Rabu, 17 Februari 2016

My Cool Fathers 4 : I Will Follow

Author : Sherly Holmes
Genre : School-life, Drama
Cerita ini hanya fiktif belaka dan hanya untuk hiburan semata.
___
Aku sudah bicara dengan Iren dan dia setuju, kami pun bicara pada pak Robert untuk bertanya bagaimana aturan dia dalam les tersebut dan kami berhasil mendapatkan kata sepakat.
Seminggu dua kali kami les, dan itu hanya dilakukan jika ada waktu luang atau sedang tidak ada mata kuliah.
Hari itu,
Kami memasuki sebuah perumahan, pak Robert bilang jika rumahnya ada di paling pojok dan bernomor 1. Aku dan Iren pun berputar-putar mencari rumahnya, tapi…
Ya Tuhan… dimana sih? Pojokkan mana?
Setelah lama berkeliling dan menghubunginya, akhirnya kami menemukan rumah pak Robert.
Kami masuk dan terlihat jika itu adalah rumah yang baru ia huni, pak Robert bilang jika barang-barangnya masih ada di luar kota sebagian.
Ok, no problem. Yang penting les untuk menggapai cita-cita terpenuhi.
Namun betapa kagetnya kami saat pak Robert memperkenalkan istrinya yang bernama Susan, ternyata dia udah married. Dikirain masih jomblo, hihi…
Pak Robert bertanya, kenapa kami ingin les private? Apa motive kami?
“kalau saya sih pingin kerja di kedutaan, pak” aku menjawab.
“kalau Iren?”
“Iren suka belajar bahasa Inggris karena dia dulunya anak bahasa” aku menjawab lagi.
“oh, gitu”
“iya pak” Iren tersenyum.
Lama kelamaan, kami semakin akrab. Bahkan bercanda atau pun mengolok-ngolok diriku dalam batas kewajaranpun berani pak Robert lakukan. Tapi aku tidak pernah marah karena aku tau jika dia hanya bercanda.
Sampai sejauh ini, pak Robert terlihat seperti dosen yang masih bersih tanpa terkontaminasi keadaan kampus dan aku masih merasa nyaman dengan perbedaan dia dan dosen lain.
Beberapa hari kemudian,
Saat selesai les, tiba-tiba wajah pak Robert yang ramah menjadi agak kesal dan kecewa.
Kami berdua kaget melihat itu, ada apa dengan pak Robert? Kok tiba-tiba…?
“kalian tau gak siapa yang bilang ke Prodi kalau bapak sering ngajar dengan bahasa asing?”
Aku dan Iren hanya diam bingung.
“gini lho, ketua Prodi bilang. Anak-anak kelas kalian itu protes kalau bapak ngajar dengan bahasa asing sehingga kalian gak ngerti dengan pelajaran bapak”
Sebenarnya aku tau siapa itu, tapi aku tidak mau menyakiti perasaan pak Robert. Apalagi dia dosen baru di kampusku.
Aku ingat,…
Saat itu, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok dan disuruh untuk mempresentasikan tentang Ekologi di dunia. Pak Robert bilang, kami bisa cari di buku atau pun di internet. Dan seandainya susah, dia memiliki materi asli yang ia download lewat E-book.
Namun sayangnya, materi itu berisi bahasa Inggris.
Dan keegoisan anak-anak pintar itu muncul, mereka bilang pada ketua Prodi jika pak Robert mengajar dengan bahasa asing. Ya, mereka mengadu karena baru pertama kali mendapatkan mata kuliah yang agak rumit dan bermateri sedikit untuk bahasa kami. Tapi jika mencari dalam bahasa asing, sebenarnya itu banyak.
Ya, menurutku itu hanya kemalasan mereka. Karena sebenarnya, mereka hanya bisa membawakan materi yang mereka dapatkan dari dunia maya. Tapi tidak bisa memaparkan intuisi di luar nalar dan pendapat pribadi asli di luar materi dunia maya.
Bukannya aku membela pak Robert, hanya saja. Jika ingin maju, hal ini adalah tantangan yang menarik menurutku.
“kalian tau gak siapa orangnya?”
Kami pun menggeleng.
Aku sadar, jika aku bercerita pada pak Robert tentang apa yang terjadi. Dia pasti akan marah dan masalah akan semakin rumit karena salah faham, sebab aku melihat emosi di matanya.
“ya udah lah” pak Robert kembali tersenyum walau aku tau jika itu terpaksa.
Kami berdua jadi gak enak sama pak Robert, tingkah mereka sekarang memang terlihat begitu merajarela.
***
Saat pelajaran pak Robert dimulai,
Semua masuk kelas, pak Robert datang dengan keadaan yang lebih tenang dari pada saat bicara bersama kami. Namun dia langsung bicara, “siapa yang ngadu ke Prodi kalau bapak ngajar bahasa asing dan membuat kalian tidak mengerti?”
Semua diam.
“sekarang bapak tanya, emangnya selama ini bapak ngajar pake bahasa Inggris? Enggak kan? Cuman materi yang bapak kasih ke kalian doang bahasanya gitu, itu karena tidak ada lagi materi yang bisa bapak berikan selain itu. Kalian cari sendiri aja bahasa Indonesianya, belum ada. Bahkan bapak suka membantu kalian translate kan? Tapi kenapa kalian bicara gitu sama Prodi?”
Para anak pintar itu pun hanya diam, mereka tidak mau mengakui kesalahan mereka. Ya seperti yang aku bilang, karena kebiasaan mudah mendapat nilai bagus, maka mereka tidak suka jika tingkat ujiannya meningkat. Padahal ini adalah tantangan untuk maju menurutku dan aku yakin ini adalah metode yang pak Robert pelajari di kampusnya dulu.
Pada intinya, mereka pun minta maaf. Namun yang tidak aku sukai adalah sikap so suci mereka yang bicara seperti ini…
“ya udah pak, saya mewakili teman-teman yang ada disini, minta maaf sama bapak”
What? Yang ngomong siapa? Yang minta maaf siapa? Kenapa jadi mewakili semua anak? Jelas-jelas yang ngomong itu dia, itu lah yang aku tidak suka dari anak-anak so suci dan ingin enak sendiri.
Bahagia ingin ditelan sendiri, tpi jika susah semua orang harus menanggung. Ya, ok lah. Itu urusan mereka dengan pak Robert dan juga Tuhan… Yang penting pak Robert tau jika aku dan Iren tidak ikut campur dengan masalah ini.
UTS pun dimulai,
Seperti biasa dan pada umumnya, aku selalu berharap jika soalnya bisa open book untuk dijawab. Meskipun pada kenyataannya di buku catatan tidak ada jawabannya, tapi tulisan open book sangat melegakan hati.
Apalagi jika paman Paul yang sedang mengawasi ujian kami, aku harus terlihat bisa dan pintar. Jadi open book itu sangat membantu, haha…
Apabila ada soal yang tidak open book dan menanyakan tentang teori, maaf saja. Kami selalu berusaha untuk olah raga dan berdo’a.
Berdo’a, ya Tuhan… semoga pengawasnya keluar. Setelah pengawas keluar, kami pun berolah raga. Melihat kesana kemari dan berbisik aktif.
Itu lah yang membuat jasmani dan rohasi kami sehat, karena seimbang antara berdo’a dan berolah raga. Sebenarnya itu tidak baik sih…
Makanya aku lebih suka dengan soal yang menanyakan tentang argumen atau pendapat pribadi. Dengan begitu, meski open book atau tidak, itu tidak masalah. Kita berfikir sendiri dan menurut pemahaman sendiri.
Itu baru keren, namun sayangnya, dalam masalah pendapat, tetap saja pendapat itu harus sesuai dengan pikiran dosennya, kalau enggak, tetep aja salah.
Dan untuk pertama kalinya, pak Robert menjadi pengawas kami. Ya Tuhan… sulit sekali untuk berolah raga. Dia mundar-mandir terus dan melihat setiap lembar jawaban kami, OMG… bahkan do’a anak sekelas agar dia keluar dari kelas pun gak mempan. Aduh…
But, it’s ok. Untung aja soalnya open book dan pendapat, huh… leganya.
Lama kelamaan, aku merasa semakin dekat dengan pak Robert. mungkin karena hobi kami sama. Bahkan pak Robert sempat mengujiku dengan pertanyaan tentang music, karena ia merasa aneh atau kagum orang seumurku suka Beatles?
“coba bapak tanya, siapa sih yang menginspirasi Beatles?”
Lalu aku jawab, “The Tielman Brothers (maaf kalau salah nulis)”
Dia pun semakin kagum, “waw, pengetahuan music kamu hebat ya”
Aku pun tersenyum, tentu saja. The Beatles adalah idolaku semenjak aku SMP.
“kalau bapak sih lebih ke U2 waktu bapak masih suka ngeband”
Aku pun langsung berkhayal pak Robert yang menyanyikan lagu Vertigo, pasti keren. Tapi aku tidak bicara apa-apa setelah itu, aku membiarkannya menjelaskan meski sebenarnya aku juga tau tentang U2.
Bono lah vokalisnya, ya meski tidak mendalam seperti Beatles. Tapi aku tau.
Setelah itu, aku pun berfikir. Sepertinya aku mulai simpati pada Pak Robert, mungkin lagi-lagi, aku mengharapkan sosok ayah darinya.
Yang aku tau, pak Robert selalu memuji-muji istrinya di depan kami. Dia tidak pernah mengeluhkan tentang istri seperti sebagian dosen lain. Pikiran dan perkataannya selalu positif.
Ya Tuhan… semoga suamiku nanti seperti itu, amin…
Aku pun akhirnya kembali berharap pada pak Robert, apalagi pak Robert belum punya anak dari pernikahannya itu. Dia memelihara kelinci dan aku tau bagaimana dia dan istrinya sangat menyayangi kelinci itu seperti anak mereka sendiri.
Ya Tuhan… kenapa enggak aku aja sih pak yang jadi anak bapak? Ya, itu hanya khayalanku…
Namun aku selalu bersikap manis dan polos di depan pak Robert, intinya menjadi diriku sendiri dan aku tau, dia juga meyakini bahwa aku adalah anak yang polos dan rasa cinta itu tidak ada sama sekali.
***
Setelah UTS,
Aku dan Iren memilih untuk rehat seminggu dari les, dan kami pun kembali melanjutkan les kami minggu depannya. Tapi setelah les…
“kalian udah liat nilai kalian di Prodi?” pak Robert menatap kami dengan serius.
Aku sedikit kaget dengan raut wajah ramahnya yang berubah menjadi agak kesal dan kecewa.
Dengan polosnya aku menjawab, “udah pak”
“berapa nilainya?”
“A, iya kan Ren?”
“iya kali, aku gak tau Ta”
“gini lho, gara-gara nilai itu. Ada masalah lagi, masa sampe pak Dekan juga turun tangan. Bapak kan jadi malu, mana bapak baru lagi di kampus”
Kami mulai khawatir lagi, wajah pak Robert berubah seperti dulu. Namun, ini masih tanda Tanya bagiku. Aku tidak tau apa yang terjadi.
To be Continued
___
Thank’s for reading…

Maaf kalau isinya kurang menarik, komentar yang membangun sangat diharapkan! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar