak gerbong” kepala stasiun tersenyum, “semoga lukamu cepat sembuh, anak
muda”
“terima kasih”
Robert tersenyum dan keluar dari ruangan kepala stasiun.
“Robert” Tasya
memeluk Robert, “ayo kita ke rumah sakit”
“tidak perlu, kita
pulang saja”
“kau yakin?”
“ya, cepatlah”
Robert mulai merasa pusing.
“ok” Tasya memapah
Robert.
Saat mereka naik
taxi,
Robert semakin
lemas.
“Robert” Tasya
khawatir dan memakaikan jaketnya.
Robert menatap
Tasya dan tiba-tiba pingsan.
“Robert?” Tasya
memeganginya.
Di rumah,
Tasya semakin
khawatir karena Robert demam, ia mengompres kening Robert dan berharap Robert
akan baik-baik saja.
“gimana ini, bi?
Badannya panas banget”
“tenang, non.
Dokter bilang, ini efek dari luka tuan Robert. Bibi yakin, dia akan baik-baik
saja”
“h...” Robert
mengigau karena sakit akan lukanya.
Tasya menatap
jahitan di pundak Robert, “kamu harus cepat sembuh” ia mengelus Robert.
Pagi itu,
Robert membuka
matanya, ia melihat Tasya yang tertidur di kursi karena setia menemaninya.
Robert tersenyum melihat tangan Tasya yang terus menggenggam tangannya, Robert
pun mengenggam tangan Tasya.
Tasya terbangun, ia
melihat Robert yang sedang menatapnya.
“hey”
“Robert? Syukurlah”
Tasya memeluk Robert.
“kamu gak sekolah?”
“gimana aku mau
sekolah kalau keadaan kamu kaya gini?”
“kamu gak usah
khawatir, aku udah biasa kaya gini”
“bohong, kemarin
juga, kamu bilangnya gak apa-apa. Tapi di taxi, kamu malah pingsan”
“maaf”
“aku akan menjagamu
sampai kau sembuh”
“hey, tugasmu itu
sekolah. Yang bertugas menjaga kan aku” Robert bangun dan menatap Tasya.
“Robert, aku itu
sayang sama kamu”
“aku tau”
“apa?”
“aku bercanda”
“menyebalkan”
Robert tersenyum,
“aku tau, kau menyukai pria Dj itu kan?”
Tasya menunduk.
“tidak apa-apa, itu
wajar. Aku tidak akan melarangmu”
“karena kau tidak
berhak”
“aku tau, aku bukan
siapa-siapa. Tapi jika dia bukan pria yang baik, belajarlah untuk melupakannya”
“aku menyesal tidak
pergi ke sekolah”
Robert tersenyum,
“bagus, anak muda harus semangat untuk sekolah”
Tasya pergi dengan
kesal.
Robert diam setelah
Tasya menutup pintunya.
Di luar,
Tasya berjalan
menuruni tangga, “dia itu kenapa sih? Padahal aku udah perhatiin, udah khawatir
banget. Tapi dia malah nyebelin, dasar orang tua aneh”
“ada apa, non?”
bibi tersenyum melihat Tasya bicara sendiri.
“enggak apa-apa,
bi. Cuma…”
“apa tuan Robert
sudah siuman?”
“dia udah sembuh”
“benarkah?”
“iya, buktinya dia
udah nyebelin lagi kaya biasa”
“jadi gitu?” Robert
yang berdiri di balkon, tersenyum mendengar perkataan Tasya.
Tasya kaget dan
menoleh.
“kalau begitu, aku
minta maaf ya” Robert turun perlahan sambil menahan sakit.
“ya ampun, tuan.
Jangan banyak bergerak dulu”
“aku gak apa-apa
kok, bi” Robert tersenyum.
Tasya hanya diam.
Robert mendekati
Tasya, “tolong papah aku” ia merangkul Tasya dengan tangannya yang sakit.
“apaan sih?” Tasya
melepaskan tangan Robert.
“aw aaw…” Robert
memegang pundaknya.
“ya Tuhan… Robert,
maafkan aku” Tasya ingat pada luka Robert.
“tidak apa-apa”
Robert menahan sakit.
Tasya memeluk
Robert dan diam.
Robert menatap bibi
dan bibi pun diam.
Sampai kapan dia akan memelukku?
Robert mengelus Tasya,
“aku janji, aku akan selalu menjaga”
“aku janji, aku akan selalu menjaga”
Beberapa hari
kemudian,
“Robert, ayo cepat.
Nanti kita ketinggalan”
“iya iya” Robert
mengambilkan tas Tasya.
Mereka pun pergi ke
pelabuhan.
Disana,
Terlihat sebuah
boat besar yang sedang berlabuh.
“apa itu kapal yang
akan membawa kita?”
“yap, ayo cepat”
Tasya tersenyum melihat teman-temannya yang sudah naik ke kapal.
Saat sedang
berlayar,
Tasya mencari Gery,
ia berharap, Connie mengajaknya kesana. Tapi langkah Tasya terhenti, ia melihat
Gery sedang bersama para gadis. Tasya teringat kata-kata Robert,
“jika dia bukan pria yang baik, belajarlah
untuk melupakannya”
Air mata Tasya
menetes, ia pun berlari tanpa arah untuk melepaskan rasa sakitnya.
“Tasya?” Robert
kaget melihat Tasya yang lewat dengan tergesa-gesa.
“ah” Tasya
terpeleset dan jatuh ke laut.
“Tasya?”
teman-teman yang melihatnya, panik.
Robert yang
mengejar Tasya, melihat itu. Ia membuka bajunya dan langsung terjun ke air.
“wa…” para gadis
terpesona.
Robert berenang
mendekati Tasya yang tenggelam dan membawanya ke atas. Teman-teman Tasya pun
membantu mereka untuk kembali naik ke boat.
***
Tasya membuka
matanya, ia melihat keadaan sekitar. Ini
seperti kamarku, Tasya kaget. Tasya mengambil kompresan yang ada di
keningnya, apa aku demam?
Tapi saat Tasya
menoleh, “argh?!” ia berteriak melihat Robert yang tidur disampingnya, “Robert,
bangun. Robert!” Tasya memukul Robert.
“aduh, ada apa
sih?” Robert bangun dan menatap Tasya.
“ngapain kamu tidur
disini?”
“santai aja kali,
aku gak ngapa-ngapain kok”
“iya, tapi…”
“apa?”
Tasya diam.
“ok ok, aku minta
maaf” Robert berdiri.
Tapi Tasya memegang
tangan Robert.
Robert menoleh dan
menatap Tasya.
“kau benar, dia
bukan pria yang baik”
Robert diam, Tasya
bangun dan memeluknya.
“tetaplah disini”
Robert tersenyum.
Besoknya,
Di sekolah, Tasya
sedang bicara dengan teman-temannya di balkon sekolah.
“jadi, kamu udah
gak suka lagi sama Gery?”
Tasya mengangguk,
“sekarang aku menyukai pria tua itu” ia melihat ke arah Robert yang sedang
bermain basket bersama para atlet sekolah.
“kau menyukai
Robert?”
“aku tau itu aneh,
apalagi dia lebih cocok jadi pamanku”
“ya ampun, biasa
aja kali Sya. Kamu lupa apa? Hampir semua cewek disini suka sama dia. Kalau
kalian jadian, kita pasti iri banget”
“jadi, kalian suka
pria tua?”
“enggak juga sih,
tapi kalau Robert, bolehlah”
“kau ini”
Robert pun melihat
Tasya yang ada di balkon, ia tersenyum dan berhenti bermain. Robert menatap
para atlet itu, “kalian lanjutkan saja, aku ada urusan” ia tersenyum dan pergi
ke balkon dan mendekati Tasya.
“Robert?” Tasya
kaget.
“kok kamu gak
bilang kalau udah istirahat?” Robert menatap Tasya.
“kamu kan lagi main
basket”
“oh, gitu?” Robert
tersenyum.
“lagian, kamu asyik
banget mainnya. Padahalkan kamu udah tua, gak cape apa?”
“maksudmu karena
aku tua, jadi aku lemah. Begitu? Aku ini orang paling kuat disini”
“oh, begitu kah?”
“terserah deh”
Tasya tersenyum dan
memeluk Robert.
Robert merasa aneh,
“hey, aku berkeringat lho. Lagian juga, harusnya kamu marah…”
“karena kamu
melepas bajumu?” Tasya menatap Robert.
Robert menatap
teman-teman Tasya yang tersenyum.
Malam itu,
Tasya membantu bibi
memasak untuk makan malam.
“dia itu perfect banget,
bi. Dia bisa jadi temen, jadi ayah dan…”
“pacar?”
“bibi” Tasya malu.
“non, nona yakin
suka sama tuan Robert?”
“kok bibi nanyanya
gitu? Aku tau Robert memiliki usia yang jauh denganku, tapi…”
“ehm…” Robert
datang.
Mereka diam dan
Tasya sangat kaget.
“ada apa sih? Kok
kalian berhenti bicara?”
“gak ada apa-apa”
Tasya menunduk, ia takut Robert mendengar pembicaraan mereka.
Robert tersenyum,
“aku penasaran, masakanmu enak atau tidak, ya?”
Tasya menatap
Robert, “kau meremehkanku?”
“aku tidak bicara
begitu” Robert menatap Tasya.
“nyebelin” Tasya
kesal.
Robert tersenyum,
“aku hanya bercanda” ia mendekat dan mengelus Tasya, “jika kau memasak dengan
hati, pasti rasanya akan enak”
Tasya menatap
Robert.
“karena di dalam
masakan itu, terdapat kasih sayang dari pembuatnya. Itulah kekuatan yang muncul
dari masakan”
Tasya tersenyum, apa aku harus mengatakannya? Apa aku jujur
saja dengan perasaanku? Tapi bagaimana reaksinya nanti?
“kau kenapa?”
Robert merasa aneh.
***
Di sebuah gedung,
Tasya dibawa oleh
beberapa orang asing dan masuk ke sebuah ruangan, ia melihat bos dari
gerombolan itu.
“the Papricas?”
Tasya kaget.
“selamat datang,
Tasya” bos tersenyum.
Tasya mulai panik, Robert, kamu dimana?
“kenapa Tasya? Kau
memikirkan seseorang?” bos dari mafia itu menatap Tasya dengan tajam, “apa
orang ini yang kau cari?”
Para anak buah dari
bos mafia itu bergeser dan terlihat Robert yang terluka dan diikat di sebuah
kursi.
Ya Tuhan… mereka berhasil menangkap Robert?
Robet yang lemas,
hanya diam menatap Tasya.
“lepaskan dia, aku
mohon” Tasya menatap bos mafia itu.
Bos tertawa, “yang
benar saja, dia sudah ikut campur terlalu jauh”
“tapi dia tidak tau
apa-apa” mata Tasya berkaca-kaca.
“tetap saja,
bagiku, dia adalah pengganggu” bos mafia utuk mengeluarkan pistol dan
menempelkannya ke dada Robert.
“jangan ayah, aku
mohon” Tasya semakin panik.
Robert kaget
mendengar itu.
Bos mafia itu
tersenyum, “maafkan aku, tapi ini harus aku lakukan”
Dor… dor…
Dua peluru itu
membuat t-shirt putih Robert berubah menjadi merah, Robert pun langsung tertunduk
tak bergerak.
“Robert” Tasya
menangis.
“itu salahnya,
kenapa dia mau ikut campur dalam urusan kita. Ayah tidak suka jika ada
penghalang yang merusak suasana”
“ayah jahat”
“jangan pedulikan
dia lagi, dia sudah mati. Aku bisa jamin jika dadanya pecah dan jantungnya
hancur”
Bos mafia itu pergi
dan para anak buahnya pun mengikutinya.
Tasya mendekati
Robert dan membuka ikatannya, tubuh Robert langsung roboh ke lantai dan Tasya
memeluknya.
“Robert, bangun.
Kamu harus kuat, aku pasti akan membawamu ke rumah sakit. Bangun Robert” Tasya
menangis, ia sadar Robert telah meninggal. Tasya merobek baju Robert dan
melihat luka parah di dadanya.
“Robert?!” Tasya
terbangun, ternyata ia hanya bermimpi.
Robert masuk ke
kamar Tasya dan melihatnya sedang menangis, “Tasya?” Robert mendekat.
“Robert” Tasya
langsung memeluk Robert.
“ada apa? Kamu
kenapa?” Robert mengelus Tasya, “tenanglah, kau pasti mimpi buruk kan?”
Tasya hanya memeluk
Robert erat, ya Tuhan… aku harus
bagaimana? Apa aku harus menyuruh Robert menjauhiku? Semoga mimpiku tidak
menjadi kenyataan.
“Tasya” Robert
menatap Tasya, “sudahlah, itu semua cuma mimpi kan? Mimpi itu bunga tidur, kau
jangan khawatir”
Kau tidak tau apa yang baru saja aku impikan, aku takut
kehilanganmu. Air mata Tasya kembali menetes.
“hey, sudah. Jangan
menangis” Robert tersenyum dan menghapus air mata Tasya, “tidurlah”
“jangan tinggalkan
aku”
“kau ingin aku
menemanimu disini?”
Tasya mengangguk.
Robert tersenyum
dan kembali memeluk Tasya, “ya sudah, aku akan menemanimu disini. Tidur ya, aku
sayang padamu”
Tasya tersenyum dan
kembali berbaring.
Paginya,
Robert mengelus
Tasya, “Tasya, bangun”
Tasya yang tidur
sambil memeluk Robert, membuka matanya.
“hey” Robert
tersenyum.
“ini udah pagi ya?”
“iya, kamu harus
sekolah kan?”
“aku mau libur aja,
atau aku home schooling”
“apa?” Robert
kaget, “ada apa, Tasya?”
“gak ada apa-apa,
aku cuma…”
“hey, aku tau kamu
takut. Tapi selama aku ada, aku akan selalu menjagamu. Jangan khawatir, ok?”
“tapi mereka
terlalu kuat, aku rasa…”
“cukup, tidak usah
dilanjutkan. Ini semua pasti karena mimpimu, kan?”
Tasya diam.
“kau mau
menceritakannya?”
Tasya sedih dan
memeluk Robert.
“hey, kenapa?”
“aku takut, aku
takut kehilanganmu”
Robert tersenyum.
Di sebuah gedung,
Bos mafia itu
tersenyum, “jadi kalian sudah tau siapa orang itu?”
“iya bos, namanya
Robert. Seorang petarung illegal dan bodyguard swasta”
“begitukah?” bos
mafia itu menatap foto Robert yang ia pegang, “Aku ingin kalian terus mengawasi
mereka, aku tidak suka jika ada yang ikut campur dengan urusan keluargaku”
“siap, bos”
Malam itu,
Robert mengajak
Tasya untuk makan malam, mereka berjalan bersama sambil berpegangan tangan.
“kenapa mesti jalan
kaki sih?”
“deket kok, bentar
lagi” Robert tersenyum.
Mereka tidak
menyadari jika di belakang mereka terdapat dua orang pria yang sedang
memata-matain.
Salah satu dari
pria tersebut menghubungi bos mereka.
“ada apa?” bos
mengangkat telponnya.
“mereka sedang
berjalan bersama, bos”
“maksudmu?”
“sepertinya pria
itu sangat dekat dengan nona Tasya”
“kurang ajar, tetap
ikuti mereka”
“siap bos”
Di pinggir jalan
kota,
“itu dia”
“apa? Kita akan
makan disitu?” Tasya melihat sebuah warung kaki lima dengan roda tempat
menyimpan makanan.
“kenapa?” Robert
menatap Tasya.
“tidak” Tasya diam
dan sedikit tidak semangat.
Robert tersenyum,
“ayo” ia memegang tangan Tasya dan mengajaknya duduk.
Tasya tersenyum
lagi.
Saat mereka sedang
makan, dua pria tadi pun makan disana. Robert sama sekali tidak curiga dengan
mereka, ia malah tersenyum pada Tasya dan mengelusnya.
“Robert” Tasya
tersenyum.
“enak kan? Aku
bilang juga apa? Makanan disini gak kalah sama restoran kesukaanmu”
“iya iya” Tasya
memakannya, tentu aja ini enak, apa lagi
kalau kamu yang nyuapin.
Robert tiba-tiba
mendekatkan sendok berisi makanan ke mulut Tasya.
Ya Tuhan… Jangan-jangan, dia tau isi hatiku?
Tasya kaget.
“hey, kenapa diam?
Ayo dong, buka mulutnya”
“iya” Tasya senang,
Robert benar-benar menyuapinya.
Kedua pria itu pun
pergi sambil kembali menghubungi bosnya.
“hallo?”
“bos, sepertinya
dia memang benar-benar dekat dengan nona Tasya. Atau mungkin, mereka punya
hubungan”
“jadi dia
benar-benar mencari kesempatan untuk mendapatkan putriku? “ bos marah.
***
Setelah makan,
Robert dan Tasya pun kembali berjalan melewati gang-gang gelap.
“kenapa kita gak
naik taxi aja sih?”
“kenapa? Kan enak
jalan berduaan”
“ah, kamu. Aku kan
cape”
“mau digendong?”
“enggak” Tasya
tersenyum dan merangkul Robert, “aku takut, sekarang kan udah malam. Mana makin
sepi lagi”
Tapi tiba-tiba,
langkah mereka terhenti. Segerombol pria asing, menghalangi jalan mereka.
Robert menatap
mereka dengan waspada.
“Robert” Tasya
khawatir, ia takut jika ini adalah The Papricas.
Robert memeluk
Tasya dan sedikit mundur, tapi saat ia menoleh ke belakang, disana pun sudah
berkumpul orang-orang seperti mereka.
Tasya memeluk
Robert dengan begitu erat.
“tenanglah, aku
janji, aku akan melindungimu dari mereka”
“mereka terlalu
banyak”
Robert kembali
menatap mereka.
“menyerahlah, atau
kami akan membunuhmu disini” salah satu dari mereka mengeluarkan senjata api.
“bagaimana jika
kita bertarung saja, aku rasa, tidak adil jika kau memakai senjata” Robert
menatapnya.
“ok” orang itu
tersenyum, “serang” ia berteriak.
Robert melepaskan
Tasya, “cari tempat aman”
“tapi…”
“pergi”
Tasya berlari dan
bersembunyi.
Robert pun
berkelahi dengan mereka semua.
Ya Tuhan…, bagaimana ini? Robert tidak akan menang
melawan mereka, Tasya panik. Tapi seseorang tiba-tiba
memegang pundaknya dan Tasya menoleh, “ah?!”
Robert yang sedang
berkelahi pun terdiam melihat seseorang yang memegangi Tasya.
“pergi Robert,
jangan pedulikan aku” Tasya berteriak.
“lepaskan dia!”
Robert menatap orang itu.
“oh, sepertinya kau
belum memberitaunya ya?” orang itu menatap Tasya.
Air mata Tasya
menetes, “biarkan Robert pergi, ayah. Aku janji akan menuruti semua perkataan
ayah”
“ayah?” Robert
kaget mendengar itu, ia baru tau jika sang bos mafia adalah ayah Tasya.
“kau fikir, semudah
itu?” bos mafia itu tersenyum, “tangkap dia, aku ingin memberinya pelajaran
karena berani mendekati anakmu”
Robert langsung
dicekik, tapi ia hanya diam tak melawan.
“Robert, pergi”
Tasya berteriak.
Robert menatap
Tasya dan kembali pasrah.
Mereka pun melepas
baju Robert dengan paksa dan mengikat tubuhnya memakai tambang yang kuat.
“ayah, aku mohon,
hentikan. Robert bisa terluka”
“diamlah Tasya,
ayah hanya ingin memberinya pelajaran”
“tapi…” Tasya
menangis.
Di sebuah gedung,
Robert yang masih
diikat, dibawa ke sebuah ruangan.
Mereka pun
menghajar Robert disana.
“argh, argh…”
Di ruangan bos
mafia,
Tasya mendengar
teriakan Robert, “ayah, aku mohon, lepaskan dia”
“aku sudah bilang,
kan? Dia harus diberi pelajaran”
“tapi ayah…”
“ini juga akan
mengajarimu, bagaimana akibatnya jika melawanku” bos mafia itu keluar dari
ruangannya dan masuk ke ruang penyiksaan Robert.
Robert menatap bos
mafia itu.
“kuat juga kau
rupanya”
“mana Tasya?”
“untuk apa kau
menanyakannya? Dia anakku, aku lebih berhak darimu”
“kau orang tua yang
buruk”
“kurang ajar” bos
mafia itu mengeluarkan cambuk yang berujung tajam, ia kesal dan memecut tubuh
Robert.
“argh” Robert
begitu kesakitan karena cambuk itu hampir merobek kulitnya, “argh”
***
Robert yang tidak
berdaya hanya bisa diam dan berharap ada keajaiban datang menemuinya.
Seseorang membuka
pintu, Robert langsung menatapnya. Ternyata itu Tasya.
“Robert?” Tasya
mendekat dan mengelusnya.
“mau apa kau?”
Robert menatap Tasya.
“tentu saja aku
akan melepaskanmu”
“tidak perlu
repot-repot, aku lebih baik mati disini daripada harus diselamatkan olehmu”
“apa maksudmu?”
Tasya sedih mendengar itu, “aku sayang padamu dan aku tidak mau ayah
membunuhmu”
“benarkah? Lalu
kenapa kau tidak pernah jujur padaku jika bos mafia itu adalah ayahmu?”
“maafkan aku,
Robert. Aku hanya…”
“apa?”
“aku takut kau
tidak mau menjadi bodyguardku” Tasya melepaskan tali yang mengikat Robert dan
memapahnya.
Tapi bos mafia itu
datang bersama anak buahnya.
“mau kemana
kalian?”
“ayah?” Tasya
kaget.
“lepaskan aku”
Robert berbisik pada Tasya.
“kau gila?” Tasya
menatap Robert.
“cepat”
Tasya melepaskan
Robert dan Robert langsung menyerang mereka.
Bos mafia itu kaget
melihat Robert yang masih bisa bertahan dengan lukanya. Ia pun mengeluarkan
sebuah pistol dari sakunya dan mengarahkan pistol itu ke punggung Robert.
Tasya yang melihat
itu langsung berlari ke arah Robert, “Robert?!”
Robert menoleh.
Dor…
Robert kaget
melihat Tasya yang tertembak di depan matanya, “Tasya?!”
Bos mafia itu
terdiam, ia baru saja menembak anaknya.
Tasya yang
tergeletak pun menutup matanya dan semua menjadi gelap.
***
Di sebuah kamar di
rumah sakit,
Tasya membuka mata
dan melihat pelayannya.
“non Tasya?”
“em…” Tasya mulai
sadar, “Robert mana, bi?”
“Robert…”
“bi?”
“non Tasya tenang
dulu”
“bi, aku mohon.
Beritau aku, dimana Robert?”
“Robert sudah
pergi, non”
“pergi?”
“iya, kemarin ia
berpesan agar nona tidak pernah mencarinya lagi”
“kenapa, bi? Kenapa
Robert bicara begitu?” Tasya menangis, “berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“tiga hari, non.
Saat itu kalian berdua dibawa kesini, tapi Robert pulih dengan cepat dan
kemarin, ia memutuskan untuk pergi”
“apa dia
membenciku? Bagaimana dengan ayah?”
“ayah nona ada di
penjara”
“apa Robert yang
mengalahkan mereka?”
“ya, untungnya
polisi segera datang”
“polisi?”
“saat kalian
menghilang, saya menelpon polisi karena begitu khawatir, non”
Tasya menunduk
sedih, “syukurlah jika Robert baik-baik saja”
Beberapa hari
kemudian,
Tasya melamun di
balkon luar kamarnya, kenapa kamu pergi,
Robert? Aku sayang banget sama kamu, cuma kamu yang bisa bikin aku nyaman. Aku
butuh kamu.
“non, makan dulu
ya?” bibi masuk ke kamar Tasya.
“aku gak laper, bi”
Malam itu,
Tasya datang ke
gedung tempat pertarungan illegal, ia berharap bisa bertemu Robert disana.
Tasya berjalan
melewati orang-orang asing yang menatapnya tajam, meski takut tapi Tasya ingin
sekali bertemu Robert. Ia pun mendekati seorang pedagang minuman.
“maaf, pak. Apa
Robert ada disini?”
Pedagang itu
tersenyum, “ada apa kau mencarinya? Dia sudah lama tidak kembali, mungkin dia
sudah mati”
“mati?” Tasya
kaget.
“cantik, lebih baik
kau menemaniku saja. Untuk apa mencari orang yang tidak ada” seorang pria yang
sedang minum, mendekati Tasya.
Tasya takut.
“ayo sayang”
“enggak”
“kamu jutek amat
sih?”
“lepasin”
“sayang”
“lepaskan dia
sebelum botol yang kau pegang menusuh perutmu” Robert yang datang, menatap pria
itu.
Pria itu pun pergi.
“Robert?” Tasya
senang.
“mau apa kau
kemari?” Robert menatap Tasya.
Tasya memeluk
Robert dan air matanya menetes. Tapi Robert hanya diam karena semua orang
menatapnya.
“aku rindu padamu”
“kita bicara di
luar saja” Robert menatap orang-orang yang ada disana.
Mereka pun pergi ke
luar.
Robert mengajak
Tasya duduk d pinggir jalan, “aku senang melihatmu sehat”
Tasya tersenyum
dengan air mata yang masih menetes.
“kamu kenapa sih?”
Robert menghapus air mata Tasya.
“aku minta maaf,
aku mohon. Jangan benci padaku, Robert”
“kau tau?
Sebenarnya pergi ke tempat seperti ini sangat berbahaya, kau tidak boleh melakukannya
lagi”
“aku sudah 2 kali
kesini dan aku baik-baik saja”
“ok”
“kau belum
menjawabku”
“apa?”
“kau memaafkanku,
kan?”
“aku tidak tau”
Tasya diam.
“kau tau? Saat
mengetahui dia ayahmu, aku benar-benar kecewa. Kau seorang penipu yang sangat
hebat, Tasya”
Tasya pun sedih dan
menunduk.
Robert menatap
Tasya dan mengelusnya, “aku sudah memaafkanmu, saat kau tertembak demi
menyelamatkan aku, aku tau kau tidak pernah bermaksud untuk menipuku”
Tasya menatap
Robert.
Robert tersenyum
dan memeluk Tasya, “aku mencintaimu”
Air mata Tasya
menetes, ia amat bahagia mendengar itu. Ternyata cintanya tidak bertepuk
sebelah tangan karena Robert juga masih memiliki rasa yang sama padanya.
“kau akan kembali
tinggal bersamaku kan?”
“tentu” Robert
tersenyum, “cepatlah lulus, anak manja”
“apa kau bilang?”
Tasya menatap Robert sambil tertawa.
Robert mengelus
Tasya dan mereka pun pergi.
The End
___
Thank’s for reading…
Maaf kalau isinya kurang
menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar