Rabu, 08 April 2015

Regret


Selamat membaca, maaf jika ada kesalahan atau typo. Author masih belajar. :’(
***************************************************

”Regret”
Author® Erin_Adler
Editor® Sherly Holmes
Genre : Family, crime
O.O


Dor… dor… dor…
Suara peluru ditembakan dan suara peluru mengenai tembok terdengar di sebuah gedung yang sudak tak terpakai lagi. Seorang pria yang memakai baju serba hitam itu membabi buta menembak sebuah dinding, kesal karena lawannya bersembunyi di balik dinding yang ia tembaki. Dan seorang pria yang bersembunyi di balik dinding itu hanya bisa menunggu targetnya kehabisan peluru, supaya ia bisa membalas tembakan targetnya. Bilang ia pengecut, tapi ini bersangkutan dengan nyawanya yang bisa melayang jika memang ia keluar dari tempat ia sembunyinya. Ia hanya mempunyai nyawa satu dan ia tak akan menyia-nyiakannya. Cih, sebenarnya berapa peluru yang ia punya?. Pikirnya, saat peluru masih melayang ke arahnya. Ia sudah dua hari mengintai targetnya, tapi ia tak mengetahui bahwa targetnya memiliki senjata. Yang ia tahu dari atasannya _Bos_ bahwa target kali ini hanyalah warga sipil biasa.
Saat ia mendengar targetnya melepaskan magazine senjatanya, ia hampir -ingat hampir- meloncat kegirangan (bisa hilang imej dinginnya, jika itu terjadi). Ia mengeratkan pegangannya pada revolvernya bersiap untuk keluar dari balik dinding, menggerutu saat ia hanya membawa revolver peluru enam miliknya. Bukan berarti ia tidak bisa mengalahkan targetnya dengan enam peluru. Bahkan ia hanya butuh satu tembakan untuk mengalahkan targetnya.
Dengan cepat ia keluar dari dinding dan mengarahkan pistolnya ke arah yang ia yakini tempat targetnnya berdiri. –Dor-  Suara benda jatuh mengenai lantai terdengar setelah suara pistolnya ia tembakan dengan tepat mengenai kepala sang lawan. Menghela napas, ia segera berjalan mendekat ke arah lawannya yang tergeletak di lantai tak bernyawa. Dengan cepat ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memakainya. Ia lalu mengambil pistol lawannya yang ada di samping tubuhnya dan meletakkannya di tangan targetnya itu, memanipulasi agar terlihat seperti kasus bunuh diri. Bosnya memang menyuruhnya untuk tidak mengundang kecurigaan dan client yang menyewa jasa ilegalnya memerintahkan untuk membuat kasus pembunuhan ini seolah-olah kasus bunuh diri. Ya, Robert adalah salah satu pembunuh bayaran terbaik di kelompoknya. Banyak client yang secara langsung memilihnya karena reputasinya yang sangat rapi dan ia tidak pernah meninggalkan sedikitpun bukti di tempat ia membunuh. Pekerjaan ini sudah ia lakukan selama enam tahun. Setelah ia keluar dari militer, salah satu temannya yang mengetahui ia adalah seorang penembak jitu langsung mengenalkan pada bosnya yang sampai sekarang menjadi atasannya. Karena alasan ekonomi dan karena ia pun sudah memiliki istri dan anak yang memang harus ia urus, tanpa pikir panjang menerima tawaran untuk bekerja sebagai pembunuh bayaran oleh bosnya saat itu, tergiur dengan jumlah uang yang akan ia dapat dalam satu kali kerja.
Robert langsung berdiri kaku dan waspada saat ia mendengar suara langkah kaki. saat ia yakin langkah kaki itu berasal dari arah belakang tubuhnya, memegang pistolnya dengan erat, ia segera berbalik dan menodongkan moncong pistolnya kearah orang yang mengganggunya.
“Woah… Woah… easy, ini aku!!!” seorang pria berkata histeris dengan kedua tangan diangkat di kedua sisi kepalanya saat melihat pistol temannya mengarah padanya. Ia menurunkan tangannya saat melihat Robert telah menurunkan pistolnya.
“sedang apa kau disini, Mark?” Tanya Robert sinis, menyembunyikan pistolnya kembali di balik long coat yang ia kenakan. Ia memandang tajam teman pembunuh bayarannya meminta penjelasan. 
“oh hanya kebetulan saja. Saat aku sedang jalan jalan setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku mendengar suara tembakan. Karena penasaran, aku langsung kesini”. Jelas Mark, sambil ia menghampiri tubuh kaku yang tergeletak di lantai dengan darah yang mengucur dari dahi tubuh kaku tersebut. “One shot one kill, huh?. Kau memang hebat, seperti biasanya hanya perlu satu tembakan. Well, you’re one of the best after all.”
Menghiraukan perkataan temannya, Robert mengeluarkan Handphone dan langsung menelepon bosnya, setelah terdengar bunyi klik tanda telepon dijawab, ia langsung berbicara, “Pekerjaaanku selesai, aku mau liburan selama semingggu jadi jangan pernah meneleponku selama seminggu.” Tanpa menunggu jawaban dari bosnya, Robert langsung menutup telepon. Melihat temannya sekilas, Robert langsung berjalan berniat untuk pergi dan pulang ke rumahnya.
“yah, mau kemana?” teriak Mark saat melihat Robert menuju pintu keluar, ia langsung mengikuti Robert.
“bukan urusanmu!” Robert menjawab acuh. Ia merogoh kunci mobil yang ada di saku celananya saat ia sudah dekat dengan mobil miliknya yang sengaja di parkir di dekat rumah targetnya.
“apakah kau pernah menyesal menerima tawaran pekerjaan ini?” Mark bertanya, melihat Robert memegang pintu mobilnya dengan erat sebelum ia merilekskannya kembali dan masuk ke dalam mobilnya, dengan jelas ia tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Mark hanya bisa menghela nafas saat melihat mobil Robert melaju dan menghilang dari pandangannya. Mark merasa menyesal telah mengajak Robert ke dalam pekerjaan iligal ini, mengetahui bahwa Robert bukanlah orang yang seenaknya ngambil nyawa seseorang.

**************************###****************************

Setelah perjalanan kurang lebih satu setengah jam, akhirnya Robert sampai di apartemen miliknya dan istrinya. Menekan kode pintu, Robert bertanya dalam hati apakah istrinya sudah tidur atau sedang menunggu kepulangannnya. Istrinya memang selalu menunggu ia pulang, istrinya selalu khawatir dengannya karena ia mengetahui pekerjaan Robert. Sudah berulang kali ia meminta Robert untuk keluar dari pekerjaannya yang berbahaya itu, tapi Robert tetap bersikeras melakukan pekerjaannya dengan alasan bahwa penghasilan yang ia dapat lebih banyak dari pekerjaan biasa.
Setelah berhasil memasukkan kode pintu apartemennya, ia langsung membuka pintu dan masuk. Apartemen miliknya memang besar mengingat penghasilan yang ia terima setelah melakukan pekerjaan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya dan membayar apartemennya. Mendengar suara tv menyala, Robert yakin istrinya menunggu ia pulang _lagi_ seperti malam – malam sebelumnya. Ia berjalan menuju ruangan tersebut dan melihat istrinya tertidur di sofa dengan tv menyala tanpa ada yang menontonnya. Istrinya pasti ketiduran saat menunggunya, mengingat sekarang sudah jam 2 pagi.
Robert mendekati istrinya lalu ia membawa istrinya bridal-style menuju kamar tidur. Menurunkan istrinya dengan hati-hati di tempat tidur dan menyelimuti istrinya dengan selimut. Robert lalu duduk di sebelah istrinya dan menyeka rambut kecoklatan istrinya yang menghalangi matanya. Melihat raut kelelahan di wajah istrinya, Robert tiba-tiba teringat pertanyaan terakhir Mark. Sebenarnya, Robert menyesal telah masuk ke dalam pekerjaan yang bahaya dan ilegal ini. Pekerjaan ini selain membahayakan nyawa dirinya sendiri tapi juga membahayakan nyawa keluarganya. Tapi dulu Robert terlalu tergiur dengan uang yang memang ia butuhkan untuk menghidupi keluarganya tanpa memikirkan resikonya. Robert sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Setelah ia pulang berlibur dengan keluarganya dalam seminggu, ia berencana untuk menemui bosnya dan memberitahukan bahwa ia akan berhenti.
Robert akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan berencana membeli rumah sendiri di pinggir kota untuk keluarganya. Ia ingin lebih meluangkan waktunya untuk istri dan anaknya yang terganggu karena pekerjaannya yang menyita waktu untuk selalu bersama keluarganya. Yang terpenting baginya sekarang adalah keluarganya. Ia ingin meluangkan waktu untuk bermain dan mengajarkan apa yang ia tahu pada anak laki-lakinya yang sekarang sudah menginjak umur 8.
Robert membaringkan tubuhnya di samping istrinya dan menyelimuti tubuhnya bersama istrinya dengan selimut yang sama, lalu ia mengecup kening dan bibir istrinya. Dengan suara pelan takut ia membangunkan istrinya, ia berkata, “I Love You, Ziva”

___END___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar