Author : Sherly
Holmes
Genre : School-life,
Drama
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan
semata.
Aku sudah bicara dengan
Iren dan dia setuju, kami pun bicara pada pak Robert untuk bertanya bagaimana
aturan dia dalam les tersebut dan kami berhasil mendapatkan kata sepakat.
Seminggu dua kali kami
les, dan itu hanya dilakukan jika ada waktu luang atau sedang tidak ada mata
kuliah.
Hari itu,
Kami memasuki sebuah
perumahan, pak Robert bilang jika rumahnya ada di paling pojok dan bernomor 1.
Aku dan Iren pun berputar-putar mencari rumahnya, tapi…
Ya Tuhan… dimana sih?
Pojokkan mana?
Setelah lama berkeliling
dan menghubunginya, akhirnya kami menemukan rumah pak Robert.
Kami masuk dan terlihat
jika itu adalah rumah yang baru ia huni, pak Robert bilang jika
barang-barangnya masih ada di luar kota sebagian.
Ok, no problem. Yang
penting les untuk menggapai cita-cita terpenuhi.
Namun betapa kagetnya kami
saat pak Robert memperkenalkan istrinya yang bernama Susan, ternyata dia udah
married. Dikirain masih jomblo, hihi…
Pak Robert bertanya,
kenapa kami ingin les private? Apa motive kami?
“kalau saya sih pingin
kerja di kedutaan, pak” aku menjawab.
“kalau Iren?”
“Iren suka belajar bahasa
Inggris karena dia dulunya anak bahasa” aku menjawab lagi.
“oh, gitu”
“iya pak” Iren tersenyum.
Lama kelamaan, kami
semakin akrab. Bahkan bercanda atau pun mengolok-ngolok diriku dalam batas
kewajaranpun berani pak Robert lakukan. Tapi aku tidak pernah marah karena aku
tau jika dia hanya bercanda.
Sampai sejauh ini, pak Robert
terlihat seperti dosen yang masih bersih tanpa terkontaminasi keadaan kampus
dan aku masih merasa nyaman dengan perbedaan dia dan dosen lain.
Beberapa hari kemudian,
Saat selesai les,
tiba-tiba wajah pak Robert yang ramah menjadi agak kesal dan kecewa.
Kami berdua kaget melihat
itu, ada apa dengan pak Robert? Kok tiba-tiba…?
“kalian tau gak siapa yang
bilang ke Prodi kalau bapak sering ngajar dengan bahasa asing?”
Aku dan Iren hanya diam
bingung.
“gini lho, ketua Prodi
bilang. Anak-anak kelas kalian itu protes kalau bapak ngajar dengan bahasa
asing sehingga kalian gak ngerti dengan pelajaran bapak”
Sebenarnya aku tau siapa
itu, tapi aku tidak mau menyakiti perasaan pak Robert. Apalagi dia dosen baru
di kampusku.
Aku ingat,…
Saat
itu, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok dan disuruh untuk mempresentasikan
tentang Ekologi di dunia. Pak Robert bilang, kami bisa cari di buku atau pun di
internet. Dan seandainya susah, dia memiliki materi asli yang ia download lewat
E-book.
Namun
sayangnya, materi itu berisi bahasa Inggris.
Dan
keegoisan anak-anak pintar itu muncul, mereka bilang pada ketua Prodi jika pak
Robert mengajar dengan bahasa asing. Ya, mereka mengadu karena baru pertama
kali mendapatkan mata kuliah yang agak rumit dan bermateri sedikit untuk bahasa
kami. Tapi jika mencari dalam bahasa asing, sebenarnya itu banyak.
Ya,
menurutku itu hanya kemalasan mereka. Karena sebenarnya, mereka hanya bisa
membawakan materi yang mereka dapatkan dari dunia maya. Tapi tidak bisa
memaparkan intuisi di luar nalar dan pendapat pribadi asli di luar materi dunia
maya.
Bukannya
aku membela pak Robert, hanya saja. Jika ingin maju, hal ini adalah tantangan
yang menarik menurutku.
“kalian tau gak siapa
orangnya?”
Kami pun menggeleng.
Aku sadar, jika aku
bercerita pada pak Robert tentang apa yang terjadi. Dia pasti akan marah dan
masalah akan semakin rumit karena salah faham, sebab aku melihat emosi di
matanya.
“ya udah lah” pak Robert
kembali tersenyum walau aku tau jika itu terpaksa.
Kami berdua jadi gak enak
sama pak Robert, tingkah mereka sekarang memang terlihat begitu merajarela.
***
Saat pelajaran pak Robert
dimulai,
Semua masuk kelas, pak
Robert datang dengan keadaan yang lebih tenang dari pada saat bicara bersama
kami. Namun dia langsung bicara, “siapa yang ngadu ke Prodi kalau bapak ngajar
bahasa asing dan membuat kalian tidak mengerti?”
Semua diam.
“sekarang bapak tanya,
emangnya selama ini bapak ngajar pake bahasa Inggris? Enggak kan? Cuman materi
yang bapak kasih ke kalian doang bahasanya gitu, itu karena tidak ada lagi
materi yang bisa bapak berikan selain itu. Kalian cari sendiri aja bahasa
Indonesianya, belum ada. Bahkan bapak suka membantu kalian translate kan? Tapi
kenapa kalian bicara gitu sama Prodi?”
Para anak pintar itu pun
hanya diam, mereka tidak mau mengakui kesalahan mereka. Ya seperti yang aku
bilang, karena kebiasaan mudah mendapat nilai bagus, maka mereka tidak suka
jika tingkat ujiannya meningkat. Padahal ini adalah tantangan untuk maju
menurutku dan aku yakin ini adalah metode yang pak Robert pelajari di kampusnya
dulu.
Pada intinya, mereka pun
minta maaf. Namun yang tidak aku sukai adalah sikap so suci mereka yang bicara
seperti ini…
“ya udah pak, saya
mewakili teman-teman yang ada disini, minta maaf sama bapak”
What? Yang ngomong siapa?
Yang minta maaf siapa? Kenapa jadi mewakili semua anak? Jelas-jelas yang
ngomong itu dia, itu lah yang aku tidak suka dari anak-anak so suci dan ingin
enak sendiri.
Bahagia ingin ditelan
sendiri, tpi jika susah semua orang harus menanggung. Ya, ok lah. Itu urusan
mereka dengan pak Robert dan juga Tuhan… Yang penting pak Robert tau jika aku
dan Iren tidak ikut campur dengan masalah ini.
UTS pun dimulai,
Seperti biasa dan pada
umumnya, aku selalu berharap jika soalnya bisa open book untuk dijawab.
Meskipun pada kenyataannya di buku catatan tidak ada jawabannya, tapi tulisan
open book sangat melegakan hati.
Apalagi jika paman Paul
yang sedang mengawasi ujian kami, aku harus terlihat bisa dan pintar. Jadi open
book itu sangat membantu, haha…
Apabila ada soal yang
tidak open book dan menanyakan tentang teori, maaf saja. Kami selalu berusaha
untuk olah raga dan berdo’a.
Berdo’a, ya Tuhan… semoga
pengawasnya keluar. Setelah pengawas keluar, kami pun berolah raga. Melihat
kesana kemari dan berbisik aktif.
Itu lah yang membuat jasmani
dan rohasi kami sehat, karena seimbang antara berdo’a dan berolah raga.
Sebenarnya itu tidak baik sih…
Makanya aku lebih suka
dengan soal yang menanyakan tentang argumen atau pendapat pribadi. Dengan
begitu, meski open book atau tidak, itu tidak masalah. Kita berfikir sendiri
dan menurut pemahaman sendiri.
Itu baru keren, namun
sayangnya, dalam masalah pendapat, tetap saja pendapat itu harus sesuai dengan
pikiran dosennya, kalau enggak, tetep aja salah.
Dan untuk pertama kalinya,
pak Robert menjadi pengawas kami. Ya Tuhan… sulit sekali untuk berolah raga.
Dia mundar-mandir terus dan melihat setiap lembar jawaban kami, OMG… bahkan
do’a anak sekelas agar dia keluar dari kelas pun gak mempan. Aduh…
But, it’s ok. Untung aja
soalnya open book dan pendapat, huh… leganya.
Lama kelamaan, aku merasa
semakin dekat dengan pak Robert. mungkin karena hobi kami sama. Bahkan pak
Robert sempat mengujiku dengan pertanyaan tentang music, karena ia merasa aneh
atau kagum orang seumurku suka Beatles?
“coba bapak tanya, siapa
sih yang menginspirasi Beatles?”
Lalu aku jawab, “The
Tielman Brothers (maaf kalau salah nulis)”
Dia pun semakin kagum,
“waw, pengetahuan music kamu hebat ya”
Aku pun tersenyum, tentu
saja. The Beatles adalah idolaku semenjak aku SMP.
“kalau bapak sih lebih ke
U2 waktu bapak masih suka ngeband”
Aku pun langsung berkhayal
pak Robert yang menyanyikan lagu Vertigo, pasti keren. Tapi aku tidak bicara
apa-apa setelah itu, aku membiarkannya menjelaskan meski sebenarnya aku juga
tau tentang U2.
Bono lah vokalisnya, ya
meski tidak mendalam seperti Beatles. Tapi aku tau.
Setelah itu, aku pun
berfikir. Sepertinya aku mulai simpati pada Pak Robert, mungkin lagi-lagi, aku
mengharapkan sosok ayah darinya.
Yang aku tau, pak Robert
selalu memuji-muji istrinya di depan kami. Dia tidak pernah mengeluhkan tentang
istri seperti sebagian dosen lain. Pikiran dan perkataannya selalu positif.
Ya Tuhan… semoga suamiku
nanti seperti itu, amin…
Aku pun akhirnya kembali
berharap pada pak Robert, apalagi pak Robert belum punya anak dari
pernikahannya itu. Dia memelihara kelinci dan aku tau bagaimana dia dan
istrinya sangat menyayangi kelinci itu seperti anak mereka sendiri.
Ya Tuhan… kenapa enggak
aku aja sih pak yang jadi anak bapak? Ya, itu hanya khayalanku…
Namun aku selalu bersikap
manis dan polos di depan pak Robert, intinya menjadi diriku sendiri dan aku
tau, dia juga meyakini bahwa aku adalah anak yang polos dan rasa cinta itu
tidak ada sama sekali.
***
Setelah UTS,
Aku dan Iren memilih untuk
rehat seminggu dari les, dan kami pun kembali melanjutkan les kami minggu
depannya. Tapi setelah les…
“kalian udah liat nilai
kalian di Prodi?” pak Robert menatap kami dengan serius.
Aku sedikit kaget dengan
raut wajah ramahnya yang berubah menjadi agak kesal dan kecewa.
Dengan polosnya aku menjawab,
“udah pak”
“berapa nilainya?”
“A, iya kan Ren?”
“iya kali, aku gak tau Ta”
“gini lho, gara-gara nilai
itu. Ada masalah lagi, masa sampe pak Dekan juga turun tangan. Bapak kan jadi
malu, mana bapak baru lagi di kampus”
Kami mulai khawatir lagi,
wajah pak Robert berubah seperti dulu. Namun, ini masih tanda Tanya bagiku. Aku
tidak tau apa yang terjadi.
To be
Continued
___
Thank’s for reading…
Maaf kalau isinya kurang
menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar