Selamat
membaca, maaf jika ada kesalahan atau typo. Author masih belajar. :’(
***************************************************
”Regret”
Author® Erin_Adler
Editor® Sherly Holmes
Genre : Family, crime
Dor… dor… dor…
Suara peluru
ditembakan dan suara peluru mengenai tembok terdengar di sebuah gedung yang
sudak tak terpakai lagi. Seorang pria yang memakai baju serba hitam itu membabi
buta menembak sebuah dinding, kesal karena lawannya bersembunyi di balik
dinding yang ia tembaki. Dan seorang pria yang bersembunyi di balik dinding itu
hanya bisa menunggu targetnya kehabisan peluru, supaya ia bisa membalas
tembakan targetnya. Bilang ia pengecut, tapi ini bersangkutan dengan nyawanya
yang bisa melayang jika memang ia keluar dari tempat ia sembunyinya. Ia
hanya mempunyai nyawa satu dan ia tak akan menyia-nyiakannya. Cih,
sebenarnya berapa peluru yang ia punya?. Pikirnya, saat peluru masih
melayang ke arahnya. Ia sudah dua hari mengintai targetnya, tapi ia tak
mengetahui bahwa targetnya memiliki senjata. Yang ia tahu dari atasannya _Bos_
bahwa target kali ini hanyalah warga sipil biasa.
Saat ia mendengar
targetnya melepaskan magazine senjatanya, ia hampir -ingat hampir- meloncat
kegirangan (bisa hilang imej dinginnya, jika itu terjadi). Ia mengeratkan pegangannya
pada revolvernya bersiap untuk keluar dari balik dinding, menggerutu saat ia
hanya membawa revolver peluru enam miliknya. Bukan berarti ia tidak bisa
mengalahkan targetnya dengan enam peluru. Bahkan ia hanya butuh satu tembakan
untuk mengalahkan targetnya.
Dengan cepat ia
keluar dari dinding dan mengarahkan pistolnya ke arah yang ia yakini tempat
targetnnya berdiri. –Dor- Suara benda
jatuh mengenai lantai terdengar setelah suara pistolnya ia tembakan dengan
tepat mengenai kepala sang lawan. Menghela napas, ia segera berjalan mendekat
ke arah lawannya yang tergeletak di lantai tak bernyawa. Dengan cepat ia
mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memakainya. Ia lalu mengambil
pistol lawannya yang ada di samping tubuhnya dan meletakkannya di tangan
targetnya itu, memanipulasi agar terlihat seperti kasus bunuh diri. Bosnya
memang menyuruhnya untuk tidak mengundang kecurigaan dan client yang menyewa
jasa ilegalnya memerintahkan untuk membuat kasus pembunuhan ini seolah-olah
kasus bunuh diri. Ya, Robert adalah salah satu pembunuh bayaran terbaik di
kelompoknya. Banyak client yang secara langsung memilihnya karena reputasinya
yang sangat rapi dan ia tidak pernah meninggalkan sedikitpun bukti di tempat ia
membunuh. Pekerjaan ini sudah ia lakukan selama enam tahun. Setelah ia keluar
dari militer, salah satu temannya yang mengetahui ia adalah seorang penembak
jitu langsung mengenalkan pada bosnya yang sampai sekarang menjadi atasannya.
Karena alasan ekonomi dan karena ia pun sudah memiliki istri dan anak yang
memang harus ia urus, tanpa
pikir panjang menerima tawaran untuk bekerja sebagai pembunuh bayaran oleh
bosnya saat itu, tergiur dengan jumlah uang yang akan ia dapat dalam satu kali
kerja.
Robert langsung
berdiri kaku dan waspada saat ia mendengar suara langkah kaki. saat ia yakin
langkah kaki itu berasal dari arah belakang tubuhnya, memegang pistolnya dengan
erat, ia segera berbalik dan menodongkan moncong pistolnya kearah orang yang
mengganggunya.
“Woah… Woah… easy,
ini aku!!!” seorang pria berkata histeris dengan kedua tangan diangkat di kedua
sisi kepalanya saat melihat pistol temannya mengarah padanya. Ia menurunkan
tangannya saat melihat Robert telah menurunkan pistolnya.
“sedang apa kau
disini, Mark?” Tanya Robert sinis, menyembunyikan pistolnya kembali di balik
long coat yang ia kenakan. Ia memandang tajam teman pembunuh bayarannya meminta
penjelasan.
“oh hanya kebetulan
saja. Saat aku sedang jalan jalan setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku
mendengar suara tembakan. Karena penasaran, aku langsung kesini”. Jelas Mark,
sambil ia menghampiri tubuh kaku yang tergeletak di lantai dengan darah yang
mengucur dari dahi tubuh kaku tersebut. “One shot one kill, huh?. Kau memang
hebat, seperti biasanya hanya perlu satu tembakan. Well, you’re one of the best
after all.”
Menghiraukan
perkataan temannya, Robert mengeluarkan Handphone dan langsung menelepon
bosnya, setelah terdengar bunyi klik tanda telepon dijawab, ia langsung
berbicara, “Pekerjaaanku selesai, aku mau liburan selama semingggu jadi jangan
pernah meneleponku selama seminggu.” Tanpa menunggu jawaban dari bosnya, Robert
langsung menutup telepon. Melihat temannya sekilas, Robert langsung berjalan
berniat untuk pergi dan pulang ke rumahnya.
“yah, mau kemana?”
teriak Mark saat melihat Robert menuju pintu keluar, ia langsung mengikuti
Robert.
“bukan urusanmu!”
Robert menjawab acuh. Ia merogoh kunci mobil yang ada di saku celananya saat ia
sudah dekat dengan mobil miliknya yang sengaja di parkir di dekat rumah
targetnya.
“apakah kau pernah
menyesal menerima tawaran pekerjaan ini?” Mark bertanya, melihat Robert
memegang pintu mobilnya dengan erat sebelum ia merilekskannya kembali dan masuk
ke dalam mobilnya, dengan jelas ia tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut.
Mark hanya bisa menghela nafas saat melihat mobil Robert melaju dan menghilang
dari pandangannya. Mark merasa menyesal telah mengajak Robert ke dalam
pekerjaan iligal ini, mengetahui bahwa Robert bukanlah orang yang seenaknya
ngambil nyawa seseorang.
**************************###****************************
Setelah perjalanan
kurang lebih satu setengah jam, akhirnya Robert sampai di apartemen miliknya
dan istrinya. Menekan kode pintu, Robert bertanya dalam hati apakah istrinya
sudah tidur atau sedang menunggu kepulangannnya. Istrinya memang selalu
menunggu ia pulang, istrinya selalu khawatir dengannya karena ia mengetahui
pekerjaan Robert. Sudah berulang kali ia meminta Robert untuk keluar dari
pekerjaannya yang berbahaya
itu, tapi Robert tetap bersikeras
melakukan pekerjaannya dengan alasan bahwa penghasilan yang ia dapat lebih
banyak dari pekerjaan biasa.
Setelah berhasil
memasukkan kode pintu apartemennya, ia langsung membuka pintu dan masuk.
Apartemen miliknya memang besar mengingat penghasilan yang ia terima setelah
melakukan pekerjaan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya dan membayar
apartemennya. Mendengar suara tv menyala, Robert yakin istrinya menunggu ia
pulang _lagi_ seperti malam – malam sebelumnya. Ia berjalan menuju ruangan
tersebut dan melihat istrinya tertidur di sofa dengan tv menyala tanpa ada yang
menontonnya. Istrinya pasti ketiduran saat menunggunya, mengingat sekarang
sudah jam 2 pagi.
Robert mendekati
istrinya lalu ia membawa istrinya bridal-style menuju kamar tidur. Menurunkan
istrinya dengan hati-hati di tempat tidur dan menyelimuti istrinya dengan
selimut. Robert lalu duduk di sebelah istrinya dan menyeka rambut kecoklatan
istrinya yang menghalangi matanya. Melihat raut kelelahan di wajah istrinya,
Robert tiba-tiba teringat pertanyaan terakhir Mark. Sebenarnya, Robert menyesal
telah masuk ke dalam pekerjaan yang bahaya dan ilegal ini. Pekerjaan ini selain
membahayakan nyawa dirinya sendiri tapi juga membahayakan nyawa keluarganya.
Tapi dulu Robert terlalu tergiur dengan uang yang memang ia butuhkan untuk
menghidupi keluarganya tanpa memikirkan resikonya. Robert sudah memutuskan
untuk keluar dari pekerjaannya. Setelah ia pulang berlibur dengan keluarganya
dalam seminggu, ia berencana untuk menemui bosnya dan memberitahukan bahwa ia
akan berhenti.
Robert akan mencari
pekerjaan yang lebih baik dan berencana membeli rumah sendiri di pinggir kota
untuk keluarganya. Ia ingin lebih meluangkan waktunya untuk istri dan anaknya
yang terganggu karena pekerjaannya yang menyita waktu untuk selalu bersama
keluarganya. Yang terpenting baginya sekarang adalah keluarganya. Ia ingin
meluangkan waktu untuk bermain dan mengajarkan apa yang ia tahu pada anak
laki-lakinya yang sekarang sudah menginjak umur 8.
Robert membaringkan
tubuhnya di samping istrinya dan menyelimuti tubuhnya bersama istrinya dengan
selimut yang sama, lalu ia mengecup kening dan bibir istrinya. Dengan suara
pelan takut ia membangunkan istrinya, ia berkata, “I Love You, Ziva”
___END___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar